Di sini Ceritanya Wongsello


Kamis, 28 November 2019

Embun #9

www.hdwallpapersn.com


Embun #9

Banyak baca itu harus, bukan artinya semakin banyak baca bisa gila, tapi bagaimana kita menempatkan segala informasi itu sesuai dengan tempatnya dan mempergunakan pada saatnya. 
Share:

Rabu, 27 November 2019

Embun #8

https://m.soha.vn/kham-pha/soc-con-nguoi-bat-tu-va-khong-the-chet-20150720170549881.htm


Embun #8

Kesadaran minimal yang tidak lahir di tengah badai itu menyedihkan. 
Share:

Minggu, 24 November 2019

Embun #7

https://www.spiritofchi.com/Indonesia/wp-content/uploads/2014/01/hakikat-300x3001.jpg

Embun #7

Kita biasa mencari kebahagiaan di luar, karena mata kita terbawa arus materi untuk mengikutinya. Padahal keindahan yang kita sebut dari kasat mata adalah suatu kefanaan dunia yang maklum dipahami. Dan penglihatan mata sebenarnya adalah saat kita terpejam untuk menjelajahi dunia lain yang sejati.
Share:

Sabtu, 23 November 2019

Embun #6

http://certainlyher.com/red-coat/

Embun #6

Kerinduan akan selalu bisa mengalahkan mereka yang ada disisimu, bahkan dari jarak terdekat pun. 
Share:

Senin, 18 November 2019

Guyonane Wongsello

https://www.wattpad.com/story/137399646-bahagia-dalam-khayalan



"Aku gelem dikei omah iku.."
"Seng iki yo gelem kok.."

Ucapku sesekali saat jalan bareng-bareng dengan teman, kalimat sederhana yang mampu membangun senyum dan bahagia itu seperti bayangan, jadi selalu ada menemani. kalian pikir apa responnya?

"Lha kok wenak urepem jik, aku yo gelem.." disambut gelak tawa meriahh..

Kalau orang bilang bahagia itu sederhana, aku setuju saja, tapi kebahagiaan yang aku bangun malah lebih nyeleneh banget ketimbang diktum bahagia itu sederhana. 

Nampaknya, kekonyolan dari dulu itu sangat membekas sampai sekarang, kata lainnya itu pecengisan (guya-guyu) sikap itu sudah sejak dari kecil, ya memang seperti itu kebiasaanku dulu, pecengisan. Dari mula, aku suka menertawakan orang atau apa pun yang membuatku tertawa, bukan menghina, tapi ya begitulah adanya. 

Itu semacam style-ku dalam pergaulan. Aku membuka peluang untuk orang mudah menerimaku, lebih-lebih akrab dan tanpa pekewuh, maka aku beri mereka show watak itu, kemurnian itu. 

Nah, nanti setelah mereka sudah bisa menerimaku, aku bisa sesuka hati menertawakan mereka dengan tetap menjaga batas-batas dan kadar yang dimiliki masing-masing. 

Meski aku terdampak atau berpotensi direndahkan orang, sangat bisa saja, tapi aku menemukan kebahagiaan di sana. 

Jadi, dengan berkelakar soal pingin rumah tadi, itu hanya sebagian kecil kekonyolan yang biasa aku lakukan. Banyak lagi bahagia yang aku bangun dengan hal-hal aneh dan khayal. Sebenarnya posisiku sendiri memang dekat dengan 'khayalan', jadi wajar itu terjadi. Namun percayalah aku masihlah waras untuk diajak berkomunikasi kok ha ha haa.. 

Tulisan selanjutnya akan melengkapi pertanyaan ini. :)(:


Share:

Minggu, 17 November 2019

Nyatanya, Kehidupan Jalanan Itu Sudah Dimulai Sejak Dulu Masih Kecil




#Saat lulus nanti, aku cukup puas dengan predikat sello dan gelar sarjana bonek wkwk.

Itu kesan pertama yang aku tuliskan sebelum diwisuda dulu. Saat semakin ke sini aku jadi ingat ternyata pengalaman mengaspal atau kehidupan jalanan itu sudah dimulai sejak dahulu kala, sewaktu aku masih kecil di Sekolah Dasar. Waktu itu sering sama teman-teman bermain dan berkelana di banyak daerah, di desa-desa, lintas kecamatan  dengan bersepeda. Tak lupa juga pengalaman nyolong tebu di daerah Masong, sebrang kulon desaku hingga dikejar sama pemiliknya dan diakhiri arit/sabitku dibuangnya di tengah lahan pertebunan itu.

Nyatanya, kehidupan sekarang yang kusebut jalanan itu sekali lagi nyatanya sudah dibentuk dari dahulu kala. Sampai sekarang aku berada di jalur wartawan pun tak ubahnya sama dengan kehidupan jalanan dan terus mengaspal. Dan semua itu bermula ketika aku masih kecil. Ini semacam lintas kesadaran terlambat yang baru teringat sebagai kesadaran waktu past live.

Jadi Timeline jalanan dalam 24 tahunku sederhananya seperti ini: ada tiga rentang, rentang atau paruh pertama di SD masa bermain dan berkelana bersepeda sesuka hati di daerah-daerah sekitar Pati, paruh kedua, di MTs-MA Bonek pas liburan pondok dan sekolah, Kudus, Demak, Semarang, dan Jogja adalah kota-kota tempat kami mengaspal dulu, jadi agak gelandangan di zaman itu. Lalu paruh ketiga, pas di Jogja sebagai mahasiswa jalan kaki di tempat-tempat yang aku pingini, pernah UIN-Selokan Mataram bahkan sering, pernah Sorowajan-Malioboro beberapa kali, Sorowajan-Lempuyanga-KotaBaru, Sorowajan-Krapyak dua kali, terakhir Sorowajan-Kasihan Bantul,kira-kira 12 km kami mangkati dengan jalan kaki. Kebanyakan alasan semua itu aneh-aneh, mungkin tidak masuk akal bagi orang sekarang, tapi begitulah aku, kadang jalan sendiri,kadang bareng teman-teman yang mau. di paruh ketiga ini, ekspansiku belum jauh ke luar kota, apalagi sampai ke luar negeri. Biar itu nanti akan mengerti dalam perjalanan berikutnya. Bukan aku sungguh mengerti dan tahu diriku, tapi intinya dalam penghayatan 24 tahun hidupku, yang kutemui dan kuketahui baru sampai di situ.

Itu sebagai pengantar tulisanku..

Kali ini aku akan bercerita dulu ketika masih sekolah, ketika masih suka bonek untuk jalan-jalan ke mana-mana hatiku suka bareng "Bolo Bonek Ndonyo Akherat" saat itu penemu dan ketuanya adalah Abdul Rois, temanku dari Jambean Pati, sekarang dia sedang bekerja di Korea  hehe..
Saat itu kami berpisah di perbatasan Kudus-Demak karena kebelet boker aku turun di pom bensin setelah sebelumnya janjian untuk ketemuan di Kali gawe jalan Tol arah Jogja. Dulu tugu cengkeh Kudus belum ada. Akhirnya temen" bolo bonek donyo akherat melanjutkan perjalanan dengan meninggalkan aku sebentar di jalanan, dan aku menyusul kemudian, tapi malah aku yang tiba duluan di tempat perjanjian dengan bonek truk. Lalu pas semua berkumpul kembali melanjutkan perjalanan ke Jogja.

Jogja menjadi kota terakhir di episode jalan-jalan bonek kami, dan siapa kira kini sebagian personilnya masih mengeja nama-nama di jalanan, di kota yang kata Rendra adalah kota tua, kota yang katanya surganya para seniman, kota di mana semua orang mendadak jadi penyair, yang kata anak-anak muda adalah kota tempat pulang dan kembali, kota yang terbuat dari rindu dan kenangan, kota dengan daya magnet yang luar biasa, Jogja.

Kini enam tahun sudah berlalu, dan aku masih tetap mengingat itu, kenangnya. Dan kami memilih jalan kehidupan masing-masing, sebagian di Jogja, Pati, Blora, Semarang, ada yang di Mesir dll. Kini ada yang jadi seniman, penulis, ada yang jadi wongsello, analis one piece abal-abal, ada yang jadi pegiat burung lovebird, ada yang jadi TKI di Korea dll.

Soal namanya, aku hanya meneruskan saja sebuah nama yang dibuat oleh bos Abdul Rois "Bolo Bonek Donyo Akherat".


#Inilah kisah petualangan di jalanan bernama kehidupan Bolo Bonek Donyo Akherat  
























Share:

Sabtu, 16 November 2019

Apanya yang UIN?



Memang di mana letak makna Sunan Kalijaga bagi UIN?

semua diukur dengan buah karya orang barat, bahkan jurusan sastra arab pun banyak skripsinya menggunakan teori barat, bahkan di semua jurusan sama saja. Ini sebuah keanehan dan ciri kurangnya kepercayaan diri. Di mana letak yang namanya kemajuan dan kemandirian? Benar sekali jika penjajahan di atas dunia tetap dan selalu berlangsung dan dilangsungkan. 

Sudah berapa ratus tahun kita belajar dan ada berapa teori yang berani dikeluarkan dan dipakai? Bagaimana pun juga kita tetap menghamba kepada dunia barat dan globalisasi. Kita masih dalam bui kebodohan, masih dalam jeruji kebencian, masih dalam penjara proyek neokapitalis, masih naif soal kemerdekaan yang kabur maknanya. 

Bahkan, ajarannya Sunan Kalijaga pun tak pernah aku lihat selama pembelajaran di kampus. Adakah wawasan dan pengetahuan yang diajarkan mengenai nama tersebut?. Hanya menjelang wisuda, mereka melantunkan satu tembang asmorodhono yang itu pun hanya sekali saja. Jadi, maksudnya cuman nebeng nama besarnya tok?!  

Sungguh memalukan sekali. Kau minjam nama tanpa tau arah dan tujuan memakai nama itu. Jadi di mana letak ruh makna Sunan Kalijaga bagi UIN? Mungkin juga semua yang memakai nama Sunan dan UIN. 

Apa benar kalau UIN itu akronim dari UIN-syaalloh? Insyaalloh UIN wkwk..
Share:

Wisuda, Badut, dan Pembodohan

https://alibrahgresik.or.id/home/pemerintah-kucurkan-rp13-triliun-untuk-beasiswa-ke-luar-negeri/
Ilustrasi : sarjana 



Aku jadi satu-satunya orang yang tidak bahagia ketika wisuda, mungkin. aku merasa seperti badut yang rela digambar dan di pacak atas alasan konyol yang dipercayai bahwa kami adalah sarjana, aneh. memangnya sejak kapan sebuah gelar diberikan hanya dengan bukti skripsi yang terlampau lemah untuk diadu dengan kehidupan nyata, memang bukan begitu sih yang dimaksudkan.

Tapi, ironisnya kita mempercayainya. itu ironi di atas ironi. Dan dalam beberapa waktu juga aku tidak memakai ijazahku itu. 

Kalau bukan karena orang tuaku, aku tidak mau dipacaki seperti itu. Jiwaku menjerit supaya lekas selesai acara dan pergilah dengan cepat. Wisuda tiada kesan buatku, selain seperti apa yang aku gambarkan di atas.  

Aku jadi teringat ucapnya mbah Nun suatu kali, tidak ada yang namanya pencapaian dalam mencari ilmu itu, wisuda itu pembodohan. Begitu kiranya. 

Dan lucunya diam-diam kita bangga dan benar-benar mengakui gelar sarjana itu. Mengerikan. 

Selamat datang di dunia nyata kawan-kawan..

Jangan mau diberi mimpi dan janji dalam kelas..!! Itu bukan kebebasan, tapi penyempitan cakrawala dan penindasan kemerdekaan juga pesakitan intelektual  dan batin..!!.
Share:

Kamis, 14 November 2019

Embun #5

https://muslimobsession.com/wasiat-rasulullah-agar-umatnya-selamat-dan-bahagia/


Embun #5
Bahagia bukan tambah kurang ataupun pembagian. Bahagia ditentukan bukan dari rumus matematika, ia tercapai berkat keselarasan antara hati, pikiran, dan keadaan sehingga membuatmu bisa bersyukur dan menikmati kahanan.
Share:

Sabtu, 09 November 2019

Kritis Itu Tidak Ada


http://blog.cicil.co.id/manfaat-dari-berpikir-kritis/


Kritis bagiku itu tidak ada karena itu hanyalah persoalan pencapaian. Coba kita elaborasi  begini, dalam sebuah konteks besar maupun kecil kita sering melakukan reaksi terhadap tesis yang bertebaran tersebut. 

Namun, biasanya jika ada yang mempertanyakan atau kerennya mengkritisi suatu teks, konteks atau wacana kita lebih sering menganggap itu adalah sikap kritis. 

Agaknya itu terlalu melebihkan saja  karena kritis atau pun tidak hanya terletak pada pemahaman dan pencapaiannya bloko.

Orang mengulas dan mengelaborasi wacana kita sebut kritis dikarenakan tadi, kita belum sampai pada pemahaman orang yang mengkritik tersebut jadinya kita sebut dia cerdas karena dapat mencari titik kritis di mana kebanyakan orang tak tahu letaknya. 

Padahal itu hanya persoalan pemikiran dan pemahaman!. Kalau kita sudah sampai pada pencapaian itu, maka dengan santai kita menganggap itu biasa saja. Sebab sudah tahu, jadi sederhananya kritis merupakan akibat dari pemikiran yang telah dicapai untuk memahami.

Ini juga sama dengan kredo 'buku berat'. Sama saja peristiwanya, tidak ada buku berat atau bacaan berat itu kalau kamu sampai pada cara berpikirnya. Pemahamannya. :)(: 
Share:

Sabtu, 02 November 2019

Ngopi Itu Dorongan Hati, Bukan Indoktrinasi

Wongsello


Kalau tidak salah pemikiran ini lahir di kamar pas ada teman yang ngajak ngopi di warkop dan saya menolaknya. Buat saya ngopi bukan atas dasar ikut-ikutan atau bahkan paksaan dari mereka. Saya tidak segan-segan untuk menolak secara langsung ketika hati dan pikiran tidak stabil, katakanlah lagi tidak pengen.

Ngopi berasal dari perasaan, bukan pikiran untuk semena-mena, itu yang menjadikan stabilitas kata-kata dan gaya kita di media tidak untuk berlaga. Ngopi bukan gaya-gayaan dan mengikuti tren untuk di follow. Ngopi adalah ritual bagi penikmat kehidupan, begitu kiranya. 

Dalam pandangan wongsello sendiri, ngopi tidak begitu dijadikan prioritas utama. Media bisa apa saja, bahkan hingga air putih pun saja untuk menyeruput tidak masalah. Cuma, memang manusia suka mencari yang mudah dan enak untuk dinikmati. Tidak mengingkari nikmatnya kopi, sekali lagi! Tidak anti, yang ingin disampaikan adalah ada media banyak yang bisa digunakan. 

Lalu maksud indoktrinasi di sini jika kita ngopi itu karena memang tidak suka atau entah hanya ikut-ikutan. Jadi dia tidak punya inisiatifnya sendiri dari nikmatnya ngopi. Banyak wacana dan cara pandang untuk menjelaskan soal ini, namun bagi wongsello sendiri ngopi merupakan kebiasaan lama yang wajar dinikmati hingga hari ini. Meski, ngopi sekarang jadi gaya hidup atau life style yang di(mewah)kan, baca : dibisniskan. 

Ngopi itu dorongan hati, bukan indoktrinasi. :)(:
Share:

Jumat, 01 November 2019

Kesadaran Seorang Kawindra "Kesadaran Adalah Matahari"


Shutterstock

Kesadaran adalah matahari 
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala 
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata


Rendra mungkin tidak akan sampai pada cara berpikir semacam ini, jika tidak menghayati alam dengan kesadaran terdalam. Aku punya dua cara pandang untuk menjawab ini:

Pertama, kesadaran adalah matahari merupakan sebuah upaya pencarian dan pencapaian manusia yang menggunakan akalnya beserta intuisi perasaan hingga hasil sebuah kesadaran, menyadari bahwa matahari adalah sebuah kesadaran hidup. Kesadaran untuk memberi dan menyebarkan. 

Kedua, kesadaran matahari merupakan kesadaran Tuhan. Kesadaran untuk menghidupi dan mencahayai alam semesta beserta sekalian makhluk.

Kedua cara pandang itu hampir mirip dan terkesan tiada perbedaan, memang aku lebih menekankan sebagai dua pandangan yang saling menguatkan dan terhubung. Jadi, kesadaran Rendra mengenai alam ini merupakan kesadaran tinggi sebagai manusia.

Mengagumkan untuk saat ini jika manusia bisa sampai pada kesadaran semacam ini, walau sebetulnya itu adalah kewajaran dan keniscayaan manusia. Sebab, matahari adalah simbol Tuhan dan kesadaran matahari adalah kesadaran sebagai cahaya yang menyinari segala.
Share: