Kamis, 31 Desember 2020
Prioritas, Skala Prioritas, dan Stimulus Pergerakan
Kemurnian Melenyapkan Ketakutan
Ada orang yang berani terjun dari ketinggian, sendirian
menantang sekelompok orang, mengkritik keras penguasa, meludahi presiden, hidup
gelandangan dengan sengaja, memilih jalan sunyi, dll, semua tadi dianggap
sebagai keberanian. Kira-kira begitulah pemahaman kita selama ini, kita tidak
melihat lain sisi apa sebab sejatinya seseorang berani melakukan sesuatu. Kemampuan
kita hanya bisa melihat sesuatu tampak dari luar, jika kita bicara soal
manusia, analisa gampangnya adalah apa-apa yang dikatakan pengetahuan biologi
sewaktu sekolah, wadak, materi, badan, tubuh, tulang, daging, aliran darah,
air, otot, syaraf, dll. Jika urusannya sudah nyawa, tentu kita tidak bisa
menjawabnya, paling mudah soal itu diserahkan kepada Tuhan. Lalu ada lagi
namanya roh, sukma, jiwa yang kita semakin kebingungan dan kalap menghadapi
situsasi semacam itu, yang dengan mudahnya juga hal-hal tersebut diarahkan ke
ranah supranatural, klenik, dukun, dsb.
Sederhana
saja, yang ingin dikatakan adalah apa sesungguhnya yang ada di dalam semua itu?
Jika manusia hanya kumpulan tulang dan daging tetap saja ia tak bisa bergerak,
ada sesuatu mekanisme yang sifatnya halus dan enerjik sekali dari dalam dengan
begitu akan ada suatu dialektika pergerakan yang ditimbulkan dan terlihat dari
luar. Kita pikir mengapa manusia berani melakukan sesuatu yang luar biasa dahsyat
dan menerjang segala halangan hingga dapat berakibat mengancam harkat,
martabat, bahkan nyawanya.
Kemurnian,
Alamiah, Kesucian. Sifat-sifat itulah yang mau tidak mau menjadi jiwa, sukma,
roh, nyawa bagi wadak yang dikendarainya.
Tiada tembok untuk tak dijebol, tak ada langit untuk tak dicakrawalai, tidak
ada timur maupun barat, ialah kekuatan sejati yang diberikan dari Yang Maha
Agung.
Yang begitu itu memang jalannya, sederhananya kekuatan itu tadi yang menjadi inti, sudah tidak ada lagi konsep mengenai ketakutan. Karena jika tidak dilakukan dirinya pasti akan tersiksa lebih pedih daripada mati itu sendiri. Bukan karena iming-iming atau embel-embel, sebab ia murni, sebab alami, dan sebab sucilah ia menjadi harus mengalir kesegala penjuru, bahkan menghempaskan batu yang menghadang. Ia bisa menghidupkan, dan menyembuhkan, tapi juga bisa menenggelamkan dan menghancurkan.
Ada cerita dari Aristides Katoppo, wartawan senior teman akrabnya Soe Hok Gie, ketika ditanya mengapa kawannya Gie begitu berani mengkritik rezim Orla dan Orba dulunya. Jawabannya menarik, menurut Aristides itu bukanlah suatu keberanian, tapi Dia (Gie) hanya menyampaikan kebenaran dari nuraninya, bagaimapun tetap ia lakukan, itu saja. Dan juga sebagai gerak hati, kewajiban moral, dan panggilan sebagai seorang pemikir “menurut Gie, dari catatan hariannya".
Selasa, 29 Desember 2020
Rogo Kudu di-Ragati, Nek Ora Dadi Ragangan
Minggu, 27 Desember 2020
Nilai Pahala
Kamis, 24 Desember 2020
Kesadaran
Setiap dari kita kebanyakan hidup dengan tanpa kesadaran atau kurangnya kesadaran terhadap kejadian di mana pun. Faktanya kita memang tidak benar-benar tahu apa yang telah terjadi dalam kehidupan ini, alasannya karena kita tak acuh terhadap konstelasi lingkungan atmosfer iklim dewasa ini.
Kita kuliah, tapi tidak benar-benar tahu apa-apa yang sudah diajarkan maupun dipaparkan oleh dosen semisal dan banyak lagi lainnya. Kita berjalan ke sana kemari namun, tak sungguh-sungguh momen serta kejadian apa yang telah berlangsung selama itu. Sederhananya, kita memang belum hidup dengan semestinya dan oleh karena itu kita tiada mengetahui bahwa hidup ini seperti apa dan yang sejati itu bagaimana!. Dampaknya? Semua orang jadi pandir dan gampang di bodohi oleh mereka yang sadar akan keadaan seperti ini.
Setiap saat kita tidak diajari bagaimana cara berkreasi yang tepat sehingga hasilnya kita dianggap tidak inovatif dan kreatif. Mereka menuduh seperti itu apa hanya sebenarnya menutupi kelemahan mereka tuan-tuan elit karena tidak bisa menyediakan lahan atau wadah yang dapat menampung aspirasi serta daya kreatif orang-orang, pemuda, anak-anak apalagi.
8 November 2017
Katanya Silaturahmi Menambah Umur
Budaya baik yang kian menjelma menjadi bagian dari kehidupan memang seharusnya tetap dilestarikan. Budaya itu bisa apa saja, misalnya silaturahmi dalam bahasa Indonesia asalnya dari bahasa arab yakni silaturahim. Dulu ada yang mempermasalahkan persoalan itu, tapi tak lama selesai. Lucu juga ada yang begitu selo mengurusi hal begituan padahal itu cuma translate dari bahasa arab.
Ada yang mengatakan silaturahmi dapat menambah umur dan kebaikan lain-lain. Itu sudah menjadi pengetahuan umum dan masif, pertanyaannya "kenapa kok dapat menambah umur?". Pernahkah kita mencari tahu penyebabnya, bagaimana menurutmu?.
Jika keadaan kita memungkinkan untuk akses ke mana-mana ditambah dengan kerinduan bertemu seorang, maka tiada yang dapat menghalangi jalan untuk melakukannya kecuali kematian. Yakni silaturahmi. Dalam kejauhan, kita sangat kepikiran tentang keluarga, kerabat, guru, teman, dan ataupun siapa yang menjadikan sangat ingin bertemu. Rindu.
Dalam keadaan yang demikian itu akan terasa menyiksa batin jika pretensi kita itu tidak terwujud. Maka, untuk mengobati rasa gundah gelisah ya harus bertemu, silaturahmi. Nah, dengan silaturahmi itulah iklim perasaan yang tadinya gelisah berubah jadi tenang dan bahkan bahagia.
Mungkin karena ketika kita bertemu saat silaturahmi, maka akan menciptakan atmosfer kebahagiaan yang dikarenakan lama tidak bertemu hingga akhirnya tahu kalau keluarga / temannya baik-baik saja. Kemudian, yang demikian lah tidak membuat kita kepikiran tentang kabar mereka yang tidak tahu karena telah bertemu makanya kita jadi tenang dan tidak berpikir aneh-aneh.
Terkait bertambahnya umur, menurut saya bukan begitu juga memaknainya. Karena umur itu urusan Tuhan dan lagi semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Jadi kembali tadi, bahwa karena perasaan kita gembira, maka dengan sendirinya akan menciptakan batin yang tenang karena penasarannya telah terobati sehingga tidak lagi gelisah kepikiran tentang keluarganya itu. Dengan keadaan seperti itu, tentu akan mempunyai efek yang baik pada kesehatan badannya. Barangkali begitu menurut saya.
16 Oktober 2017
Hujan, Geming, dan Puisi
Baru-baru saja tadi aku mengetahui kalau ternyata ketika hujan turun kita lebih sering diam atau lebih memilih untuk dituliskan ketimbang di omongkan. Ini karena kondisi psikologis kita memang sedang mengalami proses penerjemahan suatu momen dan menghasilkan wacana, barangkali begitu.
26 April 2017
.
.
.
#Kalau Menurut riset, Ada pengaruh redup terangnya cahaya, jika mendung atau sinar matahari rendah meningkatkan produksi hormon melatonin yang dapat meningkatkan kantuk dan rasa malas, dan sebaliknya. Lalu aroma Hujan yang dihasilkan dari beberapa tumbuhan yang mengeluarkan minyak kemudian larut terbawa air ke dalam tanah dan bercampur dengan senyawa kimia Geosemin yang dihasilkan dari bakteri dalam tanah. Dan hasil percampuran tadi menghasilkan aroma "Musky". Selain itu, ritmis hujan yang dinamakan Pink Noise , merupakan kebisingan di rentang frekuensi pendengaran manusia yakni antara 20 sampai 20.000 hz. Dan lagi, Pink Noise ini dapat meningkatkan kualitas tidur manusia, sebab mengurangi tingkat aktivitas di dalam otak manusia. Sederhananya meningkatkan kenyamanan bagi tubuh.
Sedulur Kita, Bumi Pertiwi
Apakah anda termasuk seorang yang memperingati hari bumi? Jika benar, maka bersyukurlah karena masih ada yang perduli dengan nasib bumi kita.
Dengan tanpa diingatkan melalui suatu hari dalam tanggal pun harusnya sih selalu ingat. Memperingati hari bumi, Memangnya Bumi pernah ngapain? Entahlah, ini agak lucu kedengarannya. Secara internasional hari bumi diperingati pada tanggal 22 April kalau PBB dulu 20 Maret. Perbedaannya disebabkan dari sejarahnya, begitu yang diceritakan. Dikatakan dengan adanya hari bumi ini, tersemat harapan bagi manusia untuk selalu menjaga dan melestarikan bumi kita yang kini sangat menderita sekali. Tanggal di atas itu hanyalah formalitas belaka dan kalau kita berbicara lebih intens, benarkah hanya dengan satu hari kita dapat menjaga bumi ini dengan baik dan maksimal? Itu sangat mustahil. Nyatanya bunyinya hanya "Memper-Ingat-i", jadi hanya mengingat saja atau meng-iling-iling begitu kiranya jika ditransfer ke bahasa jawa. Adakah program yang lebih riil dari formalitas itu? Ya itu bergantung manusianya.
Jauh sebelum adanya modernisasi dan globalisasi yang dewasa ini menghegemoni bumi. Manusia-manusia terdahulu pun sudah mengamalkan tentang bagaimana menjaga bumi tetap lestari dan asri, lebih baik ketimbang cuma memperingati tog!. Manusia Jawa apalagi, mereka seakan banyak tahu mengenai hidup dan menghidupi, tidak hanya keluarga tetapi juga segala yang ada di sisinya, sekelilingnya, sekitarnya sehingga alam pun bersahabat dengannya. Kalau pinjam bahasanya mas Iman Budhi Santosa yakni tumbuhan/alam ini sebagai sedulur sinarawedi.
Semakin majunya zaman, bumi kita ini kian makin terasa panas. Pun orang-orang abad 21 kini tidak cukup bodoh untuk tahu apa penyebabnya. Ada banyak slogan-slogan persuasif untuk menggelorakan semangat menjaga bumi dari ancaman bahaya kerusakan, kehancuran, tapi kelihatannya belum bisa menyeluruh. Keadaan Bumi ini adalah wajah kita semua, jika bumi sehat, berarti akal kita masih sehat. Namun, kalau semakin rusak maka bobroklah akal moral kita semua. Bagaimana tidak, alam ini sudah menyediakan segalanya. Nerima ing pandum, pasrah dan selalu memberi kontribusi besar bagi manusia untuk banyak keperluan. Selalu kalah dan dikalahkan manusia, diakali dan ditipu, tapi alam/bumi tidak pernah protes. Tumbuhan di rawat, diberi pupuk, disiram dan disempret hingga bebas pestisida, tapi ujung-ujungnya kan tetap diganyang menungsone. Toh demikian alam pun tidak marah dan mengizinkan, masih mending mau merawat alam, lha kalau maunya cuma mengambil secara frontal dan mengeksploitasi besar-besaran apakah ini bukan semacam pemerkosaan yang kejam!?. Ya, sesekali bumi/alam ngambek itu sangat wajar, bencana alam misalnya. Itu bentuk protes yang biasa dilakukan alam/bumi terhadap manusia. Padahal itu juga merupakan hukum alam itu sendiri, bergerak.
Yang masih baru saja terjadi kemarin, di Nganjuk. Bencana longsor yang menenggelamkan banyak rumah dan menelan korban jiwa. Itu adalah contoh bagi kita semua!. Itu adalah pesan dan peringatan dari alam/bumi terhadap manusia bahwa kita ini jangan sok karena embel-embel Khalifah. Mentang-mentang merasa Khalifah di Bumi dengan seenaknya dan semena-mena melahap habis alam bumi secara liar. Seakan-akan alam pun berbicara demikian kepada manusia.
Alam/bumi ini adalah sedulur sinarawedi. Sedulur tua. Rawatlah, maka ia akan mengasihimu.
23 April 2017
Tak Sesederhana Itu
Banyak Asumsi selalu beredar disekeliling kita. Entah bagaimana caranya hingga tanpa disadari kita telah termakan, terdoktrin anggapan yang berotasi dalam kehidupan ini.
Mulanya hanya beberapa bahkan satu orang yang berasumsi, tapi selebihnya yang lain cuma ikut-ikutan saja tanpa terlebih dahulu untuk mengoreksi dan memfilter. Akhirnya bangsa pembebek dan barangkali inilah akibat asumsi orang yang terlalu menyepelekan hidup, ah bukan begitu bahasanya, tapi terlalu menyederhanakan hidup yang sebetulnya tidak sesederhana itu. Sebenarnya sederhana itu bagus namun, maqomnya hanya sebagai 'sikap' saja. Anggapan yang sederhana namun, jika terus berlanjut lama-lama orang akan makin terlena dan benar-benar menyepelekan hakikat hidup itu sendiri.
Hidup itu harus berjuang dan diperjuangkan
Sementara sederhana itu hanya berposisi sebagai sikapnya saja
Sejauh yang saya pahami dewasa ini, melihat mahasiswa semakin ke sini semakin parah saja sifatnya. Hanya karena hujan sedetik batal untuk masuk kuliah. Lihat kan sesederhana itu kita menyikapi persoalan. Padahal apa yang ada di dalam kampus itu tidak sesederhana yang kita anggap sederhana sebetulnya. Itu yang beralibi karena masalah hujan, yang lebih mengherankan lagi bila tidak masuk karena ogah-ogahan, ini lebih kronis sekaligus ironis sekali bukan. Di Kuliah kita banyak dapat hal kalau mau mencoba memahaminya, penambahan materi oleh dosen itu hanya bagian kecil dari makro kosmos keilmuan. Selain itu, tak terhitung kuotanya jika melihat dari sudut pandang kedewasaan secara lebih makro. Pertemuan mahasiswa dengan dosen itu bukan pertemuan yang apa adanya saja, malah lebih ke pertemuan sakral. Yang mempertemukan hubungan antara manusia dengan manusia, memperbaiki tali silaturahmi, pertemuan manusia yang memberi dan diberi. Saling berbagi dan belajar bersama, ini luar biasa.
7 Desember 2016
Generasi yang Kecewa
Dalam konstelasi untuk suatu perubahan ternyata niat dan ajakan yang cukup belum mampu menggaet kolega-kolega sekiranya ikut join dan bersama-sama belajar atau sinau bareng. Saya sudah merasakannya, dan mungkin itu juga yang dirasakan orang-orang yang selalu sendirian karena teman-teman mereka kurang berniat untuk perubahan itu. Hasilnya, orang-orang yang ingin suatu perubahan pun jadi kecewa dan cenderung menyendiri. Mungkin inilah yang disebut jalan sunyi.
Para pejuang-pejuang kita dahulu dalam aksinya yang revolusioner telah menelurkan banyak gagasan besar. Namun, sayangnya teman atau pun orang-orang terdahulu mungkin ada yang kurang setuju, jadinya jalan sunyi adalah solusi untuk diri sendiri. Saya kira ini belum selesai. Jalan sunyi dengan cara terus melakukan kontrol sosial. Tadi malam, ada bisikan apakah harus menempuh jalan sunyi itu? Lalu ada jawaban, kau masih terlalu muda untuk itu. Lakukan dulu yang terbaik buat orang lain dan bangsamu!.
7 November 2017
Embun #14
#Bisa makan berarti masih ada Tuhan
Pernahkah kita berpikir kalau segala yang kita makan adalah murni pemberian uang dari bos atau siapapun?. Pernahkah kita melibatkan Tuhan dalam hal materi?
Jika kita menarik dari kesepakatan umum soal itu, maka akan ditemui poros utama yang bermuara ke suatu tema besar yang disimbolkan yakni dengan Tuhan.
Karena prakteknya kita lebih banyak melupakan Tuhan jika sudah menikmati dunia. Minimal makan. Apa ketika makan kita teringat kepada-Nya? sepertinya tidak kan, mungkin di awal dan itu pun hanya doa saja bukan esensi sejatinya yakni Tuhan. Padahal adanya kita makan karena adanya Tuhan yang sedang bekerja menjalankan perannya sebagai bos dari segala bos, apa? Ya memberi makan makhluk-makhluk-Nya.
Karena kita masih bisa makan itu berarti Tuhan masih ada, jadi jangan kira itu adalah kedermawanan seorang bos atau juragan kecilmu di Bumi, boleh melalui siapa pun, tapi sejatinya Tuhanlah yang sedang menjalankan peran-Nya sebagai penolong dan sebaik-baiknya pelindung, Rohman Rohim, dengan segala sifat-Nya.
#Setetes embun di 2017
Jumat, 18 Desember 2020
Iman, Aman, Amin
#Arsip 2017
.
Nyatanya lingkungan kata itu ada banyak sekali di peradaban bahasa. Satu kata akan mengantar ke kata berikutnya atau makna lain yang mungkin terkandung. Kebanyakan kita sering menggunakan satu kata/istilah untuk mengatakan jamak maksud, padahal dengan mengamati dan menggali lagi sebenarnya ada banyak juga kosakata yang jarang dipakai atau bahkan belum pernah digunakan khalayak umum.
Kita acapkali memperkosa suatu kata/istilah untuk menjelaskan makna yang akan disampaikan, akibatnya semua jadi kaku dan terkesan kurang pas dalam menyampaikan makna tersebut.
Semisal saja kata Iman, Aman, dan Amin. Tiga kata tersebut adalah satuan atau lingkungan kata yang terbentuk dari balungan kata alif mim dan nun. Padahal di gramatikal bahasa arab sendiri tiga kata itulah yang akan membentuk atau melahirkan macam-macam kata lain yang mungkin masih terkait dengan balungan kata dasarnya. Selain itu untuk bahasa arab sendiri tiga kata dasar yang membentuk kata lain itu biasa disebut madhi tsulasi mujarrod. Belum cukup dengan pembentukan kata, ada lagi nantinya yang menentukan nasib makna dari lingkungan kata tersebut yakni harokat atau bahasa indonesianya mudah disebut pergerakan, memang agak kurang enak padanannya, tapi bukan itu maksudnya. Jadi, ada empat harokat yang akan menentukan makna dalam setiap kata, yakni ada rafa alamatnya dhomah, nashob fathah dan jer kasroh serta jazm sukun. Khusus jazm lebih ke fiil amar. Tiga harokat ini tidak tetap, sederhananya dapat berganti dan bolak-balik.
Misal contoh tadi, dari balungan kata alif mim nun bisa dibaca i-manu, dapat a-ma-nu, boleh a-minu. Saya memakai rafa atau dhomah karena lebih biasa digunakan. Nah, dalam kitab berbahasa arab sendiri, kebanyakan tanpa harokat bagaimana cara mengetahuinya ini bisa dibaca dengan tiga varian tadi? Maka, kejelian dan ilmu alat nahwu shorof balaghoh dll harus digunakan dalam menganalisanya.
Kebanyakan dari kita kurang menyadari kalau kata atau mufrodad tersebut dapat dibaca banyak macam, jadinya persoalan-persoalan dan perdebatan segala jenis yang gak ujung-ujung karena mungkin mereka gak melihat sisi di mana harus memandang luas ke segala arah.
Nah, terkait tiga kata di atas saya ingin menghubungkan dan mengaitkan bagaimana kok satuan kata dapat terhubung dengan tidak memisah maknanya. Kalau dari penglihatan saya, mula-mula dari kata iman yang artinya percaya atau yakin sepenuh hati, dari keyakinan itu maka, menimbulkan reaksi yakni menjadi aman lalu akhirnya berakibat amin dipercaya.
18 November 2017
.
.
.
#Dalam perspektif lain pandangan itu juga bisa digunakan sebagai metode dalam berkehidupan, misal menjadi pemimpin ideal, pembelajaran sosial, berniaga dan lainnya. Kalimat terakhir pun sudah merupakan akibat dari awalnya, jadi Amin atau terpercaya adalah akibat dari adanya Iman dan Aman.
Pertanyaannya, bagaimana rasa Iman itu dapat muncul? Jawabannya adalah memahami dulu bagaimana menjadi manusia itu. Kemudian ada variabel lain yang melebar seperti; makhluk, hamba, ahsanu taqwim, khalifah yang pembahasannya semakin terperinci dan lebih mendalam.
Sebenarnya ini juga wujud kausalitas dari serangkaian fenomenologi dan dialektika kehidupan. Dan lagi, bukankah nabi Muhammad adalah Al-Amin, gelar yang disematkan orang diumur yang beliau masih muda. Al-Amin adalah cahaya yang bahkan dapat menembus hati yang mati.
Alfatihah "As Master Key" Alquran
Jarang-jarang aku bisa tertarik belajar di dalam kelas, karena paham jalanan merasuk begitu sunyi. Namun, di suatu hari, sekali waktu ketika masih kuliah di kelasnya Prof Bermawi Munthe cukup menarik perhatianku. Begini ceritanya..
.
.
.
*Suatu hari di tahun 2017....
Saya dapat pencerahan ini dari salah seorang guru, sebenarnya dosen, tapi lebih suka menyebutnya guru begitu. Iya, baru-baru saja ngeh dengan statement beliau yang mengatakan bahwa alfatihah adalah alat pembuka untuk memasukkan Tuhan ke dalam hati. Inilah yang menjadi daya tarik bagi pribadi sendiri.
Secara umum diketahui kalau alfatihah merupakan surat pembuka dari kalam ilahi alquran. Sejauh yang saya amati, kebanyakan orang hanya stagnan pada pernyataan yakni surat pembuka itu sendiri atau biasa dikatakan alfatihah namun, beliau Prof Bermawi Munthe datang dengan membawa dagangan lain, [meniru istilah beliau] adalah alat pembuka yang akan memasukkan ke dalam hati kita yaitu Tuhan. Beliau melanjutkan, jika di dalam diri ini eksistensi Tuhan sudah tiada, maka "Kita telah mati sebelum mati!", begitu beliau menyampaikan. Ini menarik, karena di tengah para guru atau dosen yang biasa mengajar bidangnya secara akademis namun, ada satu yang lebih bebas dalam bereksperimen atau mengeksplorasi, begitu. Iya, sebelumnya belum pernah terpikir dan saya pun termasuk bagian orang yang stagnan pada asumsi alfatihah sebagai surat pembuka saja. Nah, dengan hadirnya pendapat baru soal tersebut, maka baiknya ini terus digali dan di ekspansi sejauh-jauhnya. Karena saya pikir tidak apa-apa lah, toh yang penting kita masih mau menyembah-Nya.
Mengkritisi karya Tuhan, bagi saya tidak masalah. Dan jika kita tidak mengelaborasi tentang apa yang diberikan Tuhan, mana mungkin kita akan tahu maksud apa yang ingin disampaikan-Nya kepada kita?!. Jadi, ketika mendengar orang berbicara suatu hal yang kiranya baru dan menyegarkan, itu patut diapresiasi dan di dukung. Kalau tidak demikian, daya akal yang diberikan Tuhan akan berkarat dan tumpul dalam menganalisa segala sesuatu.
Lalu kembali ke alfatihah tadi, saya melihat iya apa yang ditawarkan oleh guru saya merupakan satu lagi buah pikiran yang akan terus bergerak dan bervariasi sejalan dengan kemampuan manusia menterjemahkan. Sebagai alat pembuka untuk memasukkan Tuhan ke dalam hati manusia. Kenapa kok pembuka, padahal alfatihah itu ikut wazan failatun, nah ini juga perlu di elaborasi lagi.
Dalam alquran, alfatihah selaku surat awal telah menjadi pengantar bagi surat-surat berikutnya. Kalau menurut sudut pandang saya, dari surat pengantar itulah kita diajak memasuki surat demi surat supaya menjadi singkron dan terarah dalam menyelami kalam-kalam ilahi karena dari awal sudah diantar dengan alfatihah. Ibaratnya ketika masuk istana kita telah diberi kunci untuk membuka segala pintu-pintu yang ada, jadinya kita dapat memasuki ruangan demi ruangan, begitulah simbolismenya.
17 Oktober 2017
.
.
.
#Selang waktu bergulir, setelah apa yang aku dapat itu bertambah lagi pemahamannya mengenai tulisan di atas, bahwa sebenarnya tidak juga jika disebut alat untuk memasukkan Tuhan ke dalam diri. Karena nyatanya Tuhan sendiri melingkupi segalanya. Dus, apa Al-Fatihah jadi delegitimasi?
Jawaban simboliknya, kita bisa mengatasi atau mengatur kondisi badan kita, tapi secara alamiah Tuhan juga memberi hamparan semesta di jagat, baik melalui tumbuhan atau makhluk hidup lainnya. Tinggal bagaimana kita mendayagunakannya.
Rabu, 02 Desember 2020
Pulang Untuk Kembali, Mati Wajib Abadi
Dari level materi hingga rohani dapat dijelaskan melalui tulisan santai seperti ini.
Misalnya dari "pekerjaan" dalam arti umum, bahwa setiap manusia terlahir untuk bekerja, karena begitu mulianya pekerjaan itu tentu dapat mengangkat derajat manusianya sendiri. Entah bagaimana kita memaknai pekerjaan ini, namun yang bisa dijelaskan dengan gampang sebab setiap langkah pun sudah mengandung gerak yang berarti bekerja, minimal tubuh yang bergerak atau lebih "digerakkan" oleh Tuhan.
Setiap pekerjaan adalah suatu kemuliaan, atau kalimat lengkapnya "Semua orang bekerja, itu adalah mulia. Yang tidak bekerja tidak punya kemuliaan". Kira-kira seperti itu yang pernah dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan asal Blora yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara kemudian melahirkan masterpiecenya "Tetralogi Buru".
Pekerjaan yang baik adalah bekerja untuk keabadian, tapi untuk sampai di makna itu, pelan-pelan kita akan bangun dari hal-hal biasa atau mendasar. Repetisi dari kehidupan yang kita alami merupakan pekerjaan untuk dapat menentukan presisi dan seakurasi mungkin, maka setelah kita berangkat bekerja untuk kemuliaan lalu pulang ke "rumah" atau huma, terserahlah apa istilahmu, kita mengistirahatkan badan untuk kembali esok hari lebih sehat dan baik lagi. Ya bekerja, tentu terotomatis belajar darinya, bahkan sampai kuli-kuli pasar atau buruh kasar pun yang secara pandang orang kantoran tidak efisien dan efektif untuk penghidupan juga dituntut memahami pekerjaannya. Bukan cuma angkat-angkat saja, di situ ada mekanisme, koordinasi, dan koneksi kultural, semisal bagaimana mengerti proses pekerjaan berlangsung hingga keterlibatan alat-alat industri untuk memudahkan keefektifan kinerja. Memahami keteraturan jadwal dan kendala yang bisa saja muncul, dan kultural membangun hubungan kreatif yang dimiliki untuk masing-masing pekerja.
Pekerjaan akan lebih baik, menjamin, dan awet jika terbangun trust dari segala lingkar posisi di mana pun, sampai nge-link antara bos dan karyawan, atas ke bawah, bawah ke atas, jadi satu sambungan yang meminimalisasi terjadinya crash atau ketidaknyamanan baik serikat pekerja atau owner, artinya keberlangsungan suatu perusahaan akan survive jika ditopang poin-poin tadi. Sedang untuk poin konsep dan strategi biarlah ditulis pelaku perusahaan saja.
Nah, segala hal tadi masih terikat dalam hal keduniawian yang jamak, namun sudah terkontrol atau dibangun dengan paham yang cukup baik. Sekiranya kita lebih berjuang untuk hal-hal besar, lebih mendasar dan transenden, maka fenomenologi berangkat-pulang kerja tadi akan lebih bermanfaat untuk lingkungan sekitar, bahkan turut membantu keberlangsungan alam. Timbul pertanyaan, Bagaimana kita akan bermanfaat jika hanya bekerja di suatu perusahaan atau jadi kuli kasar? Bahkan seringnya kita kurang dalam kebutuhan bulanan..
Sebagai manusia biasa apa Tuhan menerapkan sistem atau kebijakan yang memaksakan kehendak-Nya? "Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa". Seperti wajib harus wajib harus dan seterusnya, Padahal di dalam alquran Dia mengatakan silmi, bukan Islam, "udkhulu fi silmi kaffah" Artinya itu semacam cara berpikir minimalis atau mikro atau lite, bahwa segala pekerjaan adalah bergantung kemampuan kita. Apakah dengan kita jadi kuli kasar tidak bisa memberi manfaat untuk lainnya?. Kian jika kita tersenyum saja kepada orang menurutku sudah berpartisipasi dan turut menyumbang energi positif bagi keberlangsungan alam.
Ditambah lagi, kalau kembali ke rumus agamanya kan ada "innalillahi wa innailaihi rojiun", pedoman dan rumus kehidupan itu tentu lebih menawarkan paham yang berorientasi kebermanfaatan bagi kehidupan jika dibarengi dengan adagium "khoirunnas anfauhum linnas". Kalimat tarji' sebagai paham personal atau masing-masing orang melahirkan diktum kedua, kebermanfaatan. Artinya dengan memahami kalimat tarji' tadi secara mendalam mestinya akan sampai pada manfaat kepada yang lain. Mengapa hanya mandek untuk sampai pada kata kembali, tentu sebelum dikembalikan baiknya manusia membangun manfaat di alam, maka itu akan lebih nyata dengan pemahaman "rahmatan lil'alamin". Dan ketika makhluk hidup dikembalikan nanti, maka kita akan bisa melanjutkan makna sebelumnya tadi, jika pulang untuk kembali, maka kita mati wajib abadi.