Di sini Ceritanya Wongsello


Sabtu, 22 Februari 2020

Sistem Pemilihan Pemimpin

Antara



Menjadi pemimpin dapat ditegakkan dan dicari melalui banyak cara. Jika yang dipraktikkan Indonesia mungkin kita tidak benar-benar tahu kualitas dan daya kemampuannya dalam memimpin suatu daerah bahkan negara, tidak bisa ditebak manusia plus personalitas dan daya potensinya, namun bisa ditebak arah dan tujuannya,  intervensi melalui partai pengusung sekaligus ideologi politik, visi misi, latar belakang berdirinya sebuah pendukung bernama partai pengusung itu, semuanya tetap dalam kendali pemimpin partainya. Belum lagi tekanan dari dunia globalisasi menjadi kiblat semua negara untuk membawa bangsanya menuju kemajuan (katanya).

Mana ada negara sekarang yang tidak terlibat dalam konsep dunia kapitalis yang beroerientasi kepada penumpukan materi yang terus digembar-gemborkan media, setiap hari mereka bicara soal angka-angka yang pada kenyataanya ditelan sendiri. Nyatanya dunia modern itu menghancurkan segala yang pernah dicapai bangsa dalam peradaban sebelumnya. Jika jiwa bangsanya dapat dialihkan dari mula, kebudayaan yang menjadi batu bara akan terbakar habis menjadi asap lalu hilang. 

Kalau masyarakat mengetahui manusia yang berkualitas mutiara, sistem pemilihan yang biasa kita gunakan tidaklah berlaku sebagaimana biasanya. Tidak ada ide pun dapat meminjam klausul dari ranah agama atau pun generasi sebelumnya yang pernah menggunakannya, tinggal mau mencari atau tidak. Orang jawa semisal tidak diajari untuk menonjol-nonjolkan dirinya maju sebagai pemimpin, pekewuh, merasa tidak pantas adalah modal yang diberikan mbah-mbah orang jawa dahulu dalam membangun jiwa luhur nan adiluhung. Tetap ada yang ingin mengajukan diri menjadi pemimpin, tapi titik tolak mayoritasnya tidak seperti itu. 

Kita bisa pinjam ranah agama, misalnya dalam pemilihan imam sholat, ada parameter berupa kualitas dan potensi yang dimiliki tiap manusia untuk menjadi imam itu. Mungkin yang hafal alquran, bacaannya bagus, kedewasaannya, penguasaan ilmu dan pengetahuan. Titik tolaknya adalah ia yang mampu memimpin dan makmum melihat potensi itu, maka menjadi imam bukanlah atas keinginan sendiri, tetapi dibaiat atau dipilih langsung oleh makmumnya. 

Ada juga klausul Khulafaur Rasyidin di mana ke empat pemimpin itu, Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khotob, Usman bin Afwan, dan Ali bin Abi Thalib dengan pemilihannya yang berbeda-beda dapat menjadi rujukan dalam pemilihan pemimpin.

Atau memilih klausul Demak, dari Jawa sendiri yang mana waktu itu Raden Patah belum siap jadi raja, maka Sunan Ampel yang mengisi jabatan raja sementara selama empat bulan sebagai jembatan untuk mempersiapkan ke Raden Patah. 

Tapi bagaimana untuk tahu setiap calon pemimpin punya potensi itu, manusia sejatinya punya insting dan intuisi dari gerak hati dan informasi lanjutan entah literasi maupun wahyu dari Tuhan. Selain itu, masyarakat publik mestinya banyak mengerti mana yang sebenarnya pantas menjadi pemimpinnya, kalau output kata Tuhan "Yang tidak minta imbalan itulah orang-orang yang mendapat hidayah". Manusia juga punya kelengkapan potensi untuk memilih dan mengetahui dari tiap-tiap keadaan, bagaimana bersikap dan berlaku, semua itu bisa didapat melalui caranya masing-masing, tapi Tuhan memberi informasi literal maupun non-literal bagi yang Ia kehendaki. 

semua itu adalah usaha yang pernah dilakukan manusia, terserah memilih opsi yang mana atau malah menemukan solusi baru dari perkembangan masalah yang terus terjadi.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar