Dalam serangkaian acara ulang tahunnya mas Iman Budhi Santosa yang ke-69 di tahun 2017, ketika beliau membacakan puisinya di depan panggung di tengah riuh rendahnya tepuk tangan penonton tiba-tiba beliau berkata "seng mbok keploki ki opo?"
Waktu itu aku mendapat tetesan sedikit dari pernyataan beliau dalam hati "iyo yo" itu kesan pertama mendengarnya. Anehnya yang hadir malah tertawa, aku pun sama, memang lucu saja, tapi begitulah yang terkesan, dan itu memori tiga/empat tahun lalu.
belakangan perasaan itu muncul dan seperti biasa ada pemahaman lain yang melengkapi dulu. Dari yang aku lihat jarang sekali ada yang paham soal bagaimana dan apa yang telah terjadi sebenarnya dari yang disampaikan semesta. Maksudnya, jika ada orang membacakan puisi, bernyanyi, atau baru saja melakukan sesuatu yang hebat baik di atas panggung atau tidak, mana ada yang memberi kuesioner dan pendataan siapa saja orang-orang yang memang paham tentang apa yang terjadi?.
Yang ada hanya tepuk tangan dan applous keras dengan bumbu basa-basi seperti biasa. Untuk itu, aku mendengar mas Iman Budhi Santosa yang tiga tahun kemarin mengatakannya di depan panggung, ruang teater Taman Budaya Yogyakarta (TBY) serasa dapat persentuhan atau tetesan yang menggugah. Anehnya ketika orang berbicara mengenai perasaan yang dialami entah kegembiraan atau penderitaan audiennya hanya tersenyum, tertawa, mentoknya tepuk tangan? tentu bisa terbawa haru suasana yang menyedihkan, tapi seberapa kadarnya? bagaimana informasi tersebut diperlakukan, apa sampai nanti dibawa pulang, sampai hari esok, menjadi bekalnya memperbarui diri, atau habis disapu angin malam.?
Aku jadi teringat puisinya Widji Tukul;
"Apa Yang Berharga Dari Puisiku"
Kalau penonton baca puisi memberikan keplokan,
Apa yang telah kuberikan,
Apa yang telah kuberikan?
-Semarang, 6 Maret 86.
Dan lagi satu puisi yang berjudul;
"Mendongkel Orang-orang Pintar"
Para pembicara dalam ruang seminar,
Yang ucapannya di muat di halaman surat kabar,
Mungkin pembaca terkagum-kagum,
Tapi dunia tak tergerak,
Setelah surat kabar itu dilipat,
-Solo, 8 September 1993.
Kebanyakan dari kita berangkat ke mana pun hanya untuk mencari, mendengarkan, atau menerima suatu informasi, tanpa mengimbangi dengan kesadaran untuk bertanya apa yang akan kita pelajari hari ini?.
Kalau tidak, akhirnya seperti penjelasan tadi, hanya bisa tepuk tangan ketika seseorang menunjukkan pengalamannya di depan khalayak. Mungkin lebih dari empati untuk dapat mengakses pemahaman yang penulis catat ini, tapi sebagai gantinya cakrawala ilmu semakin banyak dan terhampar di muka.
0 komentar:
Posting Komentar