Di sini Ceritanya Wongsello


Kamis, 29 Desember 2016

Teman dan Bisnis itu Beda

                         Instagram-swetakartika

Tulisan ini saya buat sebagai bentuk penghargaan serta apresiasi setinggi-tingginya atas kerja keras dan perjuangan seorang teman, bahkan orang-orang di luar kita yang ikhlas berkorban merelakan waktu, biaya, dan tenaganya demi menciptakan karya, entah itu atas dasar keinginan sendiri lebih-lebih permintaan dari temannya.

Sejauh yang kurasakan, belum saya temukan suatu pun yang lebih berharga dari seorang teman. Mereka adalah satu alasan mengapa sekarang kita bisa sampai di sini. Sebagai permulaan, akan lebih baik saya bertanya dahulu "sejauh mana kita bisa memahami atau menghargai seorang teman?". Baik, kita fokuskan pada tema ini.

Kedekatan kita dengan mereka kadang menebas segala jarak ruang waktu. Melampaui batas antara suka dan tak suka. Itulah perjuangan. Saat kita butuh, dengan sigap mereka akan mengulurkan tangan semampunya. Walaupun kadang ada acara yang mungkin sudah teratur sedemikian rapi jadwalnya, tapi mereka mengalahkan diri dan memilih untuk memenangkan temannya.

Ketika deadline majalah, komik dan sebagainya telah menanti dari pengarang. At the same, pada saat yang sama kebetulan sekali bebarengan dengan kunjungan teman yang sebelumnya tanpa sepengetahuan dan konfirmasi terlebih dahulu dan otomatis itu akan membunuh skedulnya. Atau bahkan, ada yang tanpa berdosa meminta pacarnya untuk menemani waktu galaunya atau apalah. Dia tidak tahu dan barangkali saja tidak mau tahu bahwa ada tanggung jawab yang harus diselesaikan. 

Saat  butuh pulsa, tanpa pikir panjang kita memintanya dengan tidak memperhatikan waktu yang menunjukkan jam tidur, walaupun begitu mereka masih saja melayani kita tiada protes banyak. Bahkan, ketika memang kita sangat butuh pulsa yang kebetulan mereka sedang tidak ada saldo, dengan suka rela teman-teman kita itu meluncur  membeli deposito untuk membantu serta menyenangkan hati temannya. Pembayarannya pun tak jarang kita nunggak atau sederhananya hutang begitu. Mereka sudah memberi waktu cukup untuk membayar hutang, katakanlah satu minggu, bagiku itu sudah cukup lah untuk melunasinya. Namun, masih saja kita tetap nunggak. Keterlaluan!!. Waktu teman kita sedang menjalani suatu bisnis atau semacamnya, dengan menjual buku, tas, jual pulsa dan sebagainya. Dengan entengnya kita minta harga rendah. Ya, kita pasti menawar, kalau sewajarnya nawar sih tidak masalah, kadang ada ungkapan mainstream yang sudah sangat umum bagi kita semua. Apa coba, tentu saja kalimatnya seperti ini "Ayolah sama temen saja kok mahal-mahal, rego konco lah, [harga teman lah]. Bagaimana, luar biasa kan parahnya. 

Tatkala mereka sedang tidak punya cukup uang berlebih, atau katakanlah uangnya lagi pas-pasan. Dengan polosnya kita merebutnya secara halus. Ya, melalui hutang pastinya, memang ini tidak termaksud merebut dalam arti sebenarnya. Akan tetapi, sikap seperti inilah penyebab mereka mengharuskan diri untuk mengalah, padahal itu uang akan dipakai buat membeli sesuatu bisa jadi, bahkan sudah di kalkulator sebagai penyambung nyawa dalam sisa waktu bulanannya. Namun, apa yang terjadi?  Mereka mengikhlaskan semuanya. Demi kebaikan temannya, kesenangan temannya, atas dasar itu mereka merelakan dirinya untuk teman lainnya. Tidakkah kita berpikir semua yang dilakukannya itu, seperti apa rasanya, bagaimana perasaannya? 

Dari ke semua itu, agaknya kita sudah tidak bisa membedakan apa yang namanya teman dan apa itu bisnis. Kalau sudah begini, jadinya seorang teman tak lebih kita anggap sebagai pelayan saja, kayak pembantu tanpa penghargaan dan apresiasi yang berlebih. Padahal apa yang mereka berikan adalah sesuatu yang berharga namun, sangat jarang dari kita untuk mengerti itu dan memberi balasan apresiasi dan penghargaan yang lebih untuk mereka semua, teman-teman kita.

Ada cerita menarik akan saya sampaikan kepada kita semua, perhatikan!. This is a factual story about the sacrifice of a friend to another friend. Listen!.

Saya punya seorang teman, kira-kira masih 20 tahun lah, mahasiswa di suatu Universitas ternama di Jogja. Sengaja tidak saya sebutkan namanya, demi kebaikan semua dan memang lebih baik demikian, dan saya yakin dia juga berpikiran sama denganku. Tapi yang akan saya ceritakan adalah benar dan faktual. Dia sangat suka dengan dunia gambar, anime, manga, perkomikan dan lainnya. Sekali waktu temanku ini curhat, begini : "dikatakan dia sedang ditawari proyek dari seorang temannya yang kebetulan dapat tugas kampus yakni membuat komik, karena diketahui temanku ini  adalah komikus, maka temannya tadi meminta bantuan kepada temanku untuk dibuatkan Sketsa/komik begitu. Temanku diberi waktu hanya tiga hari untuk membuat komik sepanjang dua puluh (20) halaman. Bayangkan cuma "Tiga Hari!!??". Padahal komikus sekaliber Dhean De Nauli saja butuh waktu empat Bulan untuk menyelesaikan komik sepanjang 60-70 halaman, aje gile, itu gila dewa, yakin stres!!. Sebetulnya temanku keberatan atas syarat tiga hari itu namun, karena ini datangnya dari teman maka ia amini permintaannya.

Transaksi berjalan lancar ah bukan, lebih tepatnya korporasi disepakati bersama, clear. Temanku sangat koperatif, dia melakukan pekerjaan dengan baik layaknya seorang profesional. Rupiah demi rupiah telah di alokasikan untuk melancarkan proyeknya. Meski harus pontang-panting siang malam, kurang tidur, kurang makan, bahkan ngedrop segala badannya sampai dia minta bantuan kepadaku untuk mengisi panel bagian belakang. Semua itu dilakukan demi temannya, batas waktu penyerahan komik telah tiba dan pekerjaan belum terselesaikan, temanku memohon maaf sehingga membuat temanku minta waktu tambahan hingga ganjil satu minggu lagi untuk menyelesaikannya. Dan saya rasa, membikin komik dua puluh halaman dengan waktu tiga hari itu memang absurd sekali. Jika boleh ngomong, teman yang minta dibikinin komik itu mohon maaf, 'dia tidak bisa mengerti dan memahami bagaimana susahnya menggambar bentuk, pola yang dikombinasikan dengan plot sehingga membentuk sebuah cerita bergambar [komik]' dua puluh halaman hanya seminggu', dan itu kejam sekali. Saya maklum memang, mungkin dia tidak mengerti perjuangan seorang seniman.

Akhirnya, pekerjaan yang melelahkan itu selesai dengan baik. Tibalah saat untuk menyerahkan kepada temannya tadi. Perjanjian sudah disepakati, maka bertemu lah mereka di suatu kedai kopi. Yang sebelumnya temanku ini menunggu lama sekali. Waktu menuju ke tempat, eh, tahu-tahu dia bersama pacarnya. Menjengkelkan sekali bukan. Barangkali begitu perasaan temanku ini, sudah lama-lama menunggu ternyata dia malah santai-santai saja sama pacarnya. Sampai sini saya sudah mulai sedih dan kasihan kepada temanku. Namun, tidak disangka-sangka ada yang lebih menyedihkan lagi dari itu.

Sudah sewajarnya lah kalau bekerja dapat gaji, tidak-tidak saya ralat. Bagi saya itu kuanggap sebagai sebuah penghargaan bagi yang telah menghargai teman. Saat membuka amplop yang dikasih temannya tadi, temanku lemas tak bertulang. Kalian tahu kira-kira berapa intensif yang diberikan? Menurut saya itu hanya cukup untuk membeli dua barang tiga saja sebuah bolpoin gambar Snowman Pen. Bisa kalian bayangkan seperti itukah kita menghargai dari sebuah pertemanan.

Waktu itu saya sangat sedih sekali kepada temanku, tetapi tidak saya ekspresikan emosiku itu, dan lebih memilih diam saja. aku ingin marah tapi kepada siapa. Bagiku itu sungguh sepele banget. Apa dia tidak berpikir atau empati bagaimana perjuangan dalam membuat semua permintaannya. Ya, saya masih maklum kalau komikus memang terbiasa kerja keras, jarang tidur, tidak makan, tapi ketika sampai ngedrop segala, untuk menyelesaikan pekerjaan, itu harusnya sangat diperhitungkan dong oleh kliennya. Temanku tidak cerita memang kepada temannya, dan barangkali juga dia tidak butuh mereka tahu itu. Awalnya, temanku berpikir semoga ini cukup untuk makan barang tiga hari lah 'berharap' [amplop]. Namun, seperti yang tadi saya ceritakan. Bahkan, untuk membeli keperluan pekerjaannya [alat-alat gambar dll] itu belum cukup untuk menutupi kerugiannya. Bisa dibilang temannya malah membayar gratis, seolah-olah tidak membayar. Itu sangat menyedihkan sekali.

Mereka mungkin memang tidak menuntut apa-apa kepada kita, tapi yakinlah dengan memberikan lebih kepadanya itu akan membuatnya merasa dihargai karena kita telah melakukan penghargaan tinggi sebagai apresiasi untuk perjuangan seorang teman. Itulah harga teman yang sesungguhnya. Saat kita bersedia membayar mahal atas kerja keras dan perjuangan seorang teman sebagai wujud penghargaan dari sebuah pertemanan.

Jadi, berapakah harga yang sudah kita bayar atas kerja keras dan perjuangan dari sebuah pertemanan?.
Share:

1 komentar: