Di sini Ceritanya Wongsello


Minggu, 24 Juni 2018

Pelajaran Tahunan Ala Lebaran

https://inspiratorfreak.com/5-tradisi-unik-lebaran-di-indonesia-2/
Ala-ala Lebaran 

Ada yang mengatakan jika lebaran adalah momen untuk pamer, adu gengsi, dan kompetisi pencapaian karena disitulah momen kumpul keluarga, tetangga, warga, dan reunian.

Saya membebaskan dari asumsi itu semua, biarlah menjadi pemahaman bagi masing-masing orang. Namun, beberapa yang dapat saya tangkap dari macam-macam wacana di momen lebaran adalah ini.

Pelajaran tahunan tiap lebaran : 
1. Kuliah bukan bahasan menarik/marketeble bagi warga, hanya basa-basi diawal percakapan yang sangat basi. 
2. Pekerjaan dan gaji adalah kesatuan idealisem yang jadi parameter kesuksesan masa kini (marketeble) 
3. Di mana pacarmu dan kapan kawin adalah tanya keniscayaan yang bakal terjadi 
4. Pye kabarmu?


Ada lah lain hal lagi, tapi hanya itu yang ingin disampaikan, oke.
#Rioyo_Ala-ala
Share:

Selasa, 12 Juni 2018

Viral dan Ketidaksiapan Mental

https://research-methodology.net/classification-of-viral-marketing/



Ledakan informasi di lini media jarang bisa dibendung dan jadi kucuran wacana yang akan terus terjun bak hujan yang mendera bumi. Oke fix.

Di Indonesia khususnya, ledakan informasi itu disebut viral. Begitu mudahnya banjir berita tersebut menunjukkan bahwa masyarakat suka dan berusaha mem-forward memenuhi media dengan alasan mengikuti trend

Nah sayangnya informasi ini hanya tunggal, atau katakanlah tidak beragam. Jadi, hanya satu warta yang diledakkan, bahkan dipaksa meledak atas alasan biar viral. Kiranya begitu. 

Kalau saya melihat, ini merupakan suatu fenomen sikap ketidaksiapan mental dalam menghadapi berita, informasi, wacana dan sebagainya lain. Kalau serius memahaminya, itu bukanlah viral. Cuman kemungkinan yang bisa terjadi kapan saja. Yang biasa dibikin tidak biasa. Viral. 

Entah mengapa istilah itu bisa lahir?. 

Begitu mudahnya masyarakat Indonesia kagetan atau gumunan menurut orang Jawa dengan fenomena yang harusnya menjadi biasa-biasa saja. Inilah mengapa saya katakan belum adanya kesiapan mental dan ruang yang cukup luas untuk mewadahi ragam kondisi, wacana, gejala sosial, hingga perubahan dalam tatanan dunia. Apalagi hanya berkutat di dunia maya. Oke wells. 

Sederhananya, Viral adalah kurangnya atau belum ditemukannya kematangan dan kedewasaan di dalam kondisi sosial masyarakat, bahkan untuk tiap individu. Itulah yang melatarbelakangi sering timbulnya pergolakan sosial di lini kehidupan kita sehari-hari. Walau tidak dibantah jika itu ada unsur kepentingan lain. 

Kita kurang mau berendah hati dan melupakan konsep Bhinneka.
Share:

Senin, 11 Juni 2018

Katanya Puasa, Nyatanya?

simomot.com


Ada sebuah anomali yang biasa terjadi dalam bulan ramadan. Entah, belum menemukan istilah pas untuk situasi saat ini, tapi seperti ini ceritanya.
 
Bulan puasa yang sudah disepakati dan menjadi pengetahuan hingga amal ibadah nyatanya masih ditemui keanehan atau anomali pada khalayak umum. Apa tanda orang berpuasa? Tidak makan minum, oke itu jelas dipermukaan. Tapi untuk pemahaman yang lebih komprehensif dan kualitatif atau makro itu yang bagaimana?.

Kalau puasa dipahami sebagai remnya manusia dengan segala sifatnya harusnya tiada anomali seperti yang disebutkan tadi. Apa anomali itu?.
Bahkan dalam pemahaman puasa yang seperti itu pun manusia tetap pada sifatnya sendiri-sendiri.

Nyatanya walaupun mereka mengakui sebagai bulan puasa, tetapi dalam prakteknya dipermukaan yang dibahas, di share dan memenuhi media kebanyakan cuma urusan makanan, takjil, buka bersama, menu, dan paling banter soal pahala dan ganjaran. Makna puasa telah hilang entah ke mana?. Jadi kita puasa hanya menuju terbangunnya berbuka, bukan menuju Tuhan. Itulah mengapa saya pernah menuliskan bahwa yang paling penting di bulan puasa adalah departemen/seksi perbadokan (konsumsi).

Kalau ada yang komentar "Kan puasa baiknya tidak diperlihatkan", 
maka jawaban saya "Anak kecil pun bisa berkata begitu".

Maksudnya itu adalah soal cara dan kreativitas dalam menjelaskan/melakukan sesuatu.
Share:

Jumat, 01 Juni 2018

Waktu, Momen, Dan Ketiadaan

m.viral.id


Siapa yang tak tahu kalau keceriaan yang berlangsung tadi, kemarin, lusa, dan dulu pasti jadi sejarah dan masa lalu. Apa yang dapat kita hirup melainkan hanya sebatas keadaan yang berlangsung kemudian hilang, namun tetap terkenang, menjadi kenangan dan sejarah. Apa parameter yang dipakai untuk menghitung itu semua?. Waktu.

Dalam ke-ada-an berlangsung, sesuatu atau variabel menjadi ada dan nyata untuk beberapa saat. Dengan kesadaran tinggi orang mengerti itu dan mafhum, tapi ketika masyuk ke dimensinya orang jadi mabuk dan terlena sehingga pas waktu-waktu mengasyikan itu berlalu mereka berkata "Oh gak kerasa ya sudah lewat jam". Apa inti dari serangkaian keadaan yang membentuk waktu itu?. Momen.

Meski waktu bisa dikatakan panjang atau pendek, namun manusia masih bisa menemukan ruang kecil / singkat yang mengkaver inti dari kemesraannya. Itulah momen. Kristal dari sehimpunan keadaan-keadaan tertentu yang memadat. Nah, pasca-memasuki fase itulah mereka menyebut kesimpulan variabel jadi momentum. Manusia butuh waktu, tapi jarang yang benar-benar bisa utuh terangkum dalam memori. Untuk menyederhanakan film itu, dibuatlah sebuah keadaan darurat yang bebas long time. Jadi dengan tanpa kesulitan tinggi orang mudah mengingat dan merayakan kenangan atau momen itu di setiap ulang tahunnya. Kapan pun, di mana pun berada. Lebih detail lagi kalau disebut dejavu. Keadaan di mana seseorang merasa dalam suatu konsep yang sama dari yang pernah ada dahulu. Nah, dalam siklus inilah orang mengatakan "Waktu serasa berhenti, dan berputar kembali ke masa lalu, seperti membunuh waktu". Sayangnya pada keadaan yang sama pula waktu tetap berputar maju dan menjauh dari segala asumsi. Ironis. Manusia tetap pada lena yang dibuai kenangan. Keberadaan variabel hanya dihitung dengan kecepatan waktu. Tidak ada waktu yang cepat atau lambat, yang ada hanya berjalan maju terus menerus (istimror) hingga konsep tentang waktu tiada. Jika suatu variabel di lewati oleh waktu, maka ia menjadi ada, real, dan terlihat nyata, namun tatkala waktu berlalu bahkan jika dipercepat layaknya siklus dan revolusi ia jadi hilang dan tiada. Kalau kata penyair Sapardi Djoko Damono "Yang Fana Adalah Waktu" Entahlah.
Share: