Dalam diskusi ku sendiri, seolah-olah aku berbicara dengan sebagian teman yang sedang membahas gagalnya aku dalam silaturahmi secara fisik ke teman. Dari pembicaraan itu, secara alamiah ada dialektika yang memposisikan diriku menjadi responden dari sebagian teman-temanku. Intinya mereka menganggap aku belum jadi silaturahmi karena secara wadak belum pernah terjadi dialog secara langsung. Namun, menurutku sendiri aku sudah dan telah sampai pada tujuanku yakni silaturahmi atau sambung sedulur selama tiga kali, sesuai jumlah yang pernah aku niatkan. Karena niatku sungguh-sungguh, walau memang tidak pernah terjadi, tetapi perasaanku tetap mengatakan bahwa aku ke sana dan di sana. Narasi ini juga sebagai upaya dalam memahami dan menjawab bagaimana suatu niat baik bernilai pahala dijelaskan.
Lalu bagaimana penjelasannya soal niat buruk hanya dicatat atau bernilai satu jika sudah dilakukan? Meski baru niat, tapi itu belum termasuk nilai kejahatan.
Menurutku ada jarak antara niat buruk dengan laku kejahatan. Pada kasus niat baik ada energi positif yang merasuk dan menjalar dan bergelombang, hingga sinyalnya dapat diterima oleh burung. Berdasar penemuan orang Jawa jika tanda akan ada tamu adalah adanya burung yang mampir ke rumah. Namun, apakah niat buruk tidak punya gelombang dan getaran? Semua makhluk hidup punya getaran dan gelombang, dan baik maupun buruk juga punya gelombangnya masing-masing, akan tetapi rasa-rasanya kebaikan itu lebih kuat ketimbang kejahatan. Jadi niat berbuat baik bernilai pahala karena ia kuat dan sesuai pada konsep Tuhan, karena kehidupan ini dibangun dengan "Islam" atau keselamatan jika diteruskan, namun niat buruk tidak demikian, untuk itu perlu diaplikasikan secara nyata agar dapat bernilai "dosa".
0 komentar:
Posting Komentar