Di sini Ceritanya Wongsello


Kamis, 24 Desember 2020

Sedulur Kita, Bumi Pertiwi


Apakah anda termasuk seorang yang memperingati hari bumi? Jika benar, maka bersyukurlah karena masih ada yang perduli dengan nasib bumi kita.

Dengan tanpa diingatkan melalui suatu hari dalam tanggal pun harusnya sih selalu ingat. Memperingati hari bumi, Memangnya Bumi pernah ngapain?  Entahlah, ini agak lucu kedengarannya. Secara internasional hari bumi diperingati pada tanggal 22 April kalau PBB dulu 20 Maret. Perbedaannya disebabkan dari sejarahnya,  begitu yang diceritakan. Dikatakan dengan adanya hari bumi ini, tersemat harapan bagi manusia untuk selalu menjaga dan melestarikan bumi kita yang kini sangat menderita sekali. Tanggal di atas itu hanyalah formalitas belaka dan kalau kita berbicara lebih intens, benarkah hanya dengan satu hari kita dapat menjaga bumi ini dengan baik dan maksimal? Itu sangat mustahil. Nyatanya bunyinya hanya "Memper-Ingat-i", jadi hanya mengingat saja atau meng-iling-iling begitu kiranya jika ditransfer ke bahasa jawa. Adakah program yang lebih riil dari formalitas itu? Ya itu bergantung manusianya.

Jauh sebelum adanya modernisasi dan globalisasi yang dewasa ini menghegemoni bumi. Manusia-manusia terdahulu pun sudah mengamalkan tentang bagaimana menjaga bumi tetap lestari dan asri, lebih baik ketimbang cuma memperingati tog!. Manusia Jawa apalagi, mereka seakan banyak tahu mengenai hidup dan menghidupi, tidak hanya keluarga tetapi juga segala yang ada di sisinya, sekelilingnya, sekitarnya sehingga alam pun bersahabat dengannya. Kalau pinjam bahasanya mas Iman Budhi Santosa yakni tumbuhan/alam ini sebagai sedulur sinarawedi.

Semakin majunya zaman, bumi kita ini kian makin terasa panas. Pun orang-orang abad 21 kini tidak cukup bodoh untuk tahu apa penyebabnya. Ada banyak slogan-slogan persuasif untuk menggelorakan semangat menjaga bumi dari ancaman bahaya kerusakan, kehancuran, tapi kelihatannya belum bisa menyeluruh. Keadaan Bumi ini adalah wajah kita semua, jika bumi sehat, berarti akal kita masih sehat. Namun, kalau semakin rusak maka bobroklah akal moral kita semua. Bagaimana tidak, alam ini sudah menyediakan segalanya. Nerima ing pandum, pasrah dan selalu memberi kontribusi besar bagi manusia untuk banyak keperluan. Selalu kalah dan dikalahkan manusia, diakali dan ditipu, tapi alam/bumi tidak pernah protes. Tumbuhan di rawat, diberi pupuk, disiram dan disempret hingga bebas pestisida, tapi ujung-ujungnya kan tetap diganyang menungsone. Toh demikian alam pun tidak marah dan mengizinkan, masih mending mau merawat alam, lha kalau maunya cuma mengambil secara frontal dan mengeksploitasi besar-besaran apakah ini bukan semacam pemerkosaan yang kejam!?. Ya, sesekali bumi/alam ngambek itu sangat wajar, bencana alam misalnya. Itu bentuk protes yang biasa dilakukan alam/bumi terhadap manusia. Padahal itu juga merupakan hukum alam itu sendiri, bergerak. 

Yang masih baru saja terjadi kemarin, di Nganjuk. Bencana longsor yang menenggelamkan banyak rumah dan menelan korban jiwa. Itu adalah contoh bagi kita semua!. Itu adalah pesan dan peringatan dari alam/bumi terhadap manusia bahwa kita ini jangan sok karena embel-embel Khalifah. Mentang-mentang merasa Khalifah di Bumi dengan seenaknya dan semena-mena melahap habis alam bumi secara liar. Seakan-akan alam pun berbicara demikian kepada manusia.

Alam/bumi ini adalah sedulur sinarawedi. Sedulur tua. Rawatlah, maka ia akan mengasihimu.

                                                                                                                        23 April 2017

Share:

0 komentar:

Posting Komentar