![]() |
khosann.com |
Pemahaman kesadaran kian hari bertambah dengan terus kembang, itu
yang menandakan kemampuan manusia dengan segala spesifikasinya digunakan dengan
baik. Pun bersama judul yang aku angkat ini adalah satu deternimasi yang cukup
pertimbangan, buatku. Setiap hari kita banyak melakukan kebaikan yang tidak
sengaja, sengaja ataupun melakukan kejahatan yang mungkin tidak kita ketahui,
namun melihat fenomena yang ada di sekitar menunjukkan bahwa yang namanya
kebaikan itu hanya horizontal/lurus ke depan dan tidak berusaha ditingkatkan
pemahaman atau kesadaran lanjutan yang lebih baru.
Kebanyakan orang memaknai kebaikan itu saat dirinya memberikan
sesuatu yang dimiliki, atau dapat dikatakan memberikan sedikit haknya untuk
sesamanya yang membutuhkan. Terkesan materi, tapi yang lebih kentara ya seperti
itu. Saat memberi jasa kepada orang lain tanpa memungut biaya kadang ada rasa
atau pamrih yang tak terlihat, benarkah itu disebut kebaikan?. Misal ada teman
yang minta bantuanmu pindahan kos dengan membawa segala barang-barangnya dan
kamu pun membantunya, tapi suatu kali kamu punya hajat yang sama dan teman yang
pernah kamu bantu itu kamu kontak untuk berniat minta bantuannya karena
pertimbangan kalau dia dulu kamu bantu buatku itu adalah balas dendam. Aku
melihat itu bukan keikhlasan, walau aku tidak benar-benar yakin dengan
pendapatku, tapi jika niatmu memang dengan pertimbangan demikian, aku rasa itu
bukanlah suatu kebaikan dalam arti sesungguhnya.
Padahal, kalau orang sudah berani membuat keputusan untuk menjadi
baik ex menolong orang dll, maka dengan segala konsekwensinya ia mestinya harus
berani jadi wadah untuk menampung segalanya. Baik tidak cukup dari kepemilikan
untuk disalurkan, tapi lebih kepada kerelaan untuk menampung dan menjadi ruang
bagi semua. Ia harus berani jadi keranjang sampah untuk menampung sampah-sampah
yang berserakan atau bahkan jadi lautan yang menampung segala bangkai itu.
Kebaikan lahir dari hati, akal hanya mengakumulasi dan menganalisa
kejadian kemudian diregulasi dengan banyak pertimbangan. Ia masih dipengaruhi
logika dan kalkulasi yang membuatnya terkurung dalam hal menang-kalah,
laba-rugi, menguntungkan-tidak. Tapi, hati melampaui segala yang dicapai akal,
ia bermaqom di wilayah ‘rasa’ yang dapat sedikit mampu mencapai Tuhan. Dan
kebaikan itu bukan perhitungan untuk mengakibatkan keuntungan, namun untuk
cinta dan kasih sayang. Kebaikan itu luas dan mencakup, bukan mengekang, tapi
mengayomi, bukan pamrih, tapi berani perih, bukan balas dendam, namun sanggup
menampung.
Kebaikan tidak semudah memberi lalu pergi begitu saja, ia harus
berani seperti matahari yang selalu menyinari alam sepanjang masa tanpa adanya
rasa untuk pamrih. Banyak dari penyair yang telah sampai pada acara berpikir
semacam ini, mereka menunjukkannya dalam karyanya. Simbol-simbol alam yang
digunakan di dalam karyanya adalah representasi dari pemahamannya mengenai alam
walau tidak bisa menyampaikannya secara keseluruhan karena kelemahan bahasa.
Kebaikan adalah kesadaran
keranjang sampah. Kesadaran untuk menampung segala.