Di sini Ceritanya Wongsello


Selasa, 19 Februari 2019

Ditengah Hipokrisi Media

www.redstate.com


Seperti yang terjadi sekarang, ledakan informasi dan alat ekspresi yang begitu masif telah mengubah peta jalanan orang-orang hingga anak-anak milenial. Dulu informasi, ilmu, wacana, pengetahuan, dan sebagainya didapat dengan melalui proses nyata untuk merguru langsung atau katakan secara konkrit. Bisa saja dengan buku atau cerita dari orang.

Namun, jika melihat kabar hari ini seperti membalik zaman dari yang inten jadi instan. Begitu yang saya pahami. Mau cari informasi apa pun dengan mudahnya kita menjejak ke laman pencarian yang kini biasa disebut Google untuk mendapat apa yang kita cari. Orang tua, remaja, bahkan anak-anak telah mengalami kemajuan dalam hal konsumsi dan menggunakan teknologi itu.

Hal yang paling disesalkan adalah kita tidak tahu mana berita atau informasi yang benar dan nyata. Akhirnya dengan ketidaktahuan itu kita jadi frontal dalam mengkonsumsi informasi lalu saling salah menyalahkan orang lain dan mengklaim diri kita yang benar sendiri. Itu merupakan kebodohan yang kita alami sekarang.

Media memberi ruang bebas untuk mengakses dan membagi informasi, tapi sekaligus berpeluang untuk membentuk opini global. Akibatnya bagi mereka yang kurang peka dan memahami informasi dengan teliti akan mudah terseret arus media yang menghegemoni. Selain itu, media yang ada sekarang apakah benar untuk mencerahkan masyarakat dalam hal informasi, atau mencari konsumen apa hanya menarik kesimpulan supaya menjadi keuntungan pribadi?. Kita juga harus mempertanyakan hal tersebut dalam diskusi. Satu media tak mungkin sama persis dalam memberitakan informasi, mungkin intinya sama, tapi ada titik tolak yang berbeda dari tiap media. Mereka punya visi misi yang berbeda dalam arti luas.

Menurut saya, bagi anak-anak milenial pemahaman dan ketelitian dalam mengakses informasi harus benar-benar hati-hati. Kita harus memikirkan dari hal kecil bahkan sepele, bersikap hati-hati dan terus belajar adalah satu cara untuk menuju perbaikan hingga dapat mengubah cara pandang anak Indonesia untuk lebih kritis dalam hal informasi dan pengetahuan.
Share:

Mahasiswa Itu Apa?

hype.idntimes.com


Ada hal baru yang saya alami dalam perjalanan kehidupan ini. Menjadi mahasiswa. Orang bilang sekolahlah setinggi-tingginya biar dapat serenteng gelar, nanti kerjaannya layak, gajinya banyak, kaya Raya, istrinya cantik, terkenal, dan jadi orang besar dan dihormati orang banyak.

Aku tidak benar-benar peduli dan menggugu perkataan itu hingga nanti akan kubuktikan siapa yang lebih kuat dan menjalani hidupnya sendiri-sendiri dengan selamat dan berhasil. Biarlah orang berkata seperti itu, tapi tiap orang punya pikiran yang berbeda, cara pandang yang beda, dan mimpi yang tak sama. Bukan soal jika nanti dikatakan kalah atau menang, yang penting siapa yang mau berjuang sampai akhir. Itulah yang aku pahami dan pegang. Prinsip.

Hari pertama masuk kuliah aku mulai dengan pertanyaan, kenapa disebut mahasiswa? Apakah ini sistem kasta atau apa, kalau ada maha berarti ada yang mini. Ini aneh, mengapa? Intinya semua adalah penuntut ilmu, dengan pemahaman seperti itu bukankah sama artinya jika disebut murid. Dalam bahasa arab, murid itu subjek yang punya hajat, atau katakanlah orang yang berkeinginan, menginginkan. Jadi kalau memang demikian kenapa diciptakan nama "Maha" jika memang sama saja dengan siswa/murid?. Kenapa dengan pede dikatakan seperti itu, apa mapelnya lebih sulit ketimbang di sekolah, atau bagaimana?. belum tentu juga, selain itu Menurut ku kuliah hanya pengembangan saja dari yang pernah dipelajari di sekolah.

Mahasiswa itu tidak ada!. Aku lebih suka dikatakan siswa/murid tok! Tanpa embel-embel maha. Maha itu milik Tuhan.
Share:

Mentari dan Lentera

screenshoot

keperkasaan mentari takkan pernah menindas cahaya lentera bumi ini
seperti wajahmu yang dihiasi kegembiraan petang itu
kegembiraan yang dilingkupi kesedihan,

namun
kesedihan dibalut dengan kebahagian
mesra dirasa enak dikata
aku sebuah nada dan
engkau, tembang lala dengan seluruh aransemen 

aku hanyalah lentera yang diusik angin malam
sedangkan engkau adalah mentari yang mengguyur jiwa-jiwa kegelapan dengan cahya cinta sejati 

Wajahmu adalah wajah kemanusiaan
Wajahmu adalah wajah  kedermawanan 
yang tiada pernah lelah 
membesarkan hati lentera kami

petang itu
aku melihatmu bak cahaya yang 
dikerumuni laron-laron kecil
dari tiap gelombang yang engkau pancarkan

tiada perlu ungkapan
tak ada suara bersambut tanya
yang ada hanyalah sebuah kidung cinta tanpa perantara biola
atau gita alam yang tak perlu seruling bambu 

                                                                                                                                                di  05.10
                           Yogyakarta, 09 Desember 2018
        















Share:

Senin, 18 Februari 2019

Embun

solusisupersukses.com


Embun

Saat tidak bisa memahami dan mengerti jalan pikiran orang lain, kita tidak bisa menghukuminya dengan penilaian budaya. Saat tidak bisa memahami jalan pikiran orang lain, maka disaat itulah kita diberi kesempatan untuk mempelajarinya.
Share: