Bila kita pernah
terdidik dengan asusmsi “Hidup itu pilihan” maka kita seumuran. Maksud dari
tulisan ini adalah mengajak berpikir dan memahami ulang bagaimana sebenarnya bersikap
dari anggapan yang sudah mapan di telinga orang-orang. Misalnya ketika aku
masih duduk kuliah dulu, sekali waktu dosenku pernah mengatakan demikian, waktu
itu aku tidak terlalu memikirkannya, jadi hanya lewat, sebab aku tidak tertarik
antara membantah atau mendukung. Boleh juga jika dikatakan aku stuck dan
masa bodoh di zaman-zaman itu, tetapi dengan menyiapkan ruang untuk apa pun,
jadinya bisa menerima atau menolak ini itu, bergantung perasaan dan keinginan.
Bahkan sering
kita alami bentuk “todongan” seperti itu kepada kita, seolah-olah kita selalu
dihadapkan dengan dua atau lebih soal pilihan-pilihan dari hal sepele sampai
peri hal kehidupan. Ini sangat tidak mengherankan karena pikiran kita sudah
disetel untuk pragmatis dan instan, jadi tidak pernah kita pikirkan lagi
konsep-konsep atau pandangan kita terhadap sendi-sendi kehidupan. Baru saja
kemarin aku ngobrol dengan teman, pilihan itu ibarat anak kecil, makanya
tahunya hanya milih ini atau itu, di dalam kehidupan kita tidak bisa bersikap
kekakak-kanakan begitu, di sekolah pilihan-pilihan itu ditentukan dengan resep
penyedap yang marketebel dari soal-soal pelajaran hingga jurusan semuanya
ditempa atas dasar “pilihan” tadi. Sehingga dengan sangat terpaksa ketika aku
pernah menjadi wartawan menulis judul “Ini jurusan yang siap menjawab zaman dan
industri 4.0”.
Sejatinya, sejak
kapan kita punya asumsi mengenai hak pilih? Seakan-akan kita ini punya modal
dan berhak kapan saja menentukan pilihan atas apa yang kita miliki, kapan kita
merasa memiliki sesuatu atau apa pun? Paham pilihan atau memilih karena
kesadaran kita akan memiliki hidup, tapi siapa sebenarnya yang memiliki hidup?.
Dosenku tadi ceritanya sangat percaya bahwa hidup itu pilihan, dari bangun
tidur dan melakukan aktifitas sehari-hari, menurutnya harus berdasar pilihan
yang kita ambil, bahwa kita dihadapkan oleh macam-macam pilihan dan kita harus
memilih. Menurutku monoton dan klise yang diomongkannya, tapi ya kembali tadi
pandangan-pandangan itu hanya stuck dan tidak dikembangkan atau minimal
dipertanyakan lagi. Pilihan hanya fenomena kecil dari kehidupan, aku sendiri
lebih suka menyebutnya keputusan, rasa kedewasaan dan tanggung jawabnya lebih
bernilai.
0 komentar:
Posting Komentar