Di sini Ceritanya Wongsello


Jumat, 18 Maret 2022

Hari ini Seharusnya Dia..


Hari ini seharusnya dia berusia dua puluh tahun (20), tetapi dia hanya bisa menikmati hidup sampai 19 tahun saja. Begitu ucap temannya kira-kira pada tahun 2012 silam, artinya sekarang dia seharusnya sudah berusia 30 tahun. Teman bermainku, sepupuku, dek Ihda Hanif Ramadlan. Waktu seakan bagai alunan tembang, meski tahun demi tahun berlalu, sebuah tembang kisah tentu saja akan abadi bila ada yang tetap dan terus mengingatnya. 

Dan hari ini mestinya kau pun telah menikah dan punya anak, berkeluarga mengarungi kehidupan-Nya. Aku membayangkan kau menimang-nimang anakmu yang mungil dan kelak akan memanggilku om atau lek, terserah lah yang penting itulah setidaknya yang dapat aku simulasikan. Indah memang bernarasi seolah-olah kehidupan bukanlah sekat yang membentur alam dan manusia. Memutarbalikkan fakta dan kenyataan, berimajinasi dan berkhayal seakan-akan hidup bisa kapan pun diolah dan digelar kapan saja sebagaimana wayangan dan memungkasinya dengan tancep kayon di pagi menjelang. 

Namun, jika tidak demikian kenapa manusia dibekali alat untuk dapat membayangkan, berimajinasi, mensimulasi, bahkan ada yang sampai pada kemampuan tertentu membuat manusia tidak siap secara mental dan budaya melihat dan mengakuinya, apalagi menerimanya. Bahkan yang aku bayangkan tadi bagi manusia sekarang hanyalah dianggap halu dan tidak realistis, tidak ada artinya bagi mereka mungkin, agaknya berbeda dengan yang bersangkutan disekitarnya. Dan kenyataannya memang kehidupan itu abadi, jika tidak maka tidak akan ada pertanggungjawaban kelak di kemudian hari, tidak ada alam lanjutan dari alam sebelumnya. Sayang sekali manusia kebanyakan memang terlalu tergiur dan berminat pada wadak atau materi di dunia sehingga cakrawala rohaninya ketutupan dan lebih ngeri lagi jika runtuh. Dan setelah sepuluh tahun lebih kau meninggalkan kami, hari ini aku semakin merindukan manusia sepertimu, sebagai teman di tengah kesepian hidup ini. 

Sewaktu sepupuku itu meninggal, aku lihat di inbox/kotak pesannya di Facebook (sekarang "Meta") dan timeline/dinding berandanya jadi kekuatan dan pengetahuan baru untukku, tidak mengira begitu dalam kesan-kesan yang teman-temannya sampaikan di sana. Ada yang rajin menulis catatan keseharian/kehidupannya semasa kuliah di linimasa Facebook sepupuku itu, dan terakhir sampai 2018 aku lihat dia masih memberi ucapan selamat ulang tahun di sana, di samping keluarga sepupuku juga. Pernah terlintas rasa iri pada sepupuku itu, kesimpulan waktu itu adalah banyak orang yang sayang kepada sepupuku, dan aku bayangkan bagaimana denganku kelak, adakah yang sayang kepadaku?. Itu konten pikiranku waktu itu, tetap dengan memungkasinya bahwa sepupuku dek Hanif memang benar-benar manusia yang baik hati. Banyak nomenklatur yang bisa disematkan selain baik hati, tetapi menurutku kata baik hati itu cukup untuk mengakui kemanusiaannya, bahwa dia benar-benar manusia sejati. 

Hal yang baru juga adalah ketika empat puluh harinya atau haul yang pertama aku agak lupa, pakdeku bilang "putuku ae wani mati, mosok aku ora wani!" sambil sedikit sesegukan. Mendengarnya aku tersentak dan sampai hari ini aku tetap mengingat peristiwa itu berserta yang melingkupinya. Dan terakhir aku menangis mengguguk adalah ketika waktu dia meninggalkan kami semua. Di waktu yang sebentar lagi akan mengadakan buka bersama bareng kawan-kawan kamar pondok di rumah simbahnya atau pakdeku. Di waktu yang sama ketika dia kecelakaan aku bicarakan dia bersama seorang teman sekolah tentang kebaikan-kabaikannya, untuk itu aku sangat yakin dan bersaksi bahwa sepupuku dek Ihda Hanif Ramadlan adalah benar-benar manusia yang baik hati, dia Husnul Hayat. Dan firasat-firasat lain yang aku terlambat menyadarinya ada semua untuk menjawab pertanyaanku dan lain-lain. Sebuah kejadian yang tidak terduga sama sekali. Itulah kehidupan yang Allah berkalam dalam Qur'an-Nya "di depanmu gelap.." (Al-Isra : 1). Kita tidak pernah tahu apa yang ada di depan, maka Tuhan menyuruh kita untuk selalu bertakwa, waspada kepada apa pun saja. 

#Selamat Ulang Tahun dek Hanif, kami selalu mengingat dan menyayangimu. 

Di- 23.31 WIB
Sinoman, Pati, 18 Maret 2022
Share:

Selasa, 15 Maret 2022

Puncak Karya Sang Master


Diwaktu yang bersamaan aku baca dua karya atau katakanlah puncak karya dua orang yang menurutku master dibidangnya. Yaitu "Kitab Lima Lingkaran" Miyamoto Musashi dan "Seni Mencipta Puisi" Iman Budhi Santosa, secara garis besar keduanya menjelaskan tentang kiat-kiat atau panduan dalam meniti laku hidupnya masing-masing. Yang Musashi membuka pemahamannya perihal laku siasat jurit berpedang dan mas Iman soal mencipta puisi. Aku tidak benar-benar mengerti kualitas sejati keduanya, tetapi dari pemahaman awamku keduanya dapat sinambung dan melengkapi. 

Pertama aku coba buka dengan Musashi lewat "Kitab Lima Lingkaran"-nya yang ternyata rasa-rasanya ajaran atau laku siasat juritnya itu sama dengan istilah atau wawasan orang Jawa yang namanya "Patrap" yang artinya menurut mas Iman 'perilaku yang terukur'. Maka, melalui masterpiece-nya yang dibagi 5 bab lingkaran itu adalah keseimbangan dan pancer terhadap laku hidup. Musashi agak kesulitan menjelaskan pahamnya sebab dia tidak bisa menemukan rasa bahasa yang dapat mewakili perasaannya, selain juga laku siasat itu memang lebih banyak dipraktikkan, bukan hanya dipahami sebagai teori. Hal itu yang menyebabkannya sering mengingatkan di akhir bab dan sub bab dengan kalimat "kalian harus pelajari/kuasai betul ini".

Jadi, bagaimana dia mengajarkan laku siasatnya dengan menghubungkan atau menganalogikan dengan memahami laku pekerjaan lain semisal tukang kayu, petani, atau pedagang, juga seniman. Musashi mengatakan laku siasat jurit tidak bisa dikuasi begitu saja, harus juga memahami laku siasat lainnya supaya mengerti betul berbagai laku dari banyak profesi katakanlah. Dia menjelaskan serta menggambarkan bagaimana perperang dengan berbagai alat perang (kebanyakan pedang dan tombak) sampai letak strategis yang menguntungkan diri, dan mengerti sikon juga mental lawan. 

Dia juga mengatakan, sejauh yang aku tangkap jangan sampai ada keraguan dalam menjalani laku siasat jurit, ketika hendak membunuh seseorang, maka lakukan dengan keyakinan penuh karena jika tidak tentu itu bukanlah laku siasat jurit. Kata lain, ketika kau ragu-ragu dalam membunuh seseorang, maka kau telah menciderai keyakinan yang kau bangun sendiri melalui laku siasat jurit itu. Ada banyak sub-sub tema dan laku yang tidak mungkin aku jelaskan semua. Inti dari segala yang disampaikan setidaknya menurut pemahaman awamku memang memiliki keterkaitan dengan unen-unen Jawa yang berbunyi "Patrap" tadi. Yaitu keseluruhan dari laku adalah mengerti esensi, proporsi, dan presisi atau yang kata mas Iman adalah perilaku yang terukur sekali. Patrap. 

Dalam pandang lain, Musashi ini dapat diibaratkan juga sebagai senimannya ronin yang kemudian samurai. Ahli berpedang yang menganut aliran dua pedang. Yang saking tingginya keahlian itu membuatnya dapat membaca dua gerak tangan pemukul bedug yang kemudian mengilhami jurus kembar dua pedangnya. Tak lepas dari pengalaman berperang dan bertemu guru yang punya ilmu lebih tinggi lalu jadi muridnya dan dia pernah laku tirakat dijantur dalam kamar hingga dapat mendengarkan detak jantungnya dan suara sunyi angin. Selama bertemu dengan guru-guru yang ilmu sunyinya lebih tinggi dia pun terus mengalami peningkatan kualitas dirinya. Lalu ketika dia berada di puncak kehidupannya dia menulis "Kitab Lima Lingkaran" dan menjadi salah satu samurai legendaris di Jepang. Bahkan menurut pak Mustofa W. Hasyim, selaku samurai Musashi telah menemukan "puisi" lewat jalan pedang. 

Seni mencipta puisi, menurut mas Iman Budhi Santosa adalah belajar memandang dan mencatat apa-apa yang dilupakan orang. Tentu saja itu interpretasi awamku setelah membaca buku mutakhirnya. Aku berusaha mencatat dan belajar dari dua orang master yang sampai di akhir hayatnya telah menyelesaikan karya pamungkas sebagai mana laku kesejarahan hidupnya. Yang mengingatkanku juga oleh sebagian lain termasuk Syekh Nursamad Kamba juga mengkhatamkan buku terakhirnya sebelum beliau wafat (Mencintai Allah Secara Merdeka), dan mungkin banyak lagi lainnya hal-hal demikian. 

Musashi dan mas Iman dalam hal ini bagiku telah menyelesaikan laku sebagaimana hidup mereka dulu. Membuat karya mutakhir sebelum ajal menjemput, meski tidak tahu kapan momentum (ajal) itu, tetapi se-rasa-rasanya menurutku mereka menemukan sesuatu yang harus ditelurkan sebelum habis waktunya. Maka, lahirlah sebuah karya pamungkas dan paripurna dari mereka. Walaupun sebagai samurai, Musashi mungkin telah menyelesaikan pertarungan atau duel terakhirnya, namun yang mengesankan di masa tuanya ia akhirnya memutuskan untuk menulis sebuah kitab atau buku yang melegenda "Kitab Lima Lingkaran".

Mas Iman adalah pribadi Jawa yang betul dapat dilihat dari perilaku dan karya-karyanya, pitutur beliau mengisyaratkan bahwa dirinya merupakan orang dan manusia Jawa yang tidak akan meluntur apalagi melupakan ajaran-ajaran yang telah mendarah jiwa dalam laku hidupnya. Lihatlah sebagian besar karya-karyanya adalah laku internalisasi dan manifestasi dari nilai-nilai Jawa, ditambah ketika beliau ketemu dengan dunia puisi, negeri yang diciptakan Umbu di tengah-tengah antara Tugu dan Keraton, membentang langit sabana yang luas yang memungkinkan kuda-kuda meringkik, ucap Sapardi DD dalam buku Metiyem. 

Kecintaan dan kegemarannya mendalami nilai-nilai Jawa mengilhami mas Iman untuk menciptakan karya-karya dari wisdom yang telah dilupakan bangsanya. Mengangkat mutu dan kualitas sebenarnya dari pengaruh ilusi-ilusi global yang menjangkiti manusia zaman mutakhir. Buku "Seni Mencipta Puisi" lahir dari seorang manusia yang bahkan disekitar "rumah" kontrakannya (sor sawo) mungkin saja tak banyak yang mengenalnya, di kota yang katanya surganya seniman sastrawan, titik temu budaya dunia yang saling bersapa, namun kualitas dan nilai-nilai yang diberikan, dishodaqohkan terbilang sunyi untuk merasuk dalam jiwa anak-anak bangsanya. 

Di sebagian dirinya ada laku puisi yang telah merasuk begitu dalamnya, sesampainya menciptakan negeri puisi bersama Umbu dkk, seberhasilnya dalam dunia perpuisian, berbagai prestasi dan pencapaian-pencapaian telah diduduki, tapi ia tinggalkan semuanya, bekerja jadi ambtenaar (PNS) di Semarang untuk menjalankan kewajiban mengurusi keluarga dll, yang kemudian bertugas dipindah-pindah sampai Lampung Sumatra sana. Selama 16 tahun kiranya menjalani kariernya sebagai PNS, bekerja formal bertahun-tahun itu pula akhirnya beliau tinggalkan. Kembali ke pangkuan Yogya, ada yang terus meraung-raung dalam diri Iman, Ia ingin jadi penyair betulan bukan siang pakai dasi malam telanjang bersama kata, begitu kata Muhidin dalam esainya di Mojok.co. 

Kesetiaan diri itu pula yang membuatnya akhirnya memuncaki karyanya dengan "Seni Mencipta Puisi". Ada tiga (3) hal yang menjadi garis besar dari buku itu; Niteni, Niroake, Nambahi, ketiganya terinspirasi dari ajaran Ki Hajar Dewantara di Taman Siswanya. Kemudian mas Iman mengkreatifi dengan pemahamannya melalui contoh karya-karya puisi dari penyair-penyair tanah air, ditambah pula contoh cerpen dan esai. Secara teknis hampir sama dengan pemaparan Musashi, jadi ada banyak sub-sub tema yang disiapkan untuk mendalami laku puisi itu, semisal belajar dari karya-karya penyair lain, mempelajari momen puitik, mengamati kehidupan, mencatat hal-hal yang dianggap sepele atau sederhana yang dijadikan 'tabungan' dalam mencipta puisi. Maka dengan metode tiga M itu kesemuanya dilakukan bersamaan untuk mencipta puisi. 

Ada hal yang juga sama dengan penjelasan Musashi, rasa-rasanya menurutku mas Iman lebih mudah menjelaskan jika sebenarnya mencipta puisi adalah karena ia mewujud sendiri. Agak kesulitan sebenarnya penyair menjelaskan proses kreatif itu, sebab puisi lebih suka mewujud sendiri, begitu kata mas Iman dalam buku "Kalakanji" meski di buku "Seni Mencipta Puisi" lebih menekankan pengayoman dan penjelasan teknisnya, tetapi menurutku mas Iman lebih mudah menciptanya ketimbang memaparkan seperti itu. Yang aku lihat beliau bershodaqoh dan mengatakan kira-kira seperti itu salah satu caranya. Dan yang tidak terucap adalah puisi itu lebih suka mewujud sendiri. Untuk menjelaskan hal itu ialah sesuatu yang dibangun masing-masing oleh manusia, entah intens mengasah batinnya, perilaku sosialnya, rajin mengamati kehidupan, kegelisahan dan penderitaan yang memuncak, dan lainnya. 

Terlepas dari ketidaktahuan akan ajal seseorang, jika naluri alamiahnya manusia itu terus "bergerak" entah bekerja, cari ilmu, atau mencipta sesuatu, maka bagaimanapun mereka akan tetap seperti itu. Dan memang seringkali ada kecocokan antara apa yang dilakukan manusia sebelumnya hingga menjelang momentum ajalnya. Mungkin juga bisa sebagai doa tentang apa yang diyakini dan dijalaninya, seperti Soe Hok Gie dulu pernah berkata, "Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur" dan itulah yang terjadi padanya di Mahameru, puncak Semeru. 



Share: