Di sini Ceritanya Wongsello


Minggu, 28 November 2021

Takkan Pernah Mati


Berganti-ganti hari dilalui dan yang terjadi tetap repetisi untuk dikatakan lagi dan lagi, apa sudah tidak kreatif lagi dalam pergaulan sehingga pernyataan mengecewakan selalu saja terulang. Dalam kesepian itu bahkan aku sampai tanya kepada teman di Pati mengenai kenapa juga sampai sekarang aku belum mendapat "sarang angin", sebenarnya aku tahu itu bukanlah hal yang harus kutanyakan pula, sebab tahu pula jawabannya, hingga siapa pun teman yang dekat aku pun mengatakan pertanyaan-pertanyaan yang mirip-mirip saja. Sampai aku kepikiran kehidupan jalanan lebih baik dari kehidupanku sekarang, yang melelahkan jiwa dalam pekerjaan, namun masih saja bertahan. Keadaan yang mendesak membuat orang berpikir ‘aneh’ karena juga pertimbangan jadi nomor dua, tetapi jika memang jiwa itu sudah meledak aku pun tiada menyalahkan asal tetap tangguh dan kuat menjalaninya dengan sorot mata tajam dan pikiran jernih dan lagi hati tenang.

Aku selalu kagum kepada orang-orang yang berani menjalani hidupnya dengan tekad menantang dunia; betapa besar panggilan itu hingga membuat penyair Iman Budhi Santosa rela melepas jubah ambtenaar atau pegawai negerinya yang disandang belasan tahun untuk mengasuh anak puisinya, Ahmad Tohari berani ‘nganggur’ meninggalkan posisi redaktur Harian Merdeka yang baru satu setengah tahun dijabat demi menuntaskan “Ronggeng Dukuh Paruk”nya, Pramoedya yang hampir separuh hidupnya dipertaruhkan di dalam penjara hingga keluar tetap memiliki pikiran jernih dan hati yang suci tanpa dendam terhadap orde yang menyiksanya, ada Danarto yang disebut sastrawan seniman sufi bahkan untuk menjalani hidupnya serba pontang-panting dan tiada dapat santunan dari negara hingga tidak dikenali orang-orang semasa hidupnya, Nh Dini selama dua puluh tahun tidak bisa membeli buku karena masalah finansial, bahkan kedua beliau itu beserta mas Iman  hanya ‘kos’ di tempat, pun penyair besar Rendra rumahnya saja di beri oleh Setiawan Djodi dan tiada kesampaian impian membeli mobil Innova sampai wafatnya, sampai Tan Malaka yang dikhianati dan dibunuh bangsanya sendiri tetap mencintai tanah air Indonesia dalam gagasan perjuangan “Merdeka 100%” miliknya.
 
Kehidupan ini diisi oleh manusia-manusia tangguh, manusia-manusia setengah dewa yang tidak begitu memperdulikan sikap penghargaan atau penghormatan orang lain terhadap dirinya,  mereka adalah manusia-manusia pemenang yang rasa-rasanya ‘tidak perlu’ melewati mizan atau hisab besok-besok di hari yang dijanjikan, sebab dunia telah meghina begitu rendahnya dan menginjaknya dengan sangat sadis. Aku kagum kepada sikap mulia dan tekad beliau-beliau itu, gema mereka selalu menggedor-gedor jiwaku, aku tidak bisa meninggalkan manusia-manusia cahaya itu, aku bersama kalian manusia-manusia hebat, berharap Tuhan melimpahi karunia dan rahmatnya kepada kalian semuanya, aminn.

Yogyakarta, 6 November 2021
Share:

Kamis, 25 November 2021

Pendekar dan Bunglon


Kadang-kadang aku berpikir jika menjadi pendekar dalam arti sesungguhnya, semisal pesilat, samurai, atau apa pun namanya lebih baik ketimbang berada di dalam arena globalisasi yang terombang-ambing tak kejelasan seperti ini, perjuangan yang masihlah setengah-setengah. Jika pendekar beneran, maka jelaslah arena pertempuran dan peperangannya, berikut segala macam yang dapat dipelajari selama kehidupannya itu. Tetapi menjadi klub modernisasi ini membuat orang jadi bingung dan tantangannya begitu sulit, arenanya yang tidak terang, terkadang kita sangka baik, tetapi nyatanya lain hati, disangka mencari ilmu yang ada malah cari pekerjaan, sepertinya bertetangga, rukun kampung, dan bernegara tetapi semuanya adalah perihal jual beli dan materialisme.


Entah apa namanya atau nomenklatur yang pas untuk seorang yang berada di tengah-tengah itu, disebut manusia terlalu prima jenius, namun disebut binatang juga kadang-kadang ada akal dan nuraninya. Betapa perjuangan saat ini begitu berat sekali, ikut mainstream global jadinya berhala, tetap menjaga idealisme akan digempur dunia, kompromi atas keduanya disebut tidak punya pendirian. Zaman dahulu jelas mana pendekar, mana petani, mana negarawan, mana begawan, mana resi, mana empu, kaum sudra, kaum kesatria, kaum waisya, dan brahmana. Semua jelas dan memang ada semacam tingkatan atau level seperti itu, biar pun manusia yang buat tetapi di zaman itu pembagiannya sangat kentara dan terang berikut fungsi dan tugasnya masing-masing.


Agaknya zaman sekarang? Seperti bunglon semua, tapi hewan itu masihlah lebih baik karena murni untuk bertahan hidup dari predator pemangsa atau menghindari bahaya. Jadi bagaimana untuk tetap mengepal tangan dan mengangkat tinju ke atas kalau-kalau malah disebut radikalis, diam dan bertahan berarti konservatif, berusaha kreatif dihina dan ditekan jiwanya. Semua arah yang mengepung ini bisa jadi apa saja, kita semua adalah gas yang siap jadi air, kadang beku dan menyublim kapan saja, betapa sulitnya hidup kini. Aku merasa di tengah-tengah keadaan yang tidak menentu, aku katakan kepada kawanku aku tidak bisa dikotomi, biar dikata idealis, namun aku juga realistis, jadi aku tidak bisa hidup di salah satu opsi itu. Maka, pemahaman yang ada sekarang hanyalah tetap menjaga kewarasan dalam perjuangan yang konsisten, memang berat, tapi aku membuat pagar hidup untuk tidak kendat atau mati karena kesalahanku sendiri. Itu dulu.

Share:

Selasa, 16 November 2021

Gagal Manusia


"Pada sebuah pertemuan, 
memancing banyak perkara
Hingga rahasia hilang dipusaran sunyi 
Di situ aku gagal sebagai manusia.."

Memang aku makin bertambah pengetahuan sabar dan mungkin kerelaan, berjalan aku terus tetap saja tiada yang benar-benar tahu, paham, bahkan mengerti suatu keadaan. Sehingga dengan terpaksa pengakuan lahir secara prematur dan terseok-seok pada tubuh yang tak mengenal jiwa, hilang begitu saja. 

Saat tahu waktu seakan lebih dari dunia seisinya, berpacu itu bisa wajib, namun patrap dan empan papan adalah arah yang lebih baik. Tiada kuat menahan beban, tetap berpegang pada lembut doa-doa, yang tak ada banding jika ibu mengumandangkannya. Mempelajari senyum dan ikhlas sampai tanpa cacat, ah begitu berat betul, tapi mindset Tuhan meringankannya "Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan" (Al-'Ankabut 64).

Sebagai yang mengarah ke ranah bahasa, sastra, dan literasi aku sangat gagal menjelaskan kepada semua sehingga teman-temanku sendiri kesulitan menilai bagaimana sebenarnya keadaan itu. Toh bukannya sok-sokan, tetapi  terkadang rahasia memang lebih aman di kesunyian, dan biarlah semua berjalan sealamiah dan semengalir mungkin, kendati seorganik nampaknya. 

Titik tolak untuk mengukur judul ini adalah bahwa peran bahasa sebagai pengantar komunikasi haruslah diperhatikan. Dan satu fenomena tadi merupakan sedikit saja dari segala hal yang berhubungan dengan koneksi dan dialektika dalam pergaulan di berbagai lini dan segi. Gagal manusia bukanlah justifikasi kepada kegagalan dalam mencapai kesimpulan hidup sebagai seorang manusia, namun potensi itu masihlah bergerak dan maju ke depan, tidaklah hasil akhir untuk parameter kelayakan, kemanfaatan sebagai otentisitas manusia. 

Manusia sangatlah dialektis dan senantiasa bergerak, artinya bisa belajar dan mengalami sesuatu, itulah mengapa aku tidak pesimis dalam hidup ini. Dan sebenarnya aku tidak membicarakan siapa pun selain diriku sendiri, aku tidak punya data dan terasa kurang perlu jika hanya untuk membahas, mempersoalkan, dan apalagi mendiskusikan di dalam tulisan ini tentang orang lain, meski masih ada sedikit menyinggung untuk menjelaskan sesuatu hal. Sepenuhnya adalah soal kegagalanku yang sejauh ini belum bisa menguraikan kejadian dalam hidup, sampai-sampai banyak temanku memandangku aneh. Sudahlah, bukan masalah besar itu. 



Share: