"Iyo, kene ora robot kok!"
Sebuah tanya untuk senior saat senggangnya pekerjaan. Semua sama, rasa yang dihasilkan ketika makaryo adalah hal yang serupa, tapi aku tidak tahu bagaimana sebenarnya sebuah perasaan. Jika hanya rasa, mungkin bisa dijelaskan analisis berikut analoginya, sementara perasaan laksana menuju bengawan, rasa sebagai gerbang menuju muaranya.
Mulanya sering melihat-lihat di grup loker (lowongan pekerjaan) Jogja, entah facebook, web lokerjogja, instagram dll. Hal yang biasa terjadi ketika seseorang menanyakan pekerjaan yang dibutuhkan, mereka membiarkan dirinya mengatakan "mau cari pekerjaan apa saja, yang penting halal.." kalimat seperti ini terjadi bukan hanya satu dua orang, sebagian yang lain berpikiran hampir, bahkan sama. Artinya memang ada suatu pekerjaan yang tidak halal makanya orang-orang mengatakan mainstream tersebut. Tapi mereka berada pada pemahaman yang baik sebagai manusia, dengan tetap mempertahankan prinsip untuk melakukan pekerjaan halal. selanjutnya ada hal lain yang ingin aku tuliskan perihal kerja, semakin ke sini aku jadi menyadari suatu baru terkait pekerjaan.
Dan itu pikiran 12 April 2020.
Kenyataan baru yang aku temukan, atau lebih tepatnya kesadaran baru itu nyatanya membantah tesis di atas yang mengatakan "Kita bukan robot yang terus-menerus bekerja." Mesin yang menjadi penggerak alat itu pun mempunyai jam kerja yang artinya ada pembatasan dalam satuan waktu yang berkala. Sederhananya robot pun tidak bisa terus-terusan bekerja karena ia mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam menjalankan mesinnya.
Sebaliknya manusialah yang tidak berhenti bekerja sebenarnya. Contoh gampangnya adalah jantung, yang terus-menerus berdetak memompa aliran darah ke seluruh nadi di tubuh, entah malam entah siang, tidak perduli badan sedang istirahat atau terjaga, jantung tetap bekerja. Itu kenyataan. Dikatakan berhenti ketika sudah tubuh sudah mati, Itu pun dalam batas-batas material, bukan inmaterial.
Sementara pemahaman jamak yang dirasakan orang adalah yang pertama, yakni pemahaman material. Satu hal lain lagi, sebetulnya pembahasan itu tetap terkungkung oleh paham materialisme. Orang modern menyebutnya ada pembagian jam kerja, ada jam istirahat, belum macam-macam yang lain. Intinya mereka berbicara soal dikotomi antara pekerjaan dan istirahat. Dengan kerja produktif efeknya menjadi positif bagi perusahaan dan memberi bonus kepada karyawannya, lalu istirahat sebagai keuntungan dari tubuhnya untuk relaksasi selama bekerja.
Sejujurnya hal itu sama saja jika dilihat dari perspektif kualitas. Semua manusia pasti bekerja, bahkan orang gila pun sama, mereka bergerak, itu tanda kehidupan. Sayangnya orang modern sukanya memakai kuantitas sebagai parameter. Pendikotomian tersebut hanya abal-abal saja, tetap saja fokusnya adalah kapitalisme masif. Contoh lain, orang dikatakan bekerja kalau ia menghasilkan uang, jika tidak artinya pengangguran dan tidak produktif, masa depan suram, dan sebagainya. Dalam segala aspek manusia sekarang ini titik tolaknya adalah materi, kuantitas, dan konkrit/nyata, dapat dilihat dan dipegang. Materialistik. Apalagi soal negara, pemerintah dan dunia global, butuh angka kematian berapa untuk menetapkan corona sebagai wabah darurat nasional/internasional? Mereka menunggu untuk sampai pada titik di mana suatu keadaan dianggap wajar untuk membuat keputusan dan pernyataan resmi kalau itu darurat. Jangan tanya lagi kenapa salah satu petinggi negara malah mengatakan heran karena angka kematian karena covid-19 tidak sampai 500 orang, padahal berpenduduk 270 juta jiwa..!!.
Sampai kapan pun kualitas memang tidak pernah dilihat dan menjadi titik tolak/ tolok ukur orang sebagai hal yang penting, lebih-lebih di zaman sekarang. Orang tidak bisa melihat kebaikan, mereka hanya bisa melihat berhala yang dapat dipegang dan di ratapi setiap harinya.