Di sini Ceritanya Wongsello


Jumat, 28 Oktober 2016

Sumpahkah Pemuda Kita Hari Ini?

                               sumpah pemuda 


88 tahun telah berlangsung, sejak dimulainya ikrar setia, sumpah pemuda 28 Oktober 1928 merupakan hasil rumusan pada kongres pemuda II tepatnya di Batavia (nama Jakarta tempo dulu) yang diketuai oleh Soegondo Djojopoespito (PPPI) juga dihadiri oleh jong-jong seindonesia.  Sumpah Pemuda adalah bukti otentik bahwa memang pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan dengan penuh semangat perjuangan. Berangkat dari itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober selaku hari lahirnya bangsa Indonesia dengan merenungi kembali makna dibalik 'Sumpah Pemuda' itu sendiri, bukan sekadar semangat saja.

Prosedur kelahiran Bangsa Indonesia ini adalah buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis ketika itu, kondisi ketertindasan ini-lah yang lalu mendorong para pemuda ketika itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan juga martabat hidup manusia Indonesia asli, tekad ini-lah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya (17 Agustus 1945). Lalu pada tanggal dan tahun yang sama pulalah lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman menjadi yang pertama dan terakhir kali sebagai lagu kebangsaan Indonesia dan dicetak melalui surat kabar Sun Po berikut teksnya (28 Oktober1928).

 gedung museum memperingati kongres pemuda                                                   II


Bersesuaian namanya, Sumpah Pemuda dirumuskan oleh para pemuda. Mereka lalu menjadikannya selaku dasar untuk membangkitkan rasa nasionalisme. Para pemuda tidak lagi berjuang sendiri, melainkan bersama-sama. Ikrar Sumpah Pemuda tidak lahir begitu saja, untuk mewujudkan bangsa yang besar seluruh rakyat Indonesia terlebih para pemuda telah merelakan bahasa, adat dan agama mereka demi mencapai bangsa yang utuh lagi erat. 


Memangnya apa yang sudah kita lakukan hari ini atau mungkin hari sebelumnya dalam memperingati hari bersejarah ini Hmm.?
Apa hanya memperingati saja, atau merenungi kembali ruh dari sebuah makna 'sumpah pemuda'. Barangkali dari kita punya cara sendiri-sendiri dalam mengapresiasi itu. Yang di sekolah, para guru mengingatkan kembali kepada murid-muridnya apa itu 'sumpah pemuda' dan bagaimana sejarahnya. Yang jurnalis disibukkan dengan kata per kata dan serangkaian kalimat  demi mencapai suatu peradaban artikel yang akan terbit esok hari. Yang pemudanya, menurut hemat saya belum tahu juga bagaimana mereka menyikapi ini.

                              BabatPost.com


'Sumpah Pemuda' yang di ikrarkan kala itu merupakan salah satu mimpi daripada para pemuda pada masanya itu. Mereka ingin pemuda sebagai tonggak menuju suatu kemajuan yang konkret. Dapat memandang dengan jernih masa depan. Sumpah pemuda sebagai kristalisasi semangat dalam upaya membesarkan bangsa Indonesia. Jika kita pahami lagi butir-butir sumpah pemuda itu mengandung cita-cita luhur bangsa Indonesia, karena ikrar ini harkat bahasa Indonesia menjadi terangkat dan punya tempat di atas.
Yudhistira Anm Massardi seorang sastrawan menjelaskan: Muhammad Yamin tatkala menulis rumusan ikrar sumpah pemuda yang dibacakan pada 28 Oktober 1928 ternyata sepenuh sadar memberi tempat khusus pada bahasa, bahkan kedudukannya lebih ditinggikan ketimbang dua unsur lain. Perhatikan:

Pertama: Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Satu, Tanah Indonesia. 

Kedua: Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Satu Bangsa Indonesia. 


Ketiga: Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. 


Pada teks di atas kita melihat kata yang dipilih untuk meneguhkan identitas unsur negara dan bangsa pada dua kalimat pertama dan kedua adalah mengaku. Namun, khusus untuk ikrar kalimat ketiga, tentang bahasa Indonesia, dipilih kata berbeda, yakni menjunjung, bukan repetisi mengaku.

                           NusantaraPost.com


Mengapa? Lanjut Yudhistira, dengan memilih kata menjunjung, para pemuda kita di masa itu sudah ingin memberi isyarat dan menekankan pentingnya pemaknaan yang lebih dari sekadar mengakui, melainkan sekaligus menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa persatuan bangsa. Mengapa? Karena suku bahasa dan bangsa di Nusantara jumlahnya ratusan. Jika bahasa Indonesia tak di junjung tinggi harkatnya oleh seluruh bangsa, eksistensi Indonesia sebagai negara dan bangsa yang mau bersatu akan runtuh! Karena bahasa menunjukkan masa depan bangsa Ujar sastrawan yudhistira Anm Massardi, (di kutip dari opini kompas, jumat, 28 Oktober 2016).


Agaknya, bagaimana keadaan pemuda masa kini? Pertanyaan yang tidak harus saya jawab, biarlah kalian yang menjawabnya. Dengan melihat kenyataan sekarang ini sudah selayaknya kita selaku bangsa Indonesia harus menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa, terlebih bahasa Indonesia. Karena bahasa Indonesia sebagai simbol, jati diri, dan masa depan bangsa. Dan lagi, Bahasa Indonesia pulalah, bangsa Indonesia di kenal mata dunia sebagai bangsa yang besar karena dapat menyatukan segala SARA di Nusantara.
Share:

Sabtu, 22 Oktober 2016

Santri Sebagai Simbol Kekuatan

                      Raudlatul Ulum Guyangan 

22 Oktober kini menjadi hari santri berskala nasional yang akan kita rayakan setiap tahun. Akhirnya pemerintah menaruh perhatiannya pada cikal bakal kyai ini, meski hanya setitik. Mereka baru menyadari barangkali, sesungguhnya kemerdekaan Indonesia yang diperjuangkan hidup mati itu sebahagian besar berasal dari golongan santri dan kyai. Dari dahulu kala, kontribusi besar telah di ulurkan oleh para santri baik dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun dedikasi fan keilmuan dan keagamaan untuk membantu para kyai mencerahkan hati orang.


Peranan yang para santri lakukan itu bukan omong kosong belaka! Mereka memegang posisi penting dalam membentuk suatu dimensi akhlakul karimah bagi masyarakat. Dedikasi dan loyalitas santri terhadap kyai, kesederhanaan yang melekat pada setiap diri, antusias dalam ber-tholabul ilmi, untuk kemaslahatan bersama selalu terisi. Totalitas mereka tidak main-main. Bukan untuk meraih gelar ataupun nama   terkenal dan sebagainya, tapi hanya untuk mendapatkan ridho dari sang Ilahi Robbi, barokah kyainya. Atas dasar itu santri menjadi yakin akan hidupnya. Tidak peduli latar belakang seperti apa, yang penting kontribusi untuk kyai dan masyarakat awam harus dititi.


Santri itu kyai kecil, begitu kata mereka. Pun demikian tidak ada alasan untuk meremehkannya. Para pejuang-pejuang kita dulu juga bermula dari santri, kyai-kyai kita dulu ya santri,  yang turut berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia. Ingatlah Para Walisongo, Pangeran Diponegoro, Kh Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim, bung Tomo hingga KH Abdurrahman Wahid dan masih banyak lagi, tolong ingatlah perjuangan mereka, bukalah kembali catatan sejarah buku kalian, yang mereka lakukan itu lebih dari cukup dalam memperjuangkan bangsa Indonesia ini, tanah tumpah darah kita ini, bumi pertiwi yang kita cintai ini. Mereka semua itu dulunya juga santri!!.


Kalian ingat?  Ketika bung karno meminta nasihat kepada KH Hasyim Asy'ari bagaimana hukumnya melawan penjajah, maka KH Hasyim Asy'ari langsung mengumpulkan para kyai se-Jawa sampai Madura untuk mendiskusikan masalah itu, sehingga muncullah maklumat "Resolusi Jihad" bahwa melawan penjajah itu merupakan jihad dan wajib bagi setiap warga Indonesia, bahkan bung Tomo memiliki andil besar dalam momen ini. Dengan gagah berani menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo terkhusus santri-santri melalui orasinya yang menawan dan menggetarkan setiap jiwa untuk menggerakkan mereka dalam melawan penjajah. Akhirnya perang pun pecah pada tanggal 10 november 1945, dan menjadi yang terbesar saat itu, hingga berlangsung hampir sebulan, bahkan memakan banyak korban.


Namun, baru-baru ini saja sedikit perhatian diberikan oleh pemerintah untuk santri. Sehingga menetapkan satu hari sebagai "hari santri"  tepatnya tanggal 22 Oktober. Sejujurnya bukan hari santrinya yang perlu di garis red line, tetapi semangatnya yang perlu ditiru generasi sekarang, semangat akan memiliki jiwa santri. Bahwa yang namanya santri itu berbudi/akhlakul karimah, loyal, dedikasi, patuh, ulet, disiplin dan sebagainya.
Santri sebagai simbol kekuatan untuk melawan ketidak benaran, adilan dan ketidak singkronan atas realitas yang terjadi di pranata kehidupan sosial ini. Karena selain kepada Ulama sesungguhnya santri itu juga perpanjangan tangan nabi. 

Karena..,

Dialah santri,
Yang memiliki output sosial yang mumpuni,
Dialah santri,
Yang akhlaknya terukur dan tertata rapi,
Dialah santri,
Yang antusias tinggi untuk tholabul ilmi,
Dialah santri,
Yang kontribusinya bagi negeri pertiwi,

Sebab, santri itu mengabdi, bukan menghakimi,,
                                      *edisi hari santri nasional*
Share:

Senin, 03 Oktober 2016

Kearifan Budaya dan Mitos Dua Pohon beringin


Jogjapos.com


Mitos adalah cerita warisan dari leluhur yang banyak dianggap kebenarannya. entah itu memang benar atau tidak, saat ini telah menciptakan berbagai asumsi dan menjadi suatu pengetahuan masyarakat. Yang semulanya merupakan cerita rakyat, kini telah menjelma menjadi suatu tradisi pengetahuan dan akan terus membudaya barangkali.


Ditengah modernitas zik zak ini, masih saja bergulirnya mitos-mitos zaman dahulu. Misalnya saja di Yogyakarta, di sana ada mitos yang saya yakin kalian pernah mendengarnya, bahkan anda sendiri melakoninya. Adalah mitos dua pohon beringin berjajar yang berada di Yogyakarta, tepatnya di alun-alun selatan atau bisa dibilang 'alkid', begitu kami menyebutnya.


Ceritanya, yang bisa berjalan melewati dua pohon beringin itu tanpa melihat (baca: mata telanjang) dengan tidak melenceng maka, dia adalah manusia pilihan yang bersih hatinya dan apa yang menjadi keinginannya terkabulkan.Terlepas dari konteks itu, seiring berjalannya waktu saya berpikir ini adalah suatu kearifan budaya lokal, bukan sekadar cerita mistis belaka, kenapa? Begini, ketika orang bicara tentang mitos, saya rasakan hal pertama yang menjadi objek itu pasti alam, kedua barang gaib atau makhluk astral. Suatu realitas alam yang dikaitkan dengan hal gaib bukan serta merta kejadian sungguhan, barangkali itu merupakan clue, bahwa orang-orang pada zaman dahulu ingin menyampaikan pesan kepada generasi ke depan.


Jadi ada pesan yang tersimpan dalam suatu mitos tertentu, dan mereka ingin kita mengetahui yang sebenarnya. Namun, alangkah ironisnya kita belum sepenuhnya mengerti itu, alih-alih mengamini ekspektasi para leluhur eh malah hanyut dalam peradaban cerita rakyat tanpa memfilter terlebih dahulu makna dari sebuah cerita mitos. 


Mitos pohon beringin di Jogja itu sebenarnya merupakan suatu kearifan budaya lokal yang berkaitan dengan realitas alam menurut saya. Analoginya seperti ini (dalam konteks mitos di atas) orang terdahulu mengajarkan bahwa dalam melangkah maju, pandangan kita harus benar-benar terbuka lebar, lebih lagi dalam satu pandangan terkaver seribu penglihatan, seorang murid di suruh gurunya fokus pada satu titik di depan, akan tetapi dia bisa menghindari serangan dari belakang, ha,, ini lho yang disebut satu pandangan tersimpan seribu penglihatan. Ibarat orang kafir itu seperti orang yang berjalan diantara pohon beringin tadi dengan mata tertutup, karena hijab itulah mereka tidak bisa menemukan jalan, dan karena Tuhan tidak membukakan mata hatinya itulah menjadikan mereka benar-benar sesat arah dan tujuan. 


                              www.hipwee.com

Orang kafir kenapa kok tidak tahu jalan (baca: sesat), kenapa tidak bisa membedakan mana yang layak di sebut Tuhan, dan kenapa mereka mengambil tiket akhirat selain dari Muhammad??? Apakah islam yang diajarkan nabi Muhammad saw tidak cukup kuat menarik hati mereka  hmm. Karena hati mereka telah tertutup dari pintu Rahmat -Nya hingga tidak tau arah dan membedakan bagaimana harus berjalan lurus!.


Karena manusia akan benar-benar berada di jalan yang mustaqim jika Tuhan sudah merelakan apa kehendak-Nya, dan itulah manusia pilihan, manusia yang bersih hatinya. Lalu mengenai mitos di atas, kita sebenarnya diajarkan untuk melihat masa depan dengan mata yang memandang, bukan tertutup oleh sesuatu pun, karena bagaimanapun juga yang namanya penghalang tetaplah pengganggu jalan. Begitulah kearifan budaya bekerja.

Share: