Di sini Ceritanya Wongsello


Sabtu, 16 Oktober 2021

Membaca (Manusia) Rendra Lewat Al-Quran


Kemarin dan esok adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan sama saja. 

Langit di luar 
Langit di badan
Bersatu dalam jiwa. 

Rendra
Jogya, 1975


Apa menurutmu Rendra sadar dan mengetahui jika sajaknya adalah cermin dari apa yang dikatakan Al-Quran?. 

Tidak perlu jawaban untuk itu, sebab bila manusia berlaku dengan jujur dan menjalani kemurniannya, maka segala yang dilakukannya adalah ayat-ayat Tuhan. Bagaimana menjelaskannya sekali lagi jikalau Rendra ternyata diam-diam mempelajari lebih dari yang kita ketahui bersama. Manusia adalah cakrawala beserta rahasia nan sunyi. Boleh saja engkau rajin menceritakan segala sesuatu terkait dirimu, namun rahasia itu sendiri tidak bisa dibeberkan begitu saja, maksudnya adanya ketidakpahaman, dan tiadanya pengakuan menurutku juga berarti rahasia. Terang saja hal itu tidak tersebar secara masif. 

Sebagai yang pernah Allah firmankan:

"yaaa ayyuhallaziina aamanuttaqulloha waltangzhur nafsum maa qoddamat lighod, wattaqulloh, innalloha khobiirum bimaa ta'maluun"

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hasyr 59: Ayat 18)

Bagaimana cara menjelaskan bahwa Rendra ternyata memahami ayat ini atau tidak bukanlah sesuatu yang krusial, tetapi kecocokan dan keterikatan perihal yang disajikan dalam sajaknya tidak bisa dilewatkan begitu saja. Baris pertama dalam sajaknya adalah representasi dari Al-Hasyr ayat 18. Caranya memahami waktu sangat berkesinambungan dan terkoneksi nyata dalam Al-Quran.

Al-Quran mengabarkan kepada orang-orang beriman untuk memperhatikan dampak atau akibat dari perbuatannya di dunia. Memperhatikan di sini bisa berarti banyak hal, seperti mengukur, mengira-ngira, mensimulasikan, dan lain-lain. Sederhananya berbagai sebab dari perkara di dunia adalah gerbang dan jembatan untuk menuai akibatnya besok di akhirat. Nah, dengan pemahaman yang sama Rendra seperti dituntun Allah melalui cara berpikir yang serupa dengan Kitab-Nya lewat sajaknya itu. Jadi, jika berkaca bahwa yang namanya Al-Quran itu bukan hanya Alam dan mushaf memang benar adanya. Manusia pun ayat-ayat Allah yang berarti juga Al-Quran (Fussilat: 53). 

Baris/Satar kedua bermakna apa pun dalam kehidupan dapat dimaknai dan dihikmahi, jadi entah baik buruk atau untung rugi dan apa lagi dapat dinilai dengan cara berpikir yang nyegoro, komprehensif, dan adil. Maka, tidak ada parsial atau penggalan yang berpotensi rancu dan kurang dewasa dalam pemaknaan. 

Sedang bait kedua sampai akhir adalah pemanunggalan dan penyawijian jagat kecil dan jagat besar menjadi satu keutuhan. Karena memang segalanya bermula dari Tunggal dan kembali lagi manunggal, ilaihi rojiun
Share:

Kamis, 14 Oktober 2021

Penghinaan Fundamental Bagi Manusia


Ada kawan yang bimbang mengenai pertanyaan dari temannya yang menurutku berpotensi intimidatif. Dia bilang "Kuwe meh lapo nek Jogjo?" 

Sebuah pertanyaan yang menurutku menghina manusia dengan segala kualitasnya. Secara moral pun tidak enak jika tiada cuaca yang dibangun sebelumnya. Memang kenapa jika harus berjuang mati-matian katakanlah? selalu saja orang-orang melihat dari yang nampak saja, aku pun sepertinya tahu apa yang dipikirkan temannya itu, mungkin. 

Maka coba telaah dulu, Yogya bagi orang banyak dikata sebagai tempat belajar, membangun jati diri dan mengembangkan bakat yang terutama kesenian dan kesastraan tumbuh subur di sana, namun bila melihat dari sisi pandang teman kawan kita itu mungkin hanya men-shoot satu pandang saja, katakanlah wadak atau materi. Padahal setahuku dulu dia di Yogya juga cukup mengikuti "pergerakan" baik literasi maupun pergerakan lainnya. Dan lagi, kawanku satu beskem dengan temannya itu. 

Dengan bau Yogya dan kualitas yang jarang dimiliki tempat-tempat lain itu merupakan sebuah kesempatan, kans, dan peluang yang besar bagi manusia yang ingin tetap berproses di situ. Tidak mengherankan juga, temannya itu mestinya punya data dan alasan yang mendasar jika dia sampai bicara seperti itu, misalnya dia melihat teman kita itu sebagai karakter yang belum cukup mumpuni untuk melakukan suatu perubahan, entah seberapa skalanya, dalam hal ini di Yogya. 

Kedua, Yogya dipandang sebagai kota dengan Upah Minimum Kota terbilang rendah untuk ukuran kota madya dan salah satu kota terpopuler di Indonesia. Jadi, melihat dari sudut pandang kawannya itu sepertinya hanyalah soal wadak dan materi. Intinya hanya melihat sekilas dari apa yang terkonsep di akal pikirannya. 

Aku tidak rekonfirmasi kepada empunya yang bertanya, dan tidak perlu juga menurutku, aku hanya menangkap rasa dari apa yang diceritakan kawanku, dan rasa-rasanya aku seperti bisa merasakan intimidasi itu. Aku tidak bisa menganggap ini wajar atau tidak wajar, begitu yang aku katakan ke temanku bergantung bagaimana konteksnya, sebab banyak macam karakter manusia. Meski yang lain menganggap wajar dan bahkan mengatakan lebay, tapi bagiku ini cakrawala. 

Selain itu, pertanyaan di atas pun berlaku untuk semua, artinya pertanyaan "Kuwe meh lapo nek Jogjo" Pun untuk "Kuwe meh lapo nek (di mana pun) saja. Aku merespon ini karena berbahaya menurutku jika pertanyaan tadi menjadi wajar saja dan jadi pertanyaan global tanpa pemahaman dan pemaknaan lebih lanjut. Alih-alih untuk pembelajaran, malah mungkin jadi dogma, maka aku tidak bisa saja nyaman dengan kata 'wajar' wajar saja. 
Share: