
Kalau kau seorang yang berambut gondrong, gelandangan, menyusuri tiap mili jalan jalan di Yogya tanpa sepatah kata pun lenyap dari mulutmu, serta gelisah mengenai keadaan zaman, maka aku mencurigaimu sebagai salah seorang pendekar dari murid sang presiden. Yang akan disiapkan untuk berperang melawan dominasi global yang menghancurkan jiwa manusia dan nurani kehidupan hingga saat ini. Ini bukan tentang pertarungan Barat-Timur atau Kiri vs Kanan. Para pendekar itu melakukan kudeta radikal, bertarung melawan diri mereka sendiri dalam senyap, hening, dan sunyi, dan tentu saja sering kaliren.
Nama-nama jalan telah tuntas mereka lewati tiap malam hingga selalu jadi teman dan inspirasi. Mereka melihat dan menghayati banyak hal; simbok-simbok yang jualan di pinggiran jalan, tukang becak yang tak lelap tidurnya karena lapar mungkin masih bersarang di perutnya. Gelandangan yang tidur di depan toko-toko, pengamen dan pengemis berkeliaran jadi semacam zombi yang mendatangi setiap orang, dan wanita di ujung jalan masih setia menanti pelanggannya yang dapat memberinya "rezeki". Ia tak menghiraukan apapun, selain anaknya bisa makan esok hari.
Mereka, para pendekar yang menghayati kehidupan itu akhirnya sampai pada sarangnya, universitasnya, beskemnya, sekolah atau kelas tanpa tembok kurikulum yang membelenggu. Malioboro. Di sana, ada cakrawala yang dapat menampung jiwa dan kegelisahan anak-anak muda. Cakrawala yang dibawa seorang maha guru, anak raja yang enggan meneruskan tahta. Tetapi lebih memilih jadi pengayom dan pendidik yang kadang merendah mengatakan hanya sebagai pupuk saja bagi anak-anak muda di Yogya. Umbu Landu Paranggi. Ia menciptakan cakrawala yang benar-benar membuat anak-anak muda bergejolak dan terpanggil turut serta menggali potensi dalam diri dan berlomba-lomba menghidupkan sastra.
Di Malioboro, ada Pelopor Yogya, ada Sabana, yang secara eksplisit dikatakan penyair Sapardi D.D (alm) dalam prolognya di buku (Metiyem, Pinusung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi), sengaja diciptakan Umbu sebagai tempat di mana para kuda dapat meringkik bebas tanpa ada penghalang. Nomenklatur "Sabana" ini relate dengan masa kecil Umbu ketika ia dibesarkan di Sumba, tempat di mana banyak kuda-kuda berlarian di savana. Di Malioboro pernah ada klub sastra (Persada Studi Klub atau PSK) yang gemanya bisa sampai mancanegara, yang anggotanya bahkan mencapai 1.555 orang. Benar-benar pencapaian luar biasa dari sebuah klub, apalagi klub sastra yang dipinggirkan dari modernitas. Sehingga adanya PSK menjadi oase bagi mereka yang konsen dengan kesehatan jiwa dan tergetar menghayati kehidupan ini juga dapat merangkul dan menemani kegelisahan anak-anak muda zaman dahulu yang kemudian kita dapat menikmati sekarang karya-karyanya.
Namun kini, Malioboro hanya jadi tempat transaksi dan perputaran ekonomi semata. Hanya jadi keramaian orang yang dalam pikirannya sibuk ingin ini itu dan mungkin tak pernah memikirkan atau ingat tempat apa sebenarnya yang mereka pijak itu. Dahulu, di Malioboro, pernah jadi "Sarang Angin" atau "Susoh Angin" yang melahirkan orang-orang macam Ragil Suwarno Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Ahmad Munif, Teguh Ranusastra Asmara, Mugiyono Gito Warsono, M. Ipan Sugiyanto Sugito, Sutirman Eka Ardhana, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Ebiet G Ade, Mustofa W Hasyim, Bambang Darto, Joko Passandaran, Budi Sarjono, Fauzi Absal, Arwan Tuti Artha, RS Rudhatan, AY Suharyono, Suryanto Sastroatmojo, Soeparno S Adhy, dan masih banyak lagi.
Pastinya bukan persis seperti itu gambarannya. Itu hanya keterbatasan pandangan dan khayalan dari penulis sehingga hanya mampu menangkap sedikit nuansa dan alam rasa saat itu. Mungkin akan kita dapatkan gambaran yang lebih jelas dan lengkap kiranya anggota-anggota PSK yang tersebut tadi dapat menceritakan kembali apa, kenapa, dan bagaimana suasana serta latar yang membentuk keadaan itu sehingga dapat menciptakan atmosfer keriuhan sastra yang luar biasa di zamannya. Namun hal itu juga tidak bisa ditunaikan karena sebagian anggotanya juga sudah berpulang. Apalagi sang presiden juga sudah berpulang di tahun 2021 kemarin.
Meskipun juga, pernah diterbitkan buku "Orang-Orang Malioboro, 2010" yang digawangi oleh Iman Budhi Santosa dkk, tapi usaha itu dinilai oleh Asep Saeful Anwar belum memenuhi atmosfer yang diharapkan, karena para anggota PSK yang terlibat dalam penulisan di buku itu relatif hanya saling memuji anggota lainnya atau menceritakan persinggungannya dalam berkomunitas di PSK saja, tanpa mendeskripsikan apa dan bagaimana PSK itu. Atau katakanlah PSK dibesarkan oleh anggota-anggotanya yang terkenal, jadi terkesan tidak ada cerita bagaimana sebenarnya kehidupan anak-anak PSK atau orang-orang Malioboro di zaman itu sehingga dapat menciptakan gejolak sastra dan gema yang luar biasa ke depan.
Namun, usaha dalam membuat buku itu sangat diperlukan sehingga dapat menjadi wacana dan jembatan untuk usaha-usaha yang lain. Mungkin bagi anak-anak muda sekarang hanya tersisa nostalgia dan cerita dahsyat yang bisa dinikmati tentang mereka, tetapi hal itu tidak masalah. Kita tidak pesimis karena tidak pernah ketemu Umbu sang presiden dan kawan-kawannya. Sebab kita juga mempelajari bahwa ada tipe manusia seperti Bambang Ekalaya, yang orang modern menyebutnya sebagai pendidikan heutagogi, yang tanpa perantara langsung dari seorang guru, tetap bisa jadi pendekar dan waskita hingga mengalahkan Arjuna. Hanya lantaran batu, ia tetap sakti mandraguna seperti yang dipuisikan oleh Iman Budhi Santosa "Guru Batu Bambang Ekalaya" dengan indah.
![]() |
Dok.Pribadi |
Tapi kembali lagi, tidak mungkin pertemuan hanya soal reuni dan nostalgia. Maka, pada sabtu, 17 Juni 2023 kemarin, di Museum Sandi, Kotabaru, Yogyakarta. 14 penyair besutan sang presiden yang dikomandani oleh Ons Untoro, bersama kawan-kawan penyair kelahiran 50-an yang Mustofa W Hasyim menyebutnya sebagai Sweet Generation mengadakan acara luar biasa dengan membukukan puisi-puisi terbaru mereka untuk dikumpulkan dalam sebuah antologi puisi berkepala menggetarkan "Jalan Puisi, Antologi Puisi Penyair Yogya Kelahiran 1950-an".
Rambut gondrong dari para penyair yang pernah dibanggakan dan selalu dirawat hingga tumbuh bersama puisi-puisinya itu kini sudah memutih hampir semuanya. Bahkan sudah ada beberapa yang enggan gondrong dan dipotong cepak. Lalu dari sisi mana kelihatan bahwa mereka adalah penyair-penyair yang telah menggariskan nama? Bahkan mereka tak lebih dari orang-orang tua yang terlihat letih dan capai akan usia, ada yang sudah tidak kuat lama berdiri sehingga harus ditopang kursi, ada yang sakit dan tidak bisa menghadiri acaranya sendiri. Mereka tak lebih dari simbah-simbah biasa yang ingin hidup tentram sambil menikmati sisa senja di ujung hari saja. Begitulah kalau hanya melihatnya dari keawaman mata pandang manusia normal.
Siapa yang mengira kalau orang-orang tua atau simbah-simbah yang sedang baca puisi itu, atau yang sedang lewat di hadapanku dengan rendah hati ini adalah seorang penyair besar. Yang dengan kegoblokanku dan sok canggihku hanya meneropongnya lewat kasat mata tanpa pengetahuan, pengalaman, dan ilmu yang cukup? Manusia sekarang memang hanya bisa menilai dari apa yang terlihat oleh matanya, tapi tak bisa melihat intimasi nilai dan cakrawala yang dimiliki manusia lainnya. Nilai hanya dipaksa merasuki materi, sehingga yang berharga menurutnya adalah tetap materinya. Nilai adalah ruh dan materi hanyalah wadak/jasad yang dirasukinya. Orang-orang mengerti akan nilai uang digital/dompet digital, tetapi yang ada dalam bayangannya adalah saldo tentang materi jua. Orang-orang tahu tentang adanya dunia maya, namun mereka menutup mata dan tidak mau tahu akan nilai apa yang dibawanya sehingga maya entah nyata jadi rancu dan destruktif akibatnya.
...
Kemudian salah seorang dari 14 penyair itu mempertanyakan apakah pertemuan dan antologi puisi ini bisa hadir kalau dulu tidak ada Umbu yang mau mengayomi dan mendidik para penyair yang masih hijau itu? Pertanyaan yang dilontarkan kepada Emha itu pun tak terjawab, karena memang itu bukan hal yang bisa dijawab sekenanya saja. Umbu, sang Metiyem, saat ini mungkin hanya senyum-senyum saja dari kejauhan, kata Emha, mengawasi kita dari balik mega di atas langit, yang kita tidak mempunyai kapasitas untuk memandangnya dari bumi.
Andaikan waktu itu Umbu jadi sekolah di Taman Siswa-nya Ki Hajar Dewantara. Dan tidak jadi siswa di SMA Bopkri 1 Yogyakarta dan juga tidak ketemu guru bahasa Inggris-nya ibu Lasiyah Soetanto, apakah Persada Studi Klub (PSK) dan warna-warni Malioboro yang jadi rumah para seniman sastrawan bakal lahir? Kembali tadi, itu bukan pertanyaan yang bisa dijawab begitu saja. Kehidupan lahir tanpa diminta, ia hanya mengalir begitu saja mematuhi garis-garis dan aliran-aliran yang sudah ada lebih dulu.
Mungkin 14 penyair itu bisa dikatakan sebagai ronin (minjam istilah Anwar Hudaya, dalam sebuah tulisan di rubrik "Tentang Cak Nun" di Caknun.com) yang kehilangan tuan/pepunden-nya. Sehingga mereka merasa kehilangan sosok yang sangat dijunjungnya. Tetapi, mungkin juga tidak. Apakah penting ronin atau bukan? Sebab yang sekarang mereka lakukan adalah melingkar dan memberi semacam mantra sakti kepada generasi selanjutnya agar mengerti bahwa pernah ada dan terus digaungkan gairah kehidupan dan kegelisahan jiwa yang diwujudkan dalam bentuk sastra sehingga kompatibel untuk segala zaman.
Atau kalau mengutip kata-kata Iman Budhi Santosa dalam artikel "Persada Studi Klub (PSK) Dan Sejarah Sastra Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat, 31 Agustus 2003); mereka terpanggil untuk senantiasa mengalirkan tugas ber-sastra, untuk mengumpulkan catatan demi catatan dalam saku, dengan membuat antologi puisi ini supaya tunai dan kontan perjuangan nafas panjang mereka dalam me-laku sastra dalam diri masing-masing. Dan sekarang, mereka ganti memanggil generasi baru untuk meneruskan etos-etos dan gairah ber-sastra agar kehidupan tetap waras dan seimbang. Karena sastra merupakan ekspresi peradaban umat manusia yang perlu dan harus tetap ada sepanjang masa.
...
Ketika aku melihat ada acara sastra/puisi dilangsungkan di Museum, hal pertama yang terpikir adalah apakah puisi hendak dimuseumkan? Walaupun saat itu mbak-mbak MC berusaha menyambungkan bahwa puisi sama halnya dengan simbol/sandi, maka dengan bertepatan acara "Jalan Puisi" di Museum Sandi, ia mengatakan bahwa ini ada keterkaitan dan nyambung. Namun, pertanyaanku tadi mulai terang ketika Emha mewedar pandangan-pandangannya mengenai puisi dan keadaan sekarang. "Zaman koyok ngene iki kok gelem-geleme iseh ono wong nulis puisi. Itu ada tiga kemungkinan; 1. Wong edan, 2. Wong kesepian, 3. Apa manusia sejati."
Dan ketiga hal itu sudah cukup membuatku puas tanpa penjelasan lebih lanjut. []
Sinoman, Pati, 27-28 Juni 2023.
Sungguh sangat mengagumkan membaca tulisan-tulisan dari mas Aji, semangat terus mas Aji.
BalasHapusMuda muisi itu imposoble nek gak ono hasile...
BalasHapusSekarang itu hampir setiap orang berlomba untuk terlihat wah, dengan materi yang di miliki.
Update status, punya ini punya itu, lagi sedih buat status, lagi seneng buat status,... sedikit sedikit larinya ke status medsos..
Nah kalo dulu kan gak ada medsos, ada apa apa jadinya tulisan... puisi cerpen atau diary...
Meskipun ngga ada duitnya tapi seneng...
makanya dulu ada yang sampai bikin lagu "...hati senang walaupun tak punya uang, ooi..."
Kalau sekarang ngga ada uang ya sedih...