Secara umur aku terbilang lebih beruntung daripadanya, karena aku telah sampai pada usia 27 tahun, sementara Gie hanya cukup di usia 27 tahun minus sehari, katakanlah 26 menjelang ulang tahun ke 27. Sehari sebelum ulang tahunnya ia meninggal di puncak gunung para dewa, Semeru. Tetapi bagaimana aku bisa yakin dapat menjelaskan bahwa aku memang lebih beruntung daripadanya, usia hanya ukuran dan hitungan kasar saja. Sedang jika dalam 26 tahun hidup melakukan segala sesuatu yang luar biasa, bukankah lebih baik ketimbang umur yang panjang namun hampa.
Dan tahulah kalau memang aku tidak lebih beruntung dari hanya sekadar umur saja. Dia pernah melakukan hal-hal yang menarik dan mengagumkan di usianya yang saat itu masih muda. Bisa juga dibilang prestasi, bisa dibaca sendiri di buku-bukunya, yang ingin aku ceritakan adalah apakah usia membebani atau tidak? Seringkali orang mengatakan kalau sudah berumur atau masuk usia matang lebih baik melakukan sesuatu yang umum dilakukan orang, misalnya kawin atau menikah, dan juga bisa dipakai untuk mencipta sesuatu yang baru, entah karya dll. Jadi usia bisa digunakan sebagai katalisator dan alarm batin dalam melakukan sesuatu hal.
Namun bagi seorang pejalan usia/umur adalah hanya gambaran angka-angka atau rentang waktu/kesempatan yang diberikan Tuhan di dunia?. Sehingga manusia dapat memanfaatkan waktu itu jadi lebih bermanfaat dan bermakna. Bahkan untuk 10% saja dari Gie sepertinya aku gagal dan tidak mencukupi berkreasi dan berkarya di usia yang sama. Aku tidak beralasan perihal keadaan atau kecerdasan, keduanya sama-sama mendukung jika yang bersangkutan aktif dan rajin mengasah.
Aku ingat pada usia 26 lalu aku tulis tulisan syukur ini di depan kontrakan Madukismo antara bakda maghrib hingga menjelang isya. Setahun ini, dan tahun-tahun yang berlalu terasa kosong dan hampa, karena aku terus menerus merasa gagal dan tidak ada apa pun yang bisa aku ceritakan, apalagi aku banggakan. Walau mainstream-nya tidak seperti itu juga. Tetapi hal lain yang menggugah juga adalah bahwa usia sebagai piweling atau pengingat di kala kita terlalu mencakrawala atau malah diterjemahkan anak-anak sekarang "halu" atau apalah yang lain-lain.
Bagaimanapun aku setuju itu, sebagai pengingat bahwa aku tidak bisa berada dalam usia yang sama atau muda terus, namun semangat dan jiwa adalah rohani sendiri yang tak dapat diukur seperti umur. Jadi cakrawala tetap menjadi abadi dan tak lekang usia. Sebagai pengingat di kala aku salah-salah dalam bertindak, sebagai piweling ketika diriku dihempaskan oleh keragu-raguan dan ketidaktegasan dalam menjalani kehidupan. Ulang tahun bukannya sehari saja, ialah memori yang dibangun dalam kesadaran batin dan badan.
0 komentar:
Posting Komentar