Pertama aku coba buka dengan Musashi lewat "Kitab Lima Lingkaran"-nya yang ternyata rasa-rasanya ajaran atau laku siasat juritnya itu sama dengan istilah atau wawasan orang Jawa yang namanya "Patrap" yang artinya menurut mas Iman 'perilaku yang terukur'. Maka, melalui masterpiece-nya yang dibagi 5 bab lingkaran itu adalah keseimbangan dan pancer terhadap laku hidup. Musashi agak kesulitan menjelaskan pahamnya sebab dia tidak bisa menemukan rasa bahasa yang dapat mewakili perasaannya, selain juga laku siasat itu memang lebih banyak dipraktikkan, bukan hanya dipahami sebagai teori. Hal itu yang menyebabkannya sering mengingatkan di akhir bab dan sub bab dengan kalimat "kalian harus pelajari/kuasai betul ini".
Jadi, bagaimana dia mengajarkan laku siasatnya dengan menghubungkan atau menganalogikan dengan memahami laku pekerjaan lain semisal tukang kayu, petani, atau pedagang, juga seniman. Musashi mengatakan laku siasat jurit tidak bisa dikuasi begitu saja, harus juga memahami laku siasat lainnya supaya mengerti betul berbagai laku dari banyak profesi katakanlah. Dia menjelaskan serta menggambarkan bagaimana perperang dengan berbagai alat perang (kebanyakan pedang dan tombak) sampai letak strategis yang menguntungkan diri, dan mengerti sikon juga mental lawan.
Dia juga mengatakan, sejauh yang aku tangkap jangan sampai ada keraguan dalam menjalani laku siasat jurit, ketika hendak membunuh seseorang, maka lakukan dengan keyakinan penuh karena jika tidak tentu itu bukanlah laku siasat jurit. Kata lain, ketika kau ragu-ragu dalam membunuh seseorang, maka kau telah menciderai keyakinan yang kau bangun sendiri melalui laku siasat jurit itu. Ada banyak sub-sub tema dan laku yang tidak mungkin aku jelaskan semua. Inti dari segala yang disampaikan setidaknya menurut pemahaman awamku memang memiliki keterkaitan dengan unen-unen Jawa yang berbunyi "Patrap" tadi. Yaitu keseluruhan dari laku adalah mengerti esensi, proporsi, dan presisi atau yang kata mas Iman adalah perilaku yang terukur sekali. Patrap.
Dalam pandang lain, Musashi ini dapat diibaratkan juga sebagai senimannya ronin yang kemudian samurai. Ahli berpedang yang menganut aliran dua pedang. Yang saking tingginya keahlian itu membuatnya dapat membaca dua gerak tangan pemukul bedug yang kemudian mengilhami jurus kembar dua pedangnya. Tak lepas dari pengalaman berperang dan bertemu guru yang punya ilmu lebih tinggi lalu jadi muridnya dan dia pernah laku tirakat dijantur dalam kamar hingga dapat mendengarkan detak jantungnya dan suara sunyi angin. Selama bertemu dengan guru-guru yang ilmu sunyinya lebih tinggi dia pun terus mengalami peningkatan kualitas dirinya. Lalu ketika dia berada di puncak kehidupannya dia menulis "Kitab Lima Lingkaran" dan menjadi salah satu samurai legendaris di Jepang. Bahkan menurut pak Mustofa W. Hasyim, selaku samurai Musashi telah menemukan "puisi" lewat jalan pedang.
Seni mencipta puisi, menurut mas Iman Budhi Santosa adalah belajar memandang dan mencatat apa-apa yang dilupakan orang. Tentu saja itu interpretasi awamku setelah membaca buku mutakhirnya. Aku berusaha mencatat dan belajar dari dua orang master yang sampai di akhir hayatnya telah menyelesaikan karya pamungkas sebagai mana laku kesejarahan hidupnya. Yang mengingatkanku juga oleh sebagian lain termasuk Syekh Nursamad Kamba juga mengkhatamkan buku terakhirnya sebelum beliau wafat (Mencintai Allah Secara Merdeka), dan mungkin banyak lagi lainnya hal-hal demikian.
Musashi dan mas Iman dalam hal ini bagiku telah menyelesaikan laku sebagaimana hidup mereka dulu. Membuat karya mutakhir sebelum ajal menjemput, meski tidak tahu kapan momentum (ajal) itu, tetapi se-rasa-rasanya menurutku mereka menemukan sesuatu yang harus ditelurkan sebelum habis waktunya. Maka, lahirlah sebuah karya pamungkas dan paripurna dari mereka. Walaupun sebagai samurai, Musashi mungkin telah menyelesaikan pertarungan atau duel terakhirnya, namun yang mengesankan di masa tuanya ia akhirnya memutuskan untuk menulis sebuah kitab atau buku yang melegenda "Kitab Lima Lingkaran".
Mas Iman adalah pribadi Jawa yang betul dapat dilihat dari perilaku dan karya-karyanya, pitutur beliau mengisyaratkan bahwa dirinya merupakan orang dan manusia Jawa yang tidak akan meluntur apalagi melupakan ajaran-ajaran yang telah mendarah jiwa dalam laku hidupnya. Lihatlah sebagian besar karya-karyanya adalah laku internalisasi dan manifestasi dari nilai-nilai Jawa, ditambah ketika beliau ketemu dengan dunia puisi, negeri yang diciptakan Umbu di tengah-tengah antara Tugu dan Keraton, membentang langit sabana yang luas yang memungkinkan kuda-kuda meringkik, ucap Sapardi DD dalam buku Metiyem.
Kecintaan dan kegemarannya mendalami nilai-nilai Jawa mengilhami mas Iman untuk menciptakan karya-karya dari wisdom yang telah dilupakan bangsanya. Mengangkat mutu dan kualitas sebenarnya dari pengaruh ilusi-ilusi global yang menjangkiti manusia zaman mutakhir. Buku "Seni Mencipta Puisi" lahir dari seorang manusia yang bahkan disekitar "rumah" kontrakannya (sor sawo) mungkin saja tak banyak yang mengenalnya, di kota yang katanya surganya seniman sastrawan, titik temu budaya dunia yang saling bersapa, namun kualitas dan nilai-nilai yang diberikan, dishodaqohkan terbilang sunyi untuk merasuk dalam jiwa anak-anak bangsanya.
Di sebagian dirinya ada laku puisi yang telah merasuk begitu dalamnya, sesampainya menciptakan negeri puisi bersama Umbu dkk, seberhasilnya dalam dunia perpuisian, berbagai prestasi dan pencapaian-pencapaian telah diduduki, tapi ia tinggalkan semuanya, bekerja jadi ambtenaar (PNS) di Semarang untuk menjalankan kewajiban mengurusi keluarga dll, yang kemudian bertugas dipindah-pindah sampai Lampung Sumatra sana. Selama 16 tahun kiranya menjalani kariernya sebagai PNS, bekerja formal bertahun-tahun itu pula akhirnya beliau tinggalkan. Kembali ke pangkuan Yogya, ada yang terus meraung-raung dalam diri Iman, Ia ingin jadi penyair betulan bukan siang pakai dasi malam telanjang bersama kata, begitu kata Muhidin dalam esainya di Mojok.co.
Kesetiaan diri itu pula yang membuatnya akhirnya memuncaki karyanya dengan "Seni Mencipta Puisi". Ada tiga (3) hal yang menjadi garis besar dari buku itu; Niteni, Niroake, Nambahi, ketiganya terinspirasi dari ajaran Ki Hajar Dewantara di Taman Siswanya. Kemudian mas Iman mengkreatifi dengan pemahamannya melalui contoh karya-karya puisi dari penyair-penyair tanah air, ditambah pula contoh cerpen dan esai. Secara teknis hampir sama dengan pemaparan Musashi, jadi ada banyak sub-sub tema yang disiapkan untuk mendalami laku puisi itu, semisal belajar dari karya-karya penyair lain, mempelajari momen puitik, mengamati kehidupan, mencatat hal-hal yang dianggap sepele atau sederhana yang dijadikan 'tabungan' dalam mencipta puisi. Maka dengan metode tiga M itu kesemuanya dilakukan bersamaan untuk mencipta puisi.
Ada hal yang juga sama dengan penjelasan Musashi, rasa-rasanya menurutku mas Iman lebih mudah menjelaskan jika sebenarnya mencipta puisi adalah karena ia mewujud sendiri. Agak kesulitan sebenarnya penyair menjelaskan proses kreatif itu, sebab puisi lebih suka mewujud sendiri, begitu kata mas Iman dalam buku "Kalakanji" meski di buku "Seni Mencipta Puisi" lebih menekankan pengayoman dan penjelasan teknisnya, tetapi menurutku mas Iman lebih mudah menciptanya ketimbang memaparkan seperti itu. Yang aku lihat beliau bershodaqoh dan mengatakan kira-kira seperti itu salah satu caranya. Dan yang tidak terucap adalah puisi itu lebih suka mewujud sendiri. Untuk menjelaskan hal itu ialah sesuatu yang dibangun masing-masing oleh manusia, entah intens mengasah batinnya, perilaku sosialnya, rajin mengamati kehidupan, kegelisahan dan penderitaan yang memuncak, dan lainnya.
Terlepas dari ketidaktahuan akan ajal seseorang, jika naluri alamiahnya manusia itu terus "bergerak" entah bekerja, cari ilmu, atau mencipta sesuatu, maka bagaimanapun mereka akan tetap seperti itu. Dan memang seringkali ada kecocokan antara apa yang dilakukan manusia sebelumnya hingga menjelang momentum ajalnya. Mungkin juga bisa sebagai doa tentang apa yang diyakini dan dijalaninya, seperti Soe Hok Gie dulu pernah berkata, "Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur" dan itulah yang terjadi padanya di Mahameru, puncak Semeru.
0 komentar:
Posting Komentar