Minggu, 28 November 2021
Takkan Pernah Mati
Kamis, 25 November 2021
Pendekar dan Bunglon
Kadang-kadang aku berpikir jika menjadi pendekar dalam arti sesungguhnya, semisal pesilat, samurai, atau apa pun namanya lebih baik ketimbang berada di dalam arena globalisasi yang terombang-ambing tak kejelasan seperti ini, perjuangan yang masihlah setengah-setengah. Jika pendekar beneran, maka jelaslah arena pertempuran dan peperangannya, berikut segala macam yang dapat dipelajari selama kehidupannya itu. Tetapi menjadi klub modernisasi ini membuat orang jadi bingung dan tantangannya begitu sulit, arenanya yang tidak terang, terkadang kita sangka baik, tetapi nyatanya lain hati, disangka mencari ilmu yang ada malah cari pekerjaan, sepertinya bertetangga, rukun kampung, dan bernegara tetapi semuanya adalah perihal jual beli dan materialisme.
Entah apa namanya atau nomenklatur yang pas untuk seorang yang berada di tengah-tengah itu, disebut manusia terlalu prima jenius, namun disebut binatang juga kadang-kadang ada akal dan nuraninya. Betapa perjuangan saat ini begitu berat sekali, ikut mainstream global jadinya berhala, tetap menjaga idealisme akan digempur dunia, kompromi atas keduanya disebut tidak punya pendirian. Zaman dahulu jelas mana pendekar, mana petani, mana negarawan, mana begawan, mana resi, mana empu, kaum sudra, kaum kesatria, kaum waisya, dan brahmana. Semua jelas dan memang ada semacam tingkatan atau level seperti itu, biar pun manusia yang buat tetapi di zaman itu pembagiannya sangat kentara dan terang berikut fungsi dan tugasnya masing-masing.
Agaknya zaman sekarang? Seperti bunglon semua, tapi hewan itu masihlah lebih baik karena murni untuk bertahan hidup dari predator pemangsa atau menghindari bahaya. Jadi bagaimana untuk tetap mengepal tangan dan mengangkat tinju ke atas kalau-kalau malah disebut radikalis, diam dan bertahan berarti konservatif, berusaha kreatif dihina dan ditekan jiwanya. Semua arah yang mengepung ini bisa jadi apa saja, kita semua adalah gas yang siap jadi air, kadang beku dan menyublim kapan saja, betapa sulitnya hidup kini. Aku merasa di tengah-tengah keadaan yang tidak menentu, aku katakan kepada kawanku aku tidak bisa dikotomi, biar dikata idealis, namun aku juga realistis, jadi aku tidak bisa hidup di salah satu opsi itu. Maka, pemahaman yang ada sekarang hanyalah tetap menjaga kewarasan dalam perjuangan yang konsisten, memang berat, tapi aku membuat pagar hidup untuk tidak kendat atau mati karena kesalahanku sendiri. Itu dulu.