Dan hari ini mestinya kau pun telah menikah dan punya anak, berkeluarga mengarungi kehidupan-Nya. Aku membayangkan kau menimang-nimang anakmu yang mungil dan kelak akan memanggilku om atau lek, terserah lah yang penting itulah setidaknya yang dapat aku simulasikan. Indah memang bernarasi seolah-olah kehidupan bukanlah sekat yang membentur alam dan manusia. Memutarbalikkan fakta dan kenyataan, berimajinasi dan berkhayal seakan-akan hidup bisa kapan pun diolah dan digelar kapan saja sebagaimana wayangan dan memungkasinya dengan tancep kayon di pagi menjelang.
Namun, jika tidak demikian kenapa manusia dibekali alat untuk dapat membayangkan, berimajinasi, mensimulasi, bahkan ada yang sampai pada kemampuan tertentu membuat manusia tidak siap secara mental dan budaya melihat dan mengakuinya, apalagi menerimanya. Bahkan yang aku bayangkan tadi bagi manusia sekarang hanyalah dianggap halu dan tidak realistis, tidak ada artinya bagi mereka mungkin, agaknya berbeda dengan yang bersangkutan disekitarnya. Dan kenyataannya memang kehidupan itu abadi, jika tidak maka tidak akan ada pertanggungjawaban kelak di kemudian hari, tidak ada alam lanjutan dari alam sebelumnya. Sayang sekali manusia kebanyakan memang terlalu tergiur dan berminat pada wadak atau materi di dunia sehingga cakrawala rohaninya ketutupan dan lebih ngeri lagi jika runtuh. Dan setelah sepuluh tahun lebih kau meninggalkan kami, hari ini aku semakin merindukan manusia sepertimu, sebagai teman di tengah kesepian hidup ini.
Sewaktu sepupuku itu meninggal, aku lihat di inbox/kotak pesannya di Facebook (sekarang "Meta") dan timeline/dinding berandanya jadi kekuatan dan pengetahuan baru untukku, tidak mengira begitu dalam kesan-kesan yang teman-temannya sampaikan di sana. Ada yang rajin menulis catatan keseharian/kehidupannya semasa kuliah di linimasa Facebook sepupuku itu, dan terakhir sampai 2018 aku lihat dia masih memberi ucapan selamat ulang tahun di sana, di samping keluarga sepupuku juga. Pernah terlintas rasa iri pada sepupuku itu, kesimpulan waktu itu adalah banyak orang yang sayang kepada sepupuku, dan aku bayangkan bagaimana denganku kelak, adakah yang sayang kepadaku?. Itu konten pikiranku waktu itu, tetap dengan memungkasinya bahwa sepupuku dek Hanif memang benar-benar manusia yang baik hati. Banyak nomenklatur yang bisa disematkan selain baik hati, tetapi menurutku kata baik hati itu cukup untuk mengakui kemanusiaannya, bahwa dia benar-benar manusia sejati.
Hal yang baru juga adalah ketika empat puluh harinya atau haul yang pertama aku agak lupa, pakdeku bilang "putuku ae wani mati, mosok aku ora wani!" sambil sedikit sesegukan. Mendengarnya aku tersentak dan sampai hari ini aku tetap mengingat peristiwa itu berserta yang melingkupinya. Dan terakhir aku menangis mengguguk adalah ketika waktu dia meninggalkan kami semua. Di waktu yang sebentar lagi akan mengadakan buka bersama bareng kawan-kawan kamar pondok di rumah simbahnya atau pakdeku. Di waktu yang sama ketika dia kecelakaan aku bicarakan dia bersama seorang teman sekolah tentang kebaikan-kabaikannya, untuk itu aku sangat yakin dan bersaksi bahwa sepupuku dek Ihda Hanif Ramadlan adalah benar-benar manusia yang baik hati, dia Husnul Hayat. Dan firasat-firasat lain yang aku terlambat menyadarinya ada semua untuk menjawab pertanyaanku dan lain-lain. Sebuah kejadian yang tidak terduga sama sekali. Itulah kehidupan yang Allah berkalam dalam Qur'an-Nya "di depanmu gelap.." (Al-Isra : 1). Kita tidak pernah tahu apa yang ada di depan, maka Tuhan menyuruh kita untuk selalu bertakwa, waspada kepada apa pun saja.
#Selamat Ulang Tahun dek Hanif, kami selalu mengingat dan menyayangimu.
Di- 23.31 WIB
Sinoman, Pati, 18 Maret 2022
0 komentar:
Posting Komentar