Berganti-ganti hari dilalui dan yang terjadi tetap repetisi untuk dikatakan lagi dan lagi, apa sudah tidak kreatif lagi dalam pergaulan sehingga pernyataan mengecewakan selalu saja terulang. Dalam kesepian itu bahkan aku sampai tanya kepada teman di Pati mengenai kenapa juga sampai sekarang aku belum mendapat "sarang angin", sebenarnya aku tahu itu bukanlah hal yang harus kutanyakan pula, sebab tahu pula jawabannya, hingga siapa pun teman yang dekat aku pun mengatakan pertanyaan-pertanyaan yang mirip-mirip saja. Sampai aku kepikiran kehidupan jalanan lebih baik dari kehidupanku sekarang, yang melelahkan jiwa dalam pekerjaan, namun masih saja bertahan. Keadaan yang mendesak membuat orang berpikir ‘aneh’ karena juga pertimbangan jadi nomor dua, tetapi jika memang jiwa itu sudah meledak aku pun tiada menyalahkan asal tetap tangguh dan kuat menjalaninya dengan sorot mata tajam dan pikiran jernih dan lagi hati tenang.
Aku selalu kagum kepada orang-orang yang berani menjalani hidupnya dengan tekad menantang dunia; betapa besar panggilan itu hingga membuat penyair Iman Budhi Santosa rela melepas jubah ambtenaar atau pegawai negerinya yang disandang belasan tahun untuk mengasuh anak puisinya, Ahmad Tohari berani ‘nganggur’ meninggalkan posisi redaktur Harian Merdeka yang baru satu setengah tahun dijabat demi menuntaskan “Ronggeng Dukuh Paruk”nya, Pramoedya yang hampir separuh hidupnya dipertaruhkan di dalam penjara hingga keluar tetap memiliki pikiran jernih dan hati yang suci tanpa dendam terhadap orde yang menyiksanya, ada Danarto yang disebut sastrawan seniman sufi bahkan untuk menjalani hidupnya serba pontang-panting dan tiada dapat santunan dari negara hingga tidak dikenali orang-orang semasa hidupnya, Nh Dini selama dua puluh tahun tidak bisa membeli buku karena masalah finansial, bahkan kedua beliau itu beserta mas Iman hanya ‘kos’ di tempat, pun penyair besar Rendra rumahnya saja di beri oleh Setiawan Djodi dan tiada kesampaian impian membeli mobil Innova sampai wafatnya, sampai Tan Malaka yang dikhianati dan dibunuh bangsanya sendiri tetap mencintai tanah air Indonesia dalam gagasan perjuangan “Merdeka 100%” miliknya.
Kehidupan ini diisi oleh manusia-manusia tangguh, manusia-manusia setengah dewa yang tidak begitu memperdulikan sikap penghargaan atau penghormatan orang lain terhadap dirinya, mereka adalah manusia-manusia pemenang yang rasa-rasanya ‘tidak perlu’ melewati mizan atau hisab besok-besok di hari yang dijanjikan, sebab dunia telah meghina begitu rendahnya dan menginjaknya dengan sangat sadis. Aku kagum kepada sikap mulia dan tekad beliau-beliau itu, gema mereka selalu menggedor-gedor jiwaku, aku tidak bisa meninggalkan manusia-manusia cahaya itu, aku bersama kalian manusia-manusia hebat, berharap Tuhan melimpahi karunia dan rahmatnya kepada kalian semuanya, aminn.
Yogyakarta, 6 November 2021
0 komentar:
Posting Komentar