Di sini Ceritanya Wongsello


Rabu, 29 Januari 2020

Sinau Bareng mas Iman Budhi Santosa



#Silaturahmi-Reportase bersama mas Iman Budhi Santosa

Jika dewasa ini banyak sekali Masjid bermegah-megah didirikan di mana-mana kita optimis dan husnudzon sekali akan semakin merambahnya islam di Nusantara dan betapa kesadaran manusia terlihat meningkat dan masuk ke dalam ruh islam yang religius, begitu semua fokus dalam pembangunan fisiknya bukan "Masjid"-nya. Kita sangat jarang untuk melakukan verifikasi dan penelitian lanjut, dengan mayoritas atau media mengatakan "Ya" maka, publik hampir mustahil akan mengatakan "Tidak", jika pertumbuhan masjid ini begitu pesatnya dan seluruh kajian dan agenda bernuansa islami itu menyeruak brutal, mana mungkin kita akan su'udzon, kita tetap optimis untuk masa depan islam. 

Namun, menurut penyair senior di Jogja, Iman Budhi Santosa, bukan dari Masjid titik tolak penyebaran islam yang gemilang seperti sekarang ini. Tetapi, Langgar/Suraulah titik di mana kedekatan islam itu bermula. Langgar, istilah yang hampir jarang terdengar ini memerankan bagian penting dalam kejiwaan sosial yang mempunyai ruh islam ini, sifatnya yang terbuka berdampak merangkul "kedekatan" masyarakat, sehingga tidak heran bila Langgar berfungsi multi-sosial karena semua merasa memilikinya. Dari anak-anak sampai orang tua merasa ikut memilikinya, efeknya Langgar menjadi pusat peradaban pertama dalam majelis permusyawaratan dan pengajian sekaligus pengkajian, untuk itulah tempatnya tidak pernah absen dari mayarakat sekitar. Bukan hanya sebatas tempat ibadah saja, lebih lagi pertemuan kondisi sosiologis dan kultural peradaban. Dus, Langgar jadi magnet dalam masyarakat untuk serawung dan pendidikan sosial.

"Langgar dulu memberi kedekatan, sehingga mempunyai fungsi bermacam-macam bagi orang-orang, tidak hanya tempat ibadah saja" tuturnya.

Bahkan menurut mas Iman ini, Langgar bisa dijadikan tempat istirahat/tempat tidur anak-anak jaman dulu, ada juga yang sedikit nakal untuk tempat mukah (membatalkan puasa) atau tempat berlindung dari keramaian. Karena Langgar berfungsi memberi kedekatan kepada masyarakat dan di situlah ruh-ruh islami berkembang dan beraplikasi, jadi sangat multi fungsi sekali potret Langgar waktu itu.

Dalam laju perdabannya lalu berkembanglah masjid, di mana orang-orang berduit berinvestasi. Tidak pelak bila zaman sekarang ini masjid begitu diagung-agung dan di megah-megahkan demi memberi kesan elegan. Aku jadi teringat omongannya mas dulu ketik ziarah ke Masjid Dian Al-Mahri atau masjid Kubah Emas di Depok sana. Saat itu beliau juga mengutarakan hal yang sama dengan tulisan ini, bahwa orang-orang yang datang jamak untuk sepakat hanya mengaguminya saja, "ngene iki wong-wong seng didelok/digoleki dak wahh e.." Ini bagian dari gejala sosial yang timbul akibat cara berpikir orang moderen untuk lebih melaggengkan keuntungan. Akan sangat mengecewakan jika masjid yang digadang-gadang hanyalah kedok dalam berinvestasi, entah itu investasi akhirat, istilah yang sama sekali tidak patut dibicarakan secara gamblang, sebab muaranya hanya keuntungan dan kapitalisme. Jangan ada kapitalisasi dengan Tuhan, manusia tidak pernah tahu bagaimana ia dimasukkan Surga/Neraka. Jadi rendah diri dan berbuat ihsan adalah yang terbaik, namun andaikata memang kita maunya keuntungan, maka menjadi benar bila masjid hanya bikinan orang-orang berduit. 

Tidak ada yang melarang untuk memperindah Masjid karena alasan itu rumah Tuhan, bukan itu titik tolaknya, tetapi nilai yang bagaimana akan dibawa dan diwujudkan dengannya?. Sekarang ini banyak sekali rencana, agenda, pengajian, kotak amal/infak-pejuang subuh, harian, mingguan, bulanan secara rutin diselenggarakan, dengan catatan dalam upaya pendekatan jamaah dan masyarakat, tetapi agaknya jadi selip ketika Masjid malah tertutup dan memberi kesan hanya untuk orang-orang atau penggede yang elit saja. Dan sedihnya Masjid sekarang ini beralih fungsi seperti warung/toko yang hanya buka pada jam-jam tertentu dan ditutup/dikunci sekiranya sudah tidak ada orang. Yang lebih mengerikannya lagi ada orang lain yang sholat dan sesudahnya dipel lantainya karena perbedaan aliran, inilah kehancuran peradaban sosio-kultural.

"Kalau Masjid upayanya melakukan pendekatan, beda dengan Langgar" kata mas Iman.

Di sinilah letak perbedaan nilai mendasarnya antara Masjid dan Langgar, Langgar dapat memberi "kedekatan" serawung sosial bagi masyarakat, di sisi lain Masjid melakukan upaya "pendekatan" dengan banyak acara, tetapi secara tidak langsung masjid juga tidak mempercayai manusia-manusia yang diupayakannya itu, ironis sekali. Kasus di atas adalah satu contoh realnya. Tak pelak lagi jika masjid sekarang sepi habis jamaah, karena tidak adanya nuansa dan atmosfir kedekatan di dalamnya, bahkan dalam diri tiap jamaahnya.

Boleh jadi, Langgarlah sebagai mercusuar pertama dalam kedekatan islam kepada masyarakat dan  karena mereka merasa memilikinya itu menjadikan Langgar lebih hidup dan lebih ramai dalam fungsi sosial kemasyarakatan.


*Data dari mas Iman yang dikembangkan penulis

Bakda maghrib, Kamis, 29 Januari 2020
Di Kontrakan PP. TG, Nologaten, Yogyakarta.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar