Di sini Ceritanya Wongsello


Sabtu, 03 April 2021

Pengetahuan, Ilmu, Piweling

 

Suatu bangsa akan mengalami silang-sengkarut zaman yang akan memaksanya untuk tetap survive dan bahkan maju, entah akan ada gejolak, bencana, kontroversi, perang, dan banyak variabel yang lain. Beragam wacana, pengetahuan, dan ilmu semakin diperlukan untuk menopang semua itu, setidaknya dalam konteks dunia, maka ketika bangsa sudah sedemikian majunya sebagai peradaban dan matang akan kehidupan mereka mestinya sudah dalam taraf wacana “piweling” sebab proses-proses tadi telah dijalankan.

Secara logika Manusia tidak bisa spontanitas melakukan suatu pekerjaan atau hal-hal yang belum pernah dikuasainya, apalagi belum pernah melihatnya secara nyata, atau katakanlah mengalami kenyataan (konkrit) dan empiris. Maka, dengan krusialitas persoalan kehidupan mau tidak mau manusia belajar untuk mengenali gejala-gejala yang memungkinkan dan akan terjadi pada hidup, yang akan aku awali dengan konsep Pengetahuan. Pengetahuan sebenarnya juga hal yang tidak bisa kita tempuh sepenuhnya, jika kita meminjam wacana agama, bahwa manusia tidak diberi pengetahuan/ilmu melainkan hanya sedikit, jadi kalau manusia merasa hebat dengan kemajuan yang telah dicapai saat ini, hal demikian hanyalah narsis dan GR kecil-kecilan yang dibesar-besarkan mereka sendiri.

Perkenalan manusia dengan pengetahuan dapat ditempuh dan melalui media apa saja, kita bisa saja bisa mengetahui sesuatu dari obrolan manusia, melalui kontak sosial, dari bebatuan, pohon, air, cahaya, dan segala partikel yang ada di dalam semesta yang kadang bisa disebut inspirasi. Karena pengetahuan sifatnya baru pengenalan, dus ia hanya baru urusan tahu, bahkan belum kenal dan mengenali, pengetahuan sudah ada di alam, manusia hanya sedikit bisa membahasakannya saja, sebab disebut bahasa mestinya memungkinkan untuk terjadi permasalahan yang aku katakan silang-sengkarut tadi. Untuk memecahkan soal itu diperlukanlah ilmu sebagai pengukur tekanan pengetahuan, banyaknya pengetahuan harus singkron dengan ilmu yang kita miliki, banyak pengetahuan hanyalah “omong kosong”, banyak ilmu mestinya seimbang dengan pengetahuannya, hal ini menyebabkan pengalaman.

Keilmuan manusia hari ini sudah dikatakan mutakhir, kalau mereka berpikir istilah itu baru nyata setelah mendekati kiamat meski kita juga tidak tahu kepastiannya, karena kita masih bodoh dengan gampangnya mengatakan mutakhir meskipun agak selip dalam transliterasi arab-indonesia yang artinya terlambat, namun maksud mereka itu yang namanya mutakhir ya pamungkas. Di saat waktu semakin berputar dan mereka lebih menemukan penemuan lagi masih akan disebut mutakhir atau akan ada nomenklatur lagi perihal penamaan kemajuan peradaban bangsa modern?. Maka dengan bekal pengetahuan dan ilmu yang sudah terukur tersebut suatu bangsa dikatakan mampu dalam mengelola minimal persoalan penghidupan ekonomi, pendidikan, kebudayaan, industri, peradaban menurut pandangan mereka sendiri.  

Setelah perihal pengetahuan dan ilmu/keilmuan, aku meminjam contoh peradaban bangsa Jawa, bangsa Jawa sudah menemukan hubungan vertikal horizontal mengenai hidup dan penghidupan, dengan sejarah bangsa yang sudah sedemikian tuanya, akan terlihat seperti apa bangsa ini ke depan mestinya dapat kita simulasi bersama. Bayangkan, jika Piramida Giza Mesir kuno yang katanya paling tua di dunia itu ternyata masih kalah jauh ketimbang “Piramida” yang ada di ditus Gunung Padang di Jawa Barat itu, yang diperpirakan umurnya 10.000 tahun SM, selisih sekitar 7,5 ribu tahun. Perjalanan jauh seperti bangsa Jawa sudah bisa dikatakan ialah bangsa besar yang mampu merangkum dunia dalam genggamannya, untuk itu gelar Rajanya adalah Hamengku Bawono. 

Nah, bangsa yang sedemikian besarnya itu mestinya telah menguasai pengetahuan dan keilmuan yang sangat mumpuni, dikatakan nenek moyang orang Jawa sudah pernah pergi ke planet-planet di tata surya, ini menandakan keilmuan di bidang asronomi sangat hebat, di zaman bangsa-bangsa di dunia tidak terdengar kabarnya. Kemudian, karena peradabannya yang begitu tingginya, bangsa Jawa menemukan teknologi Piweling/Pepiling atau Unen-unen, peringatan, peng-iling-iling.Sebagai peringatan dan kewaspadaan, hati-hati dalam menempuh hidup, sebab filosofi hidupnya bangsa Jawa sangat luhur, maka teknologi mutakhir, atau pemungkas, atau paripurna itu dijadikan kitab suci di dalam hati masing-masing. Jika di transfer ke islam, Piweling/Pepiling ini bisa berarti taqwa, bangsa yang sudah di taraf taqwa, mestinya ialah bangsa yang besar dan Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur.

 


Share:

0 komentar:

Posting Komentar