Jika orang moderen yang memahami, titik tolaknya hanya wadak dan penumpukan materi yang tak berkesudahan. Puncaknya dari segala kapitalisasi itu adalah kehancuran yang dihimpun gaya-gaya hedon itu sendiri. Pemahaman orang moderen konstan atau berhenti pada kebendaan yang tidak bisa bergerak, sederhananya mandek. Memang begitu ideologi dan tujuannya, ini ironis padahal mereka disebut-sebut sebagai makhluk yang dinamis, tapi dihadapan dunia mereka bersujud. Karena doktrin inilah paham itu dibawa dan diajarkan di dunia sejak abad 14 hingga era globalisasi.
Renaissance, Pasca-Renaissance, zaman pencerahan (katanya) di mana kekuatan agama diganti ilmu pengetahuan yang menjadikan agama tersingkir, lalu revolusi industri dunia global di gembor-gemborkan hingga sistem perekrutan buruh harus melalui titel sarjana ini itu, mengubah jiwa bangsa-bangsa global menjadi materialistis dan pelampiasan nafsu tiap orang maupun penguasa (baca: pemerintah), mereka mencekoki manusia dengan paham-paham yang terlihat menggiurkan, tapi produknya adalah kehancuran. Sistem politik ekonomi, kesenian, penyiaran, sosial-budaya telah direnggut dengan sexy dan halus tanpa kita sadari, meski sadar juga tidak bisa mengubah semua itu. Dan ketika menjadi paham bagi dunia global, itulah penjajahan bernama Globalisasi. Maka setelah doktrin itu telah mengakar jadi budaya masyarakat dunia, semua yang tidak sesuai dengan konsep mereka akan dikucilkan dan dibully sedemikian rupa. Dan yang paling di persona non grata-kan adalah islam, sebab mereka tahu bahwa islam itu benar. Jika itu diakui dan disadari dunia, tentu mereka tidak diuntungkan dengan rancangan yang telah dibangun berabad-abad lamanya itu.
Namun, lain hal bila pemaknaan yang lahir dari akar lokal dan kesederhanaan hidup orang-orang kecil, pidak pedarakan, atau katakanlah orang pinggiran yang bekerja keras beribadah dalam mencari rejeki. Ungkapan di atas bukan sebagai penumpukan materi dan pelampiasan nafsu, melainkan berusaha mensyukuri anugerah yang diberikan Tuhan, dan agar supaya tetap terjaga nikmat itu, maka perlu asupan dan gizi secukupnya untuk melangsungkan kehidupan. Selayaknya makhluk hidup, perlu bernafas dan makan dan minum, begitupun manusia, secara alamiah juga tetap menjaga apa yang telah diberikan dan dijanjikan oleh-Nya.
Jika memakai suroso sedikit saja, ungkapan itu bahkan tidak mengandung keserakahan dan sifat ketamakan sedikit pun. Dan tahu dari mana aku dapat kata-kata bijak tersebut? Seorang penambang pasir yang rumahnya dipinggiran Kali Gajah Wong, Nologaten, Depok, Sleman. Namanya pak Ramang. Kesederhanaan pekerjaannya tidak mempengaruhi kualitas pemahamannya, filosofi hidupnya. Penampilan fisiknya yang akar rumput nyatanya menipu orang-orang dan tiada yang tahu dan terkaget-kagetlah kita ketika mendengar kata-kata indah itu keluar dari mulut beliau. Sederhana, bersahaja, dan murni suci.
0 komentar:
Posting Komentar