Di sini Ceritanya Wongsello


Rabu, 25 Maret 2020

Repetisi Wujud Presisi-Akurasi

pebysafr.blogspot.com/panah-kerinduan


Orang modern memandang sesuatu yang diulang-ulang adalah hal membosanan dan tidak kreatif, sederhananya monoton. Pemahaman itu jamak dirasakan orang, dan terlihat benar untuk diungkapkan, jadi mereka memandang pekerjaan yang monoton seperti itu membuatnya terpuruk dalam kebosanan. Jika tidak mau menerima dan memahami lebih jauh lagi, mestinya ia akan semakin tersungkur dalam pekerjaan yang menyengsarakan hidupnya itu.

Berkaitan dengan pekerjaan, pembaruan itu nomor satu. orang modern lebih memprioritaskan inovasi agar bisa melangsungkan perusahaannya, untuk itu mereka memilih orang yang akan dapat menopang wadahnya untuk tetap survive ke depan. Tentu saja alasan tesebut tidak memberi peluang untuk manusia yang non-pengalaman di bidang termaktub, sayangnya perhitugan orang modern lebih menuju materialistis. Titik tolak semacam itu membuatnya terkurung dalam perbudakan dunia, akibatnya pemahaman rohaninya terkikis dan hancur.

Sayangnya, pekerjaan yang dianggapnya inovatif nyatanya juga hasil repetisinya yang biasa dilakukan. Pemahaman parsial tidak melihat lebih luas, jadinya jarak pandangnya tidak melebar, sederhananya fokusnya hanya satu titik. Orang modern tidak melihat kegiatan keseharian itu ngapain saja, untuk mengatakan sesuatu yang monoton sekali pun ia perlu memandang dirinya sendiri. Apa sebenarnya yang tidak monoton atau repetitif dalam hidup ini?. 

Misalnya saja untuk bernafas, apa ada inovasi dalam bernafas?, lalu ritual atau sembahyang sehari-hari, apa ada yang bervariasi selain selain ibadah muamalah, lalu idiom agama ada yang namanya Tiqroran, yang berarti juga nderes, lalaran cara jawa, itu kan hal repetitif yang sangat positif. Justru perulangan ritus-ritus maupun kegiatan-kegiatan itu lebih akan meng-akar dan mestinya dapat hal-hal baru lagi, minimal teringat dengan baik semua perilaku itu.  Kemudian putaran waktu, Fajar dan petang, pagi sore, Matahari tetap terbit dan tenggelam di ufuknya masing-masing. Hal-hal seperti itu tidak pernah dilihat manusia modern yang padahal kenikmatan dan kesenangannya sering berada di luar mereka.

Faktanya dalam sejarah kebudayaan manusia,  mereka kalau makan pastinya lewat mulut dan berak lewat dubur, apa pernah kebalik? Apa itu repetitif? Justru repitisi itulah wujud presisi untuk menemukan akurasi yang sejati. 

Manusia modern dengan segala kelengkapan  teknologinya ternyata tidak dapat menjangkau pemahaman semacam itu. Karena memang arah dan tujuan orang modern sama sekali konstan untuk mencapai cita-citanya, mereka dipandu modal besar bernama kapitalisme yang berwujud materialistis. 

Akhirnya dengan adanya wabah atau pageblug atau pandemik ini memaksa mereka berpikir lebih keras untuk mempertahankan bagaimana cara supaya kelangsungan perusahaannya tetap terjaga tanpa kehilangan sesuatu pun. Mungkin mereka berpikir tidak apa-apa kehilangan karyawannya sebagai tumbal untuk membuat dirinya tetap survive di tengah badai. 

Kini, korban corona/covid-19 terus bertambah, sedang solusi pemerintah sangat lambat dan belum tahu juga prosentase keberhasilannya seberapa persen, apalagi jika virus dapat bermutasi atau bertransformasi menjadi lebih kuat atau dalam bentuk yang baru lagi.  Kalau benar seperti itu nantinya sampai di ujung waktu, mereka bahkan kita yang terdampak akan bisa chaos jika tidak tahu cara menanganinya. 

Dalam keadaan teror seperti ini para pemimpin khususnya dan rakyat umumnya melakukan upaya horizontal-vertikal untuk dapat mengetahui segala yang diperlukan dalam penanganan covid-19. Siapa produsennya, apa dan kenapa hal ini terjadi sekarang lalu bagaimana cara menanganinya. :)(:


Share:

0 komentar:

Posting Komentar