Di sini Ceritanya Wongsello


Senin, 24 Februari 2020

Tersentak dan Tersentuh

scrennshoot foto whatsapp 


Aku mendapat faktanya kalau orang Indonesia memang manusia optimis dan santai di dunia. Kemarin sekali (13 November), ketika aku dan kawan-kawan menghadiri undangan berjanjinan untuk selapan hari (35 hari *hitungan Jawa_red) anaknya temanku itu. 

Ia berprofesi sehari-hari sebagai ojol (ojek online), sehingga pekerjaan kesehariannya adalah mengaspal di jalanan. Sewaktu aku bertanya perihal waktu ngojeknya itu, aku kira ia dari pagi sekali berangkat menjemput rejeki, tapi aku tidak menemukan jawaban di sana. Anehnya ia mengatakan bahwa "aku malah tidak kerja sejak anakku lahir, mungkin jarang maksudnya. Lalu katanya, "rejeki sudah ada yang ngatur". Ia ngomong dengan begitu santai, yakin, dan optimis. 

Coba bayangkan dan cari di belahan dunia lain, mana ada manusia yang sebegitu optimisnya soal rejeki kalau tidak orang Indonesia?. Aku benar-benar semakin yakin dan optimis jika orang Indonesia memang orang yang kuat dengan tetap menjaga kewarasan dalam kehidupan. 

Sadar entah tidak, tapi kuyakin itu dalam kesadaran, aku menemukan sesuatu yang baru soal ini. Kau bisa bayangkan bagaimana mengurus keluarganya hanya dengan asumsi "Rejeki sudah ada yang ngatur" kau pikir siapa yang berani ngomong seperti itu dalam kehidupan nyata, bukan sandiwara teater, meski hidup ini memang sandiwara. 

Kita tidak bisa menghukuminya dengan prasyarat materi atau penilaian budaya, ini adalah keberanian dalam menjalani kehidupan. Dan siapa yang tahu jika temanku ini diam-diam bergerak dalam suatu pekerjaan yang lain, atau pun sebelumnya ia telah menyiapkan bekal dan tabungan untuk mengurus bayinya yang masih 35 hari waktu itu. 

Aku sejujurnya tersentak dan tersentuh hati mendengarnya, gila! ini aku benar-benar mendengarnya secara langsung. Walau ku lihat matanya harap-harap cemas, tapi kata-katanya murni dari hatinya, begitu yang kulihat. 

Namun, belakangan aku tidak heran manakala melihat kembali di kehidupan sebelumnya. Ia memang sudah melewati banyak hal, pengalaman, ilmu, dan keberanian menghadapi hidupnya. 

Sewaktu masih kuliah, ia sudah harus menjajakan dagangannya berupa donat dari warung ke warung, tidak bisa seperti teman-teman lain yang terjamin kuantitas finansialnya. Tidak perlu tahu berapa penghasilannya, ini sudah merupakan sikap pejuang sejati bagi anak muda. Ia pernah jualan kripik talas, pernah jadi pegawai cuci mobil, karyawan Brutus, jualan casing hp, mengurus orang tua, katakanlah seperti baby brother, dan sekarang ngojek. Bahkan, mungkin lebih banyak lagi, semua itu dijalaninya dengan hati lapang dan sabar. 

Mengeluh sesekali adalah kewajarannya seperti manusia pada umumnya, tapi nilai-nilai yang tetap dibawanya ialah perjuangan yang tanpa tahu menyerah. 

Ia pernah jadi takmir atau marbot selama sepuluh tahun, di Masjid Baitul Arqom, Sorowajan Baru, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Ia benar-benar orang hebat dan sabar, aku kagum dengannya. 

Terakhir aku dengar kabarnya ketika ia menikah di tahun 2018, sendirian pergi ke tempat akad dan resepsi tanpa dibarengi keluarga atau pun teman, sedang keluarganya dari Purworejo menuju Jogja, tepatnya di Ambarketawang, dan aku beserta teman-teman juga berangkat dari Sorowajan ke sana. Itu kesan pertama yang membuatku ingin menulis cerita ini. Kau pikir bagaimana perasaannya saat itu, apa kesepian, atau biasa saja? Aku tidak perlu menjawabnya, mata dan kata-katanya sudah menjawab semua itu. Namanya Nasrudin, kami biasa memanggilnya yi udin.

Sesungguhnya ia telah menjalankan alquran yang ada dalam dirinya wafi anfusikum. :)(:



Share:

Minggu, 23 Februari 2020

Aliran Kehidupan

sonnyzakaria.org



Ibarat sungai, yaitu alirannya. Dari hulu ke hilir akan ada banyak hal yang di dapat semisal sejarah, pengetahuan masalah, dan arah. Semuanya membentuk pengalaman yang akan sangat wajar terjadi jika dibarengi dengan kesadaran hidup.

Semakin panjang aliran sungai, makin banyak pengalaman dan tahu segala yang dilewatinya. Ini bagian dari perjalanan hidup yang akan sampai pada awalnya. Yang semula bergolak karena cetek, akan berimbang dengan laju aliran yang semakin dalam dan dalam.

Nantinya ia akan sanggup menuju hilir, jadi danau, bahkan ia sanggup menjadi samudera yang menampung segala sampah dan semua yang menuju kepadanya. Karena sampah, dan masalah akan hanyut menuju muara yang sanggup menelannya. Tidak mungkin sampah terjaring di hulu, itu adalah kebodohan. Karena perjalanan hidup akan terus melaju dan mengalir, tidak stagnan.

Sejarah, sebab yang pernah kita lewati adalah bagian dari jalan yang membentuk berlangsungnya kehidupan. Dengan kesadaran, dari semenjak menapaki mula akan tahu dan teringat sampai ke muara. Dan semua itu adalah pelajaran dari serangkaian perjalanan yang mengalir.

Pengetahuan masalah atau menguasai masalah, saat kita telah melalui jalan yang cetek dan beriak, tahap selanjutnya adalah ke dalam dan inti yang nantinya berujung ke muara. Manakala sudah melewati banyak aliran dan lika-liku secara sadar pandangan baru akan terdapatkan, efeknya ketika sampai di bengawan ia telah tenang dan otomatis jadi bijaksana.

Arah, bagi yang sadar dan berpikir dari mula akan tahu sebenarnya ke mana tujuan dari keberlangsungan kehidupan yang membentuk aliran ini. Secara teori air mengalir dari tempat tinggi menuju tempat rendah, tapi mengapa bukan sebaliknya?. Grafitasi yang menjawabnya, tapi bukankah awan sendiri merupakan proses dari evaporasi atau penguapan air yang ada di bawah menuju ke atas. 
Share:

Sabtu, 22 Februari 2020

Sistem Pemilihan Pemimpin

Antara



Menjadi pemimpin dapat ditegakkan dan dicari melalui banyak cara. Jika yang dipraktikkan Indonesia mungkin kita tidak benar-benar tahu kualitas dan daya kemampuannya dalam memimpin suatu daerah bahkan negara, tidak bisa ditebak manusia plus personalitas dan daya potensinya, namun bisa ditebak arah dan tujuannya,  intervensi melalui partai pengusung sekaligus ideologi politik, visi misi, latar belakang berdirinya sebuah pendukung bernama partai pengusung itu, semuanya tetap dalam kendali pemimpin partainya. Belum lagi tekanan dari dunia globalisasi menjadi kiblat semua negara untuk membawa bangsanya menuju kemajuan (katanya).

Mana ada negara sekarang yang tidak terlibat dalam konsep dunia kapitalis yang beroerientasi kepada penumpukan materi yang terus digembar-gemborkan media, setiap hari mereka bicara soal angka-angka yang pada kenyataanya ditelan sendiri. Nyatanya dunia modern itu menghancurkan segala yang pernah dicapai bangsa dalam peradaban sebelumnya. Jika jiwa bangsanya dapat dialihkan dari mula, kebudayaan yang menjadi batu bara akan terbakar habis menjadi asap lalu hilang. 

Kalau masyarakat mengetahui manusia yang berkualitas mutiara, sistem pemilihan yang biasa kita gunakan tidaklah berlaku sebagaimana biasanya. Tidak ada ide pun dapat meminjam klausul dari ranah agama atau pun generasi sebelumnya yang pernah menggunakannya, tinggal mau mencari atau tidak. Orang jawa semisal tidak diajari untuk menonjol-nonjolkan dirinya maju sebagai pemimpin, pekewuh, merasa tidak pantas adalah modal yang diberikan mbah-mbah orang jawa dahulu dalam membangun jiwa luhur nan adiluhung. Tetap ada yang ingin mengajukan diri menjadi pemimpin, tapi titik tolak mayoritasnya tidak seperti itu. 

Kita bisa pinjam ranah agama, misalnya dalam pemilihan imam sholat, ada parameter berupa kualitas dan potensi yang dimiliki tiap manusia untuk menjadi imam itu. Mungkin yang hafal alquran, bacaannya bagus, kedewasaannya, penguasaan ilmu dan pengetahuan. Titik tolaknya adalah ia yang mampu memimpin dan makmum melihat potensi itu, maka menjadi imam bukanlah atas keinginan sendiri, tetapi dibaiat atau dipilih langsung oleh makmumnya. 

Ada juga klausul Khulafaur Rasyidin di mana ke empat pemimpin itu, Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khotob, Usman bin Afwan, dan Ali bin Abi Thalib dengan pemilihannya yang berbeda-beda dapat menjadi rujukan dalam pemilihan pemimpin.

Atau memilih klausul Demak, dari Jawa sendiri yang mana waktu itu Raden Patah belum siap jadi raja, maka Sunan Ampel yang mengisi jabatan raja sementara selama empat bulan sebagai jembatan untuk mempersiapkan ke Raden Patah. 

Tapi bagaimana untuk tahu setiap calon pemimpin punya potensi itu, manusia sejatinya punya insting dan intuisi dari gerak hati dan informasi lanjutan entah literasi maupun wahyu dari Tuhan. Selain itu, masyarakat publik mestinya banyak mengerti mana yang sebenarnya pantas menjadi pemimpinnya, kalau output kata Tuhan "Yang tidak minta imbalan itulah orang-orang yang mendapat hidayah". Manusia juga punya kelengkapan potensi untuk memilih dan mengetahui dari tiap-tiap keadaan, bagaimana bersikap dan berlaku, semua itu bisa didapat melalui caranya masing-masing, tapi Tuhan memberi informasi literal maupun non-literal bagi yang Ia kehendaki. 

semua itu adalah usaha yang pernah dilakukan manusia, terserah memilih opsi yang mana atau malah menemukan solusi baru dari perkembangan masalah yang terus terjadi.

Share:

Jumat, 21 Februari 2020

Kehidupan Artifisial di Generasi Z

voaislam



Menurut Hellen Katherina dari Nielsen Indonesia, Generasi Z adalah generasi masa depan. Oke, mungkin aku agak tahu maksudnya ia mengatakan itu, sebab Generasi Z merupakan generasi yang sudah menikmati kemewahan internet, untuk itu masa depan rupanya jadi lahan buat mereka yang paham internet. Sederhananya, Gen Z itu manusia-manusia yang disiapkan tatanan dunia baru untuk kemajuan zaman. Begitu mungkin yang dibayangkan mereka. Meski banyak ragam perbedaannya dalam penentuan rentang waktu yang dinyatakan, tapi intinya mereka sepakat bahwa Generasi Z merupakan manusia-manusia yang lahir di zaman internet dan sudah menikmati keajaiban teknologi pasca-kelahiran internet, begitu kiranya.

Bagaimana tidak? Dalam kehidupan yang ditentukan ini kita semakin menambah file-file baru yang mengikis kemurnian dari diri kita.

Manusia lahir dengan kemurnian dan fitrah dari Tuhan, kemudian ada fase atau rentang waktu yang diberikannya untuk bertahan hidup dan menemukan kembali dirinya seperti keinginan Tuhan.

Nah, manusia baru ini dalam sejarah perkembangannya akan sangat diganggu oleh macam-macam hal yang dilewatinya, tidak terkecuali orang tuanya. Fase balita sampai katakanlah remaja orang tua berperan sangat penting dalam melakukan pengajarannya sebagai wakil Tuhan.
Benar tidaknya pandangan manusia baru ini ke depan bergantung besar dari orang tuanya, maka ketika ada suatu kesalahan yang terus menerus dilakukan oleh orangtua ini jadinya akan mempengaruhi kualitas hidup manusia di masa depan.

Lalu manakala si anak ini sudah mulai berkembang dan berkenalan dengan alam sekitar, peran orang tua sedikit tergantikan oleh guru, teman-temannya, dan tak luput orang-orang yang baru dikenalnya. Dalam posisi seperti itu keberhasilan atau kegagalan orang tua tatkala mendidik anak akan ketahuan. Jika pondasi yang dibangun kuat, maka pengaruh dari luar tidak akan berdampak kuat, tapi jika lemah ini akan merombak hingga mengalihkan ajaran dari orang tuanya dulu.

Proses berkenalan ini akan jadi sesuatu jika dapat dilakukan dengan benar. Manusia akan menemukan kesadaran baru dan terus dapat mempelajari apa pun yang dilewati. Namun, kalau ada hal negatif atau katakanlah sesuatu tidak tepat ini akan mengubah semua tatanan nilai yang dibangun si anak dari mula.

Hingga si anak sudah besar, menjadi manusia, hal-hal baru yang ditemuinya sangat beragam dan aneh-aneh. Ia dipaksa untuk berpikir bahwa yang ada di depannya inilah suatu kebenaran dan kesalahan. Kematangan belum dicapai, akhirnya ia bingung dengan apa yang dihadapinya.
Kebingungan tidak berakibat bagus, jika di terus-teruskan. Akan ada sesuatu yang mendekatinya, yang akan mempengaruhinya. 

Manakala ia diajari berlaga dan berkata-kata di atas panggung, saat itulah kemurnian manusia dipertaruhkan, atau tidak sama sekali!.

Apalagi jika dia dibuatkan platform khusus untuk membangun reputasi dan nama baik. Saat itu juga, kehidupan artifisial sudah di mulai dari sana. Tatkala ia terjun di media platform itu, otomatis keefektifan komunikasi terkikis, cara berpikir waras di rampas, cita-cita dihapuskan, ideologi di jungkirbalikkan, pandangan dikaburkan, hingga jiwa bangsa kita dicerabut dan puncaknya ia kehilangan Tuhan-nya. :)(:
Share:

Rabu, 12 Februari 2020

Hadiah di Tahun 25

wongsello.times


Nama-nama yang diajarkan Tuhan kepada Adam

Membuka ruang di tahun 25 ini mengantarkanku pada serangkaian pemahaman tentang nama-nama yang pernah Tuhan ajarkan kepada Adam. Tak pelak banyak muncul pemahaman-pemahaman atau tafsir-tafsir untuk mencari makna ayat tersebut. Aku sendiri percaya bila nama-nama yang diajarkan Tuhan kepada Adam itu merupakan sesuatu yang sifatnya cakrawala. Artinya hal-hal seperti fenomena alam, kosmos semesta, suatu yang tidak sesederhana hanya soal benda, layaknya terjemahan atau lebih tepatnya penafsiran dalam alquran kemenag itu.

Nama-nama ini aku rasa begitu banyaknya sehingga malaikat sendiri pun tidak mengetahui tentangnya. Oleh karena itu, Tuhan menantang mereka untuk menyebutkan nama-nama yang diajarkan kepada Adam jika mereka pada pihak yang benar. Satu hal yang bisa diterangkan, Tuhan dengan segala sifatnya yang luar biasa kayaknya tidak mungkin jika Adam hanya diberi tahu perihal benda-benda yang sebenarnya manusia bisa menamainya sendiri. Lantas, dengan paham demikian bagaimana manusia masa depan akan mengetahui dan memahami setelah Adam?

Tuhan sendiri yang bilang jika wahyu akan terus turun di dunia, bahkan lebah saja mendapat wahyu masak manusia tidak,  ada juga yang bilang jika per detik kehidupan ini beribu-ribu ilmu ditebar Tuhan di dunia, dan berkali-kali kita pergoki sabda-Nya dalam Alquran "Afala ta'qilun, afala tatafakkarun". Bagiku, itu sendiri merupakan kunci-kunci yang diberikan kepada manusia oleh-Nya, untuk selalu mencari, memahami, dan mengerti luasnya wahyu Tuhan itu. Mungkin wajar timbul pertanyaan, sebenarnya apa saja nama-nama itu? Tidak ada jawaban soal itu, tapi barangkali kasusnya sama seperti apa itu alif, lam, mim dll. Sejauh ini masih simpang siur atas tafsiran terkait; ada yang mengatakan itu Allah, Jibril, dan Muhammad, ada juga yang mengatakan untuk memulai suatu ayat, dalam artian permulaannya, lebih jahat lagi jika diartikan pemanasan dalam taqroul quran. Tidak ada jawaban, aku sendiri juga punya pandangan jika huruf-huruf tersebut adalah sumpahnya Alquran sendiri, entah. Tidak ada jawaban, itu hanya cara untuk menjelaskan sesuatu.

Nama-nama itu secara informatif belum terjelaskan secara spesifik, rasanya sama seperti kiamat, tidak ada yang tahu. Apa nama-nama itu juga informasi untuk sampai hari kiamat? Tuhan yang bisa menjawab.

Tetapi, jika manusia tidak benar-benar mentadaburinya ini berbahaya dalam hal pemahaman dan menjaga nilai kesucian alquran. Akhirnya jadilah tafsiran tadi, nama-nama itu dipahami sebagai benda. Tapi mengapa pemahaman ini terjadi? Dan apakah tafsiran itu sendiri sebenarnya malah mencemari kesucian Alquran?


Nama Lebih Identik Dengan Benda

Ketidaktahuan ini nyatanya berdampak buruk dalam pemahaman. Apa ini terinspirasi teori barat? yang artinya materialisme. Sayangnya, ketika informasi perihal nama-nama tersebut tiba pada manusia malah menemukan tafsiran yang secara perasaan dan logika tidak masuk akal. Tidak ada yang tahu persis makna Alquran, bahkan sampai sejauh ini hanya tafsir-tafsir, apalagi aku. Tapi, manusia bisa mentadaburinya, tidak ada yang menyalahkan perihal tafsir, toh pemahaman sendiri bisa bertambah dan malah bertolak belakang dari yang sebelumnya. Namun, ada yang namanya rasa dan intuisi dalam menentukan putusan. Dan sekali lagi, apakah benar bila Tuhan mengajari Adam hanya sebatas nama-nama benda? Dengan segala ke-Maha-an-Nya itu. Rasanya Itu mustahil.

Kecemasan ini berlanjut kesimpulan, bahwa kebanyakan "nama-nama" yang sampai pada manusia itu menjadi benda, seolah-olah semua dibendakan, banyak contohnya. Misal orang dikatakan Islam, jika terlihat dari caranya ritual maupun tanda yang tertera di KTP, hal itu sendiri otomatis menjadi pemahaman umum, perihal ritual ini semudah disimbolkan dengan ajaran tertentu itu pun dianggap benda, karena tidak bisa bergerak dan bernilai, sepele dan simpel sekali. Bahkan namanya berkembang menjadi islam liberal, islam radikal, islam moderat, apa sesungguhnya nama-nama itu? Justru nama-nama itu memberi sentimen-sentimen terhadap islam sendiri. Islam ya islam, tidak ada embel-embel, kalaupun ada ya "Rahmatan Lil Alamin".

Tapi pemahaman manusia sekarang baru sampai jika ia sholat, berhijab, dan melakukan ritus-ritus agama terkait otomatis dianggap islam. Itu paham materialis. Padahal islam menawarkan jalan keselamatan, namanya keselamatan ketika ia bergerak dan dinamis atas semua zaman-zaman, kumpulan nilai-nilai yang mampu menjawab problem-problem sosial dan keagamaan. Islam mengurus semua hal  mulai dari software, nilai-nilai, mengurus orang bersosial, beragama, orang mati, ekologi, sampai mengurus negara dalam arti sosial kemasyarakatan hingga menghubungkan manusia dengan Tuhan. Itu nilai-nilai luhur yang tidak bisa dipahami hanya sebatas kebendaan.

Aku jadi teringat ajaran HMI MPO dulu ketika pernah aktif. Mereka mengatakan jika semua hal dapat dimaterikan, waktu itu aku bertanya apa materi dari cinta? Jawabannya adalah mobil buat kekasih yang memungkinkannya suka, itu dianggap materi cinta. Oh. Aku agak menyesal kenapa dulu tidak bertanya apa materi dari Tuhan?

Belakangan, baru saja aku menemukan sesuatu, bukan jawaban ya. Benar, Tuhan sendiri bisa dimaterikan. Ambil sampel cahaya, karena pemahaman manusia yang paling dekat dengan Tuhan baru itu. Kita sebagai makhluk atau ciptaan adalah murni dari Tuhan, ada penjelasan di Alquran yang mengatakan jika manusia diciptakan dari tanah lalu Tuhan menciprati ruh-Nya ke dalam tanah itu lalu hiduplah manusia. Kita juga ingat teori di mana 'Big Bang' mengatakan adanya suatu ledakan dahsyat kemudian berputar-putar, menjadi kumparan-kumparan, membentuk gas, nebula, akhirnya terciptalah jagat raya.

Dari mana ledakan itu, ada yang mengatakan bermula dari cahaya. Jika benar Tuhan berasal dari cahaya, maka semua makhluk atau ciptaan-Nya ini pastilah mengandung cahaya. Jadi berangkat dari sana bukankah manusia dan alam semesta ini juga merupakan bagian dari cahaya?.

Selanjutnya apakah terjawab pertanyaan Tuhan itu dapat dimaterikan? Tenang dulu, aku katakan itu bukanlah jawaban, hanya cara untuk menjelaskan sesuatu.

Apa Tuhan tersinggung dengan pemahamanku, aku rasa tidak, Dia sendiri yang menciptakan akal dan rasa ini dengan kemampuan sebebas-bebasnya (pinjam istilah Ahmad Wahib). Suatu hal wajar bagi anak muda memikirkan jagat ufuk-ufuk cakrawala ini.

Sederhananya, ketika cakrawala dipersempit menjadi nama-nama benda, ia akan mandek dan statis. Artinya manusia kini salah sangka dengan nama-nama atau istilah-istilah yang sering digunakan itu. Dan doktrin itu berhasil, sebab jika kita mengingat suatu nama-nama, otomatis bayangan kita pertama kali adalah benda-benda atau simbol itu,  karena kita dikenalkan oleh nama-nama melalui simbol-simbol itu. Mereka menciptakan nama-nama itu, kita menciptakan nama-nama itu, nama-nama itu hanyalah ciptaan manusia saja.

Pertanyaannya, bagaimana jika nama-nama itu adalah "Asmaul Husna"? Nama-nama Tuhan sekalian sifat-sifat-Nya. Itu Tuhan sendiri yang memberi tahu, bukan buatan manusia jadi..

Mudah saja, dijawab pertanyaan saja,  sampai mana pemahamanmu tentang Tuhan? Dialah segala-galanya. Sejujurnya nama-nama "Asmaul Husna" itu sendiri merupakan cakrawala-cakrawala yang mesti di selami jauh ke dalam. Dan lagi, Tuhan kholik, manusia makhluk, jelas sekali perbedaannya. 


Cahaya Maha Cahaya

Cahaya adalah Muhammad, Maha Cahaya adalah Alloh, turun ke bawah meledak dan membentuk kehidupan.

Perihal cahaya aku singgung di awal tadi, Alquran mengatakan "Nuurun Ala Nuur" cahaya di atas cahaya / Cahaya Maha Cahaya. Jika yang pertama, maka Allah dulu baru Muhammad, kedua Muhammad dulu baru Allah. Terserah, aku tidak membenturkan keduanya ini, intinya ada cahaya dan supra-cahaya.

Ada dua cahaya besar, pertama cahaya Allah, kedua cahaya / Nur Muhammad. 


Kun Fayakun, Islam, dan Kehidupan

Mbah Nun pernah mengatakan, Kun Fayakun maka mulai berlangsunglah islam. Aku jadi teringat pitutur mas Iman yang menanggapi pernyataan mbah Nun ketika launching majalah sabana di Rumah EAN, Kadipiro, Jalan Wates. Di sana Mbah Nun mengatakan jika kita harus mencari ayat-ayat Tuhan yang tidak tertulis. Walau tidak satu waktu yang sama mas Iman mengatakan, bisa saja hal itu selip jika dipraktekkan secara sembarangan di kehidupan sosial. Jelas, maksudnya apakah orang-orang akan siap akan hal tersebut bila tidak mempunyai standar pemahaman yang sama. Apalagi waktu itu dipertegas oleh Brotoseno, sadar ia mengatakan dengan gaya khas misah-misuhnya bahwa ini lho yang dimaksud mas'e (mbah Nun) akan ayat yang tidak terlihat itu (menunjuk diri atas perkataannya). Tidak ada yang menyela dan membantah omongannya, aku sendiri pun setuju, memang perkataannya ada benarnya kok, bisa dicek sendiri, aku lupa. Oke.

Pemahaman lanjut pernah aku uji dan timbang-timbang apakah tidak apa-apa dengan aku mempunyai pandangan sendiri. Bahwa "Kun Fayakun" kalau menurutku artinya adalah apa yang aku inginkan, itulah yang akan terjadi. Subjek "Aku" jelas maksudnya adalah Tuhan Allah. Perihal yang terjadi adalah islam yang berlangsung, masuk ke pemahaman mbah Nun, maka sesungguhnya yang berlangsung itulah namanya kehidupan. Islam itulah kehidupan, pun sebaliknya. Jalur keselamatan artinya kehidupan, selamat ya hidup namanya. Sederhananya, berlangsunglah islam sama dengan berlangsunglah kehidupan, meliputi sistem nilai semesta, metabolisme alam, rotasi, revolusi planet-planet di jalurnya masing-masing sehingga tidak terjadi benturan planet-planet angkasa dan sebagainya.

Hidup tok, orang bisa mengartikan itu suatu hal, tapi kehidupan bermakna mencakup banyak hal. Terjadinya interaksi, dialektika, dinamika dalam lingkup ruang besar, entah ekosistem atau bioma, bahkan semesta alam. Melalui ajaran islam yang menyelamatkan, kehidupan lebih terbangun sempurna jika pemahaman tentangnya dapat presisi dan pas. Keberlangsungan kehidupan dapat bermakna luas, tapi borok dan rasa sakit selalu ada di setiap zaman. Yang terasing akan kembali menjadi asing, bahagialah mereka yang terasing. :)(:
Share:

Senin, 03 Februari 2020

Sinau bareng mas Iman Budhi Santosa #5




#Silaturahmi-Reportase bersama mas Iman Budhi Santosa


"Menulis itu shodaqoh, bukan untuk mencari uang" 

begitu quote berbobot ala mas Iman. 

And then, apakah penulis harus mengubah cara pandangnya, atau pada pendirian mulanya, bagaimana mereka memenuhi kehidupan dan penghidupannya? 

Bahkan mas Iman menambahkan, "Nek pengen duet yo maling wae." 

Selain dari beliau ada juga yang mengatakan hal serupa, mbah Nun pernah mengatakan jika kalau mau kaya sebetulnya dagang pun kurang efektif, kalau pingin kaya ya "Nyolong," Sama dengan pandangan mas Iman yang notabene mereka alumni sastra Malioboro era 60-70-an PSK (Persada Studi Klub). 

Ini tidaklah krusial bagi kehidupan, aku rasa jawabannya itu bergantung penulis sendiri, bukankah pernyataan mas Iman itu merupakan sesuatu yang delux, mengingat kita juga sedikit memerlukan materi di zaman materialisme semakin membumbung tinggi. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain atas pernyataan yang bahkan sama sekali berbeda, mungkin begitu mereka menjalani kehidupannya. Boleh jadi, dengan lewat jalan itu mereka bisa memenuhi pengalamannya.

Setiap orang mungkin punya ideologi dan prinsip masing-masing, tapi mungkin hanya sedikit orang yang benar-benar paham, mengerti dan tegak dalam pendiriannya. Menulis untuk uang bagiku bukan masalah, tidak ada larangan di sana, bahkan tidak hina kok, barangkali memang hanya itu yang bisa dilakukan, jauh lebih baik ketimbang tidak bekerja. 

Lebih lanjut, mas Iman pernah mengatakan tidak masalah, yang penting kita punya kesadaran bahwa seharusnya bukan seperti itu. Itu cukup mewakili, dengan pembuktian mas Iman sendiri juga seorang penulis penuh setahuku. 

Aku jadi teringat seorang teman yang agak ragu antara menerbitkan karyanya atau tidak mengingat ia pernah mendapat informasi di awal tadi, atau yang mirip-mirip, bahkan berbeda lagi, terserah, itu pilihan. Tetapi, yang ingin aku katakan adalah pahami betul apa itu sebuah keputusan sehingga tidak akan menyesal kemudian. Dengan begitu informasi yang datang dari luar tidak bisa mempengaruhi kita. 

*Data dari mas Iman yang dikembangkan penulis

Bakda Maghrib, Senin, 3 Februari 2020
Di kontrakan PP. TG, Nologaten, Yogyakarta.
Share:

Sabtu, 01 Februari 2020

Sinau Bareng mas Iman Budhi Santosa #4




#Silaturahmi-Reportase bersama mas Iman Budhi Santosa



Podo, Jowo karo Bugis.. Kata mas Iman ketika membahas soal peribahasa. Di situ terlihat adanya interkoneksi atas paham yang dikembangkan masyarakat Jawa dan Bugis. 


Keterikatan peribahasa Jawa dan Bugis bisa menandakan adanya pertalian cara berpikir dan kondisi sosial, bisa juga dalam satu keturunan ajaran moyang. 


*Data dari mas Iman yang dikembangkan penulis



Bakda Maghrib, Sabtu, 1 Februari 2020
Di kontrakan PP. TG, Nologaten, Yogyakarta.
Share: