Di sini Ceritanya Wongsello


Jumat, 31 Januari 2020

Sinau Bareng mas Iman Budhi Santosa #3



#Silaturahmi-Reportase bersama mas Iman Budhi Santosa

Apakah Padi itu awal mulanya diciptakan untuk manusia? tanya mas Iman sekali waktu ketika ngobrol bareng anak-anak muda di kediamannya. 

Padi mula-mula diciptakan bukan untuk manusia, melainkan untuk dirinya sendiri yang memungkinkannya beregenerasi ke depan. Kira-kira seperti itu kata-kata mas Iman. 

Suatu pernyataan "..pyaar.." dari sebuah tesis berani yang tidak banyak orang tahu dan temukan. Kita juga ingat bagaimana mas Iman ketika membuat karya-karya banyak dipengaruhi gaya dan informasi dari Jawa, kemudian lahirlah cahaya-cahaya yang berkilau berupa "Suta Naya Dhadhab Waru, Kalakanji, Sesanti Tedhak Siti, Profesi Wong Cilik" dan banyak lagi. Kesemuanya merupakan wujud rupa dari pemahaman orang Jawa yang pernah diajarkan dahulu, dan mas Iman salah seorang pembelajar dan "rawi" untuk menyampaikannya kepada kita. 

Dan ngomong-ngomong soal pertanyaan awal tadi, baru teman se-PSK yang menurut mas Iman dapat menjawab dengan kecepatan berpikir sangat tinggi. 

"Waktu itu dia (teman PSK) yang dapat menjawab dengan kecepatan berpikir sangat cepat" tutur mas Iman. Kalau tidak salah dengar, hanya butuh beberapa detik saja untuk dia menjawabnya. 

Selain itu mas Iman juga mengatakan kalau tumbuhan adalah makhluk yang paling neriman, itulah sesungguhnya di mana filosofi Jawa "Nerimo Ing Pandum" dilahirkan. Sesungguhnyalah pada tumbuhan pemahaman itu diilhami. 

Kalian perlakukan seperti bagaimana pun, tanaman / tumbuh-tumbuhan akan menerima dan pasrah terhadapmu. Bukankah itu perlambang qonaahnya tumbuhan terhadap manusia.

Namun, sebagai sedulur, manusia pun tidak diperkenankan memperlakukan tumbuhan dengan brangasan, artinya ada etika dan adab di dalamnya. Semisal kita harus berdoa menyebut Tuhan ketika mau membuka lahan yang memungkinkannya untuk menebang pohon-pohon. Itu menandakan adanya tali perhubungan antara manusia dan tumbuhan sebagai mahkluk Tuhan, apalagi tumbuhan diciptakan lebih dulu ketimbang manusia, biar pun manusia yang memegang jabatan khalifah. 

Melihat buku-buku dan karya-karya mas Iman yang telah diterbitkan harusnya para kaum intelektual dan kelas-kelas menengah itu malu kepada beliau, mereka yang biasanya cuma mengkritisi, menerbitkan jurnal yang titik tolaknya hanya berkisar tembus jurnal internasional, selebihnya bonus rupa-rupa. Apa hebatnya? Sebagian besar juga mereka memakai teori-teori barat. Di mana seninya? 

Penelitian yang dilakukan mas Iman telah memberi sumbangsih besar bagi literasi, pustaka, dan pengetahuan informasi bagi nusantara, apalagi orang Jawa. Dapat kalian bandingkan sendiri ketimbang jurnal internasional yang masyarakat sendiri asing dan tidak paham terhadapnya. Jika ilmu, pengetahuan, dan karya-karya yang diwujudkan nyatanya tidak memahamkan bagi manusia, apalagi sulit ditemukan manfaatnya, maka itu hanya omong kosong dunia saja. Akal-akalan saja, memang begitu mereka buat. 


*Data dari mas Iman yang dikembangkan penulis

Bakda maghrib, Jumat, 31 Januari 2020
Di Masjid MBA Sorowajan Baru, Yogyakarta
Share:

Kamis, 30 Januari 2020

Sinau Bareng mas Iman Budhi Santosa #2




#Silaturahmi-Reportase bersama mas Iman Budhi Santosa

Sebelumnya tidak pernah mendapat informasi jika peribahasa Jawa adigang, adigung, adiguno itu dapat disimbolkan dengan hewan. Mungkin ini yang menyebabkan manusia kekinian kehilangan simbolis dalam menghadapi masalah mutakhir dan tidak mendapat solusi serta jawaban yang bagus. 

Agaknya mas Iman mempunyai informasi tersebut untuk dapat diajarkan kepada kami-kami yang masih muda polos ini. Dan tidak heran di jalan hidupnya yang asing bagi orang moderen beliau mendapat ijazah maiyah tempo hari di acara maiyah Kenduri Cinta (TIM), serangkaian perjalanan hidup yang dihadapinya madep mantep dan konsisten di jalan asing hingga hari ini. Betapa kuat jiwanya. 

Dalam ngobrol santai malam itu mas Iman menyinggung peribahasa Jawa yag sudah mapan di telinga orang-orang, tapi mungkin hanya sebatas paham saja. Tetapi, mas Iman punya simbolisme sendiri terkait peribahasa itu. Beliau mengatakan jika data-data sejarah dapat diproyeksikan dalam bentuk gambar dan dihubungkan dengan kekinian. Misalnya peribahasa jawa; Adigang disimbolkan Kidang/Kijang, Adigung digambarkan Gajah, dan Adiguno dilambangkan Ular berbisa.

Itu sebuah informasi yang baru, karena biasanya kita hanya fokus pada pemahamannya, namun nyatanya simbolisme itu justru semakin membantu pemahaman baru. Kita elaborasi. 

Adigang = Kidang/Kijang 
Hewan ini dipakai karena kecepatan larinya yang kencang, walakin mas Iman mengatakan justru malah kecepatan itu yang membuatnya lelah dan akhirnya di terkam Macan, mati. Sederhananya, kehebatan seperti apa pun akhirnya takluk oleh kehebatan lain di atasnya.

Adigung = Gajah 
Sebuah terminologi yang jamak digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang besar. Di sini Gajah dipinjam sebagi proyeksi mengenai Adigung atau sok besar/agung, mengapa Gajah? Dirinya yang berbadan besar akan fokus kepada sesuatu di depannya dan melihatnya dengan menunduk kerana kebesarannya, tapi manakala ia tertusuk duri di kakinya ia tidak tahu, tidak tahu harus bagaimana dan harus berbuat apa, ia tidak sanggup mengatasi masalahnya sendiri, lama-lama duri itu semakin masuk ke dalam daging,  walhasil ia terkena radang daging, menjalar,  mati. Shortcut kata, kebesaran kayak bagaimana pun di dunia ini pasti luput atau terlepas dari masalah-masalah kecil, ujung-ujungnya ia hancur sendiri oleh problem kecil-kecil itu. 

Adiguno = Ular berbisa 
Kecerdasan atau ketajaman ilmu ada efek atau anomaliya tersendiri, begitu juga Ular berbisa. Ia disimbolkan dengan peribahasa Adiguno sebab Ular mempunyai potensi besar untuk melumpuhkan makhluk lain dengan bisanya. Sama seperti manusia cerdas melumpuhkan manusia bodoh, secara keilmuan. Namun, agaknya baik Ular maupun manusia cerdas itu sendiri pasti mempunyai kelemahan yang dimilikinya, entah sadar atau tidak, kalau hewan jelas tidak mempunyai kesadaran. Semisal Ular, berbisa-bisanya dia, ketika dipukul dengan carang pring ori/bambu pasti akan menggelepar dan guling-guling, karena itu memecahkan pembuluh darahnya di bagian tubuhnya yang panjang. Manusia sama saja, secerdas, sehebat apa pun, ketika berhadapan dengan cinta ia tidak bisa berbuat apa-apa kok. 


*Data dari mas Iman yang dikembangkan penulis

Bakda maghrib, Kamis, 30 Januari 2020
Di Kontrakan PP. TG, Nologaten, Yogyakarta.


Share:

Rabu, 29 Januari 2020

Sinau Bareng mas Iman Budhi Santosa



#Silaturahmi-Reportase bersama mas Iman Budhi Santosa

Jika dewasa ini banyak sekali Masjid bermegah-megah didirikan di mana-mana kita optimis dan husnudzon sekali akan semakin merambahnya islam di Nusantara dan betapa kesadaran manusia terlihat meningkat dan masuk ke dalam ruh islam yang religius, begitu semua fokus dalam pembangunan fisiknya bukan "Masjid"-nya. Kita sangat jarang untuk melakukan verifikasi dan penelitian lanjut, dengan mayoritas atau media mengatakan "Ya" maka, publik hampir mustahil akan mengatakan "Tidak", jika pertumbuhan masjid ini begitu pesatnya dan seluruh kajian dan agenda bernuansa islami itu menyeruak brutal, mana mungkin kita akan su'udzon, kita tetap optimis untuk masa depan islam. 

Namun, menurut penyair senior di Jogja, Iman Budhi Santosa, bukan dari Masjid titik tolak penyebaran islam yang gemilang seperti sekarang ini. Tetapi, Langgar/Suraulah titik di mana kedekatan islam itu bermula. Langgar, istilah yang hampir jarang terdengar ini memerankan bagian penting dalam kejiwaan sosial yang mempunyai ruh islam ini, sifatnya yang terbuka berdampak merangkul "kedekatan" masyarakat, sehingga tidak heran bila Langgar berfungsi multi-sosial karena semua merasa memilikinya. Dari anak-anak sampai orang tua merasa ikut memilikinya, efeknya Langgar menjadi pusat peradaban pertama dalam majelis permusyawaratan dan pengajian sekaligus pengkajian, untuk itulah tempatnya tidak pernah absen dari mayarakat sekitar. Bukan hanya sebatas tempat ibadah saja, lebih lagi pertemuan kondisi sosiologis dan kultural peradaban. Dus, Langgar jadi magnet dalam masyarakat untuk serawung dan pendidikan sosial.

"Langgar dulu memberi kedekatan, sehingga mempunyai fungsi bermacam-macam bagi orang-orang, tidak hanya tempat ibadah saja" tuturnya.

Bahkan menurut mas Iman ini, Langgar bisa dijadikan tempat istirahat/tempat tidur anak-anak jaman dulu, ada juga yang sedikit nakal untuk tempat mukah (membatalkan puasa) atau tempat berlindung dari keramaian. Karena Langgar berfungsi memberi kedekatan kepada masyarakat dan di situlah ruh-ruh islami berkembang dan beraplikasi, jadi sangat multi fungsi sekali potret Langgar waktu itu.

Dalam laju perdabannya lalu berkembanglah masjid, di mana orang-orang berduit berinvestasi. Tidak pelak bila zaman sekarang ini masjid begitu diagung-agung dan di megah-megahkan demi memberi kesan elegan. Aku jadi teringat omongannya mas dulu ketik ziarah ke Masjid Dian Al-Mahri atau masjid Kubah Emas di Depok sana. Saat itu beliau juga mengutarakan hal yang sama dengan tulisan ini, bahwa orang-orang yang datang jamak untuk sepakat hanya mengaguminya saja, "ngene iki wong-wong seng didelok/digoleki dak wahh e.." Ini bagian dari gejala sosial yang timbul akibat cara berpikir orang moderen untuk lebih melaggengkan keuntungan. Akan sangat mengecewakan jika masjid yang digadang-gadang hanyalah kedok dalam berinvestasi, entah itu investasi akhirat, istilah yang sama sekali tidak patut dibicarakan secara gamblang, sebab muaranya hanya keuntungan dan kapitalisme. Jangan ada kapitalisasi dengan Tuhan, manusia tidak pernah tahu bagaimana ia dimasukkan Surga/Neraka. Jadi rendah diri dan berbuat ihsan adalah yang terbaik, namun andaikata memang kita maunya keuntungan, maka menjadi benar bila masjid hanya bikinan orang-orang berduit. 

Tidak ada yang melarang untuk memperindah Masjid karena alasan itu rumah Tuhan, bukan itu titik tolaknya, tetapi nilai yang bagaimana akan dibawa dan diwujudkan dengannya?. Sekarang ini banyak sekali rencana, agenda, pengajian, kotak amal/infak-pejuang subuh, harian, mingguan, bulanan secara rutin diselenggarakan, dengan catatan dalam upaya pendekatan jamaah dan masyarakat, tetapi agaknya jadi selip ketika Masjid malah tertutup dan memberi kesan hanya untuk orang-orang atau penggede yang elit saja. Dan sedihnya Masjid sekarang ini beralih fungsi seperti warung/toko yang hanya buka pada jam-jam tertentu dan ditutup/dikunci sekiranya sudah tidak ada orang. Yang lebih mengerikannya lagi ada orang lain yang sholat dan sesudahnya dipel lantainya karena perbedaan aliran, inilah kehancuran peradaban sosio-kultural.

"Kalau Masjid upayanya melakukan pendekatan, beda dengan Langgar" kata mas Iman.

Di sinilah letak perbedaan nilai mendasarnya antara Masjid dan Langgar, Langgar dapat memberi "kedekatan" serawung sosial bagi masyarakat, di sisi lain Masjid melakukan upaya "pendekatan" dengan banyak acara, tetapi secara tidak langsung masjid juga tidak mempercayai manusia-manusia yang diupayakannya itu, ironis sekali. Kasus di atas adalah satu contoh realnya. Tak pelak lagi jika masjid sekarang sepi habis jamaah, karena tidak adanya nuansa dan atmosfir kedekatan di dalamnya, bahkan dalam diri tiap jamaahnya.

Boleh jadi, Langgarlah sebagai mercusuar pertama dalam kedekatan islam kepada masyarakat dan  karena mereka merasa memilikinya itu menjadikan Langgar lebih hidup dan lebih ramai dalam fungsi sosial kemasyarakatan.


*Data dari mas Iman yang dikembangkan penulis

Bakda maghrib, Kamis, 29 Januari 2020
Di Kontrakan PP. TG, Nologaten, Yogyakarta.
Share: