#Diskusi Majelisan #Edisi 14
#Sastra Musim Gugur
Perjalanan
sastra di indonesia ini terbilang cukup menyedihkan dari era Chairil hingga
sekarang. Tidak heran jika para sastrawan tidak mendapat platform yang
memadai di sini. Kalau mengingat sejarahnya memang dari era Soekarno
Sastrawan/karya sastra masih minim akan apresiasi, mungkin juga karena waktu
itu masih mudanya usia negara sehingga tidak memperhatikan hal-hal yang tidak
menguntungkan negara dari sisi finansial maupun otoritasnya sampai mimpi buruk
yang menjadi kenyataan di rezim Soeharto. Kuasa total!.
Bagi
penguasa, sastrawan, penyair dan kawan-kawannya adalah musuh yang akan terus
dihancurkan!. Mengapa? Sebab mereka mempunyai alat bernama sastra/tulisan yang
dapat membawa hulu ledak yang kuat bagi pemerintah dan mengancam otoritasnya
sebagai penguasa, ia dapat menghimpun massa akan sebuah ideologi yang disuarakan.
Maka, atas alasan demikian hal-hal yang berkaitan dengan sastra tidak diberi
ruang yang layak, selayak guru kehidupan. Hingga pujanga sekaliber W.S Rendra
yang diakui dunia pun tak keturutan yang hanya menginginkan sebuah Kijang
Innova tiga hari menjelang kewafatannya menurut pengakuan temannya di acara dua
tahun mengenang Rendra, sungguh ironis.
Seorang guru/dosen di kelas mungkin memberi macam-macam pengetahuan yang
akan diajarkan, namun seorang sastrawan/seniman memberi segala yang perlu untuk
wacana kehidupan melalui pengalaman-pengalaman di dalam karyanya.
Bicara
soal sastra di kelas mungkin agak dibuat-buat, tapi sejauh yang saya lihat
dalam keseharian memang harus diakui jika fakultas atas nama sastra tidak
menghasilkan apapun yang kini disebut sastrawan atau lebih kecil lagi kritikus
sastra. Bahkan, menurut pengakuan dosen pun kata seorang teman memang fakultas sastra tidak dijadikan wadah
untuk melahirkan sastrawan, tapi paling mentok hanya kritikus sastra,
apresiator sastra, dan analis sastra. Itu pun tidak dilakukan dengan
sungguh-sungguh, lihat berapa persen alumnus fakultas sastra yang menjadi saya
sebutkan tadi? Sangat jarang. Padahal, level tertinggi dari belajar dan
pengalaman adalah mencipta atau laku tapi di kampus hal itu sangat nihil. Bahkan,
skripsi yang jadi parameter kelulusan mahasiswa pun kini terlihat gagal dan tak
berdaya menghadapi enigma hidup ini, seperti yang pernah saya katakan kepada
teman sebelumnya “Satu puisi hasil karya sendiri jauh lebih baik ketimbang
ratusan bahkan ribuan skripsi yang menggunakan teori orang lain!”. Akhirnya
mereka terlempar sediri oleh sistem kehidupannya setelah lulus dan bingung mau
ngapain. Walhasil lahirlah ungkapan “Jurusan kok sastra, kamu mau kerja
apaan?.”
Ya itulah bagian dari romantika hidup ini. Sastrawan tidak pernah lahir di dalam kelas
dan dalam fakultas sastra sehingga yang kita temui dalam kehidupan nyata adalah
mereka yang memulai perjalanan dari bawah, maka tidak mengherankan kalau
sastrawan yang kita kenal sekarang adalah mereka yang dulunya dari jalanan
menghayati kehidupannya dan melahirkan sastra plus menjadikannya sastrawan.
Lalu terciptalah Chairil Anwar, Amir Hamzah, W.S Rendra, Umbu Landu Paranggi,
Suwarna Pragolapati, Danarto, Widji Tukul, Putu Wijaya, Iman Budhi Santosa, dll hingga paling banter sastrawan yang menjadi guru besar yakni
Sapardi Djoko Damono. Kelihatannya mereka semua menemukan keindahan dan
kebijaksanaan itu bukannya di kelas, tapi di jalanan bernama kehidupan.
Lalu
pertanyaannya benarkah sastra sebegitu menyedihkannya sampai-sampai terlantar
di ranah kebudayaan kita sendiri ini?