Ilustrasi. - Tapak Dunia.Com
Dengan sedikit rasa segan kami memulai
percakapan yang sebetulnya bapak pendeta sudah tahu maksud kedatangan kami. Yah
,, tentu saja ini adalah suatu kunjungan yang belum pernah sama sekali
sebelumnya, berkunjung ke Gereja adalah pertama kali bagi kami, tetapi inilah
yang terjadi. Bukan apa-apa , justru ini adalah moment yang sangat bagus untuk
mengamalkan ‘’Bhinneka Tunggal Ika’’.
Menjaga keharmonisan
antar umat beragama agar bangsa Indonesia tetap kukuh dan Eka untuk selamanya. Alasan
kenapa Indonesia masih bisa hidup berdampingan sampai sekarang, adalah karena
kita dapat menghargai perbedaan, menjaga keharmonisan dalam sebuah hubungan, Sekaligus
memperkuat tali silaturahmi sehingga siapapun merasa dihargai dan inilah yang
musti dijaga lagi diamalkan selalu. Bapak pendeta mengawali perbincangan dengan
menceritakan sejarah Gereja Santo ini dilanjutkan pertanyaan dari kami, beliau
menceritakan segala seluk beluk berdirinya Gereja dari zaman penjajahan hingga
kini. Walaupun, kami tidak bisa menangkap semua ceritanya secara keseluruhan,
tetapi pada intinya kami mengetahuinya.
Gereja Santo
(HKBP JOGJA) berdiri pada tanggal, 7 April 1946. Pada zaman pendudukan Jepang
di Indonesia gereja ini beralih fungsi menjadi masjid jadi, kalau hari jumat
dipakai untuk jumatan dikarenakan karena keterbatasan tempat bangunan ibadah. Di
sana kami di ajak berkeliling Gereja guna mengetahui fungsi-fungsi ruangannya. Di
tempat ibadahnya, ruangan pendetanya dan lain-lain. Kami juga bertanya bagaimana
caranya untuk men jadi pendeta bahkan, di respon bapak pendetanya ‘’apa kalian
mau jadi pendeta?’’ di ikuti gelagak tawa dari kami, dan kami saling lempar,
saling tuduh ‘’itu pak, Dea (teman kami) itu lho mau jadi pendeta ‘katanya’,
haha.., di barengi tawa kami semua juga bapak pendeta.
Kemudian bapak pendeta menjelaskan, ‘’jika
ingin menjadi pendeta di Gereja ini, syaratnya yaitu harus alumni UKDW jurusan Teologi (kalau Katolik Filsafat)
kebetulan kami dapat tugasnya di Protestan, dan juga masa persiapannya atau uji
cobanya selama tiga tahun sedang, Katolik tujuh tahun. Ada satu pernyataan yang
membuat saya suka dengan apa yang disampaikan bapak pendeta, yakni “bahwa ibadah itu bukan karena perintah,
melainkan untuk merasakan kehadiran Tuhan (melalui dorongan jiwa) ‘’pungkasnya’’.
Tidak terasa
perbincangan kami cukup lama hingga waktu menunjukkan pukul 20.15, merasa cukup
dengan apa yang kami dapat, akhirnya kami pamit untuk kembali ke tempat
masing-masing. Malam itu kami mendapat banyak pengalaman dan ilmu yang belum
pernah kami temui sebelumnya. Tepat pada
pukul 20.30 kami pulang ke rumah setelah sebelumnya berpamitan. Sebenarnya masih
banyak lagi yang ingin saya sampaikan, karena keterbatasan pemahaman jadi gak
berani untuk meng-explorer yang
notabene pemahaman saya masih parsial-parsial. Silaturahmi merupakan suatu kesempatan
emas untuk menumbuhkan serta membangun kepercayaan, keharmonisan, serta
menjalin hubungan mesra dengan sesama. Dengan berkunjung atau dikunjungi, kita
merasa dihargai dan diinginkan.
Jangan pernah lupa!!! Kenapa Indonesia masih
bisa hidup berdampingan, bergandengan sampai sekarang, karena itulah yang
dinamakan ‘’Bhinneka Tunggal Ika’’ , kita boleh berbeda, tetapi jangan pernah
lupakan dari mana kita berasal, dari mana kita di besarkan. Kita jangan pernah
memandang siapa-siapa, jangan memandang perbedaan, justru karena perbedaanlah
yang membuat Indonesia lebih berwarna-warni. Perbedaan itu indah, Kita tetaplah ‘Satu Jua’. Mari kita jalin selalu
keharmonisan hubungan ‘bangsa Indonesia’ untuk kedepannya, agar dapat memberi
senyum yang menyinari ‘Nusantara’ dan
dunia.
pengalaman Perdana
BalasHapus