Ada orang yang berani terjun dari ketinggian, sendirian
menantang sekelompok orang, mengkritik keras penguasa, meludahi presiden, hidup
gelandangan dengan sengaja, memilih jalan sunyi, dll, semua tadi dianggap
sebagai keberanian. Kira-kira begitulah pemahaman kita selama ini, kita tidak
melihat lain sisi apa sebab sejatinya seseorang berani melakukan sesuatu. Kemampuan
kita hanya bisa melihat sesuatu tampak dari luar, jika kita bicara soal
manusia, analisa gampangnya adalah apa-apa yang dikatakan pengetahuan biologi
sewaktu sekolah, wadak, materi, badan, tubuh, tulang, daging, aliran darah,
air, otot, syaraf, dll. Jika urusannya sudah nyawa, tentu kita tidak bisa
menjawabnya, paling mudah soal itu diserahkan kepada Tuhan. Lalu ada lagi
namanya roh, sukma, jiwa yang kita semakin kebingungan dan kalap menghadapi
situsasi semacam itu, yang dengan mudahnya juga hal-hal tersebut diarahkan ke
ranah supranatural, klenik, dukun, dsb.
Sederhana
saja, yang ingin dikatakan adalah apa sesungguhnya yang ada di dalam semua itu?
Jika manusia hanya kumpulan tulang dan daging tetap saja ia tak bisa bergerak,
ada sesuatu mekanisme yang sifatnya halus dan enerjik sekali dari dalam dengan
begitu akan ada suatu dialektika pergerakan yang ditimbulkan dan terlihat dari
luar. Kita pikir mengapa manusia berani melakukan sesuatu yang luar biasa dahsyat
dan menerjang segala halangan hingga dapat berakibat mengancam harkat,
martabat, bahkan nyawanya.
Kemurnian,
Alamiah, Kesucian. Sifat-sifat itulah yang mau tidak mau menjadi jiwa, sukma,
roh, nyawa bagi wadak yang dikendarainya.
Tiada tembok untuk tak dijebol, tak ada langit untuk tak dicakrawalai, tidak
ada timur maupun barat, ialah kekuatan sejati yang diberikan dari Yang Maha
Agung.
Yang begitu itu memang jalannya, sederhananya kekuatan itu tadi yang menjadi inti, sudah tidak ada lagi konsep mengenai ketakutan. Karena jika tidak dilakukan dirinya pasti akan tersiksa lebih pedih daripada mati itu sendiri. Bukan karena iming-iming atau embel-embel, sebab ia murni, sebab alami, dan sebab sucilah ia menjadi harus mengalir kesegala penjuru, bahkan menghempaskan batu yang menghadang. Ia bisa menghidupkan, dan menyembuhkan, tapi juga bisa menenggelamkan dan menghancurkan.
Ada cerita dari Aristides Katoppo, wartawan senior teman akrabnya Soe Hok Gie, ketika ditanya mengapa kawannya Gie begitu berani mengkritik rezim Orla dan Orba dulunya. Jawabannya menarik, menurut Aristides itu bukanlah suatu keberanian, tapi Dia (Gie) hanya menyampaikan kebenaran dari nuraninya, bagaimapun tetap ia lakukan, itu saja. Dan juga sebagai gerak hati, kewajiban moral, dan panggilan sebagai seorang pemikir “menurut Gie, dari catatan hariannya".
0 komentar:
Posting Komentar