Seorang teman dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian; penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya (kakaknya Arif Budiman alias Soe Hok Djin). Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: “Ya, saya siap”.
Untuk karangan ini aku meminjam sosok Gie,
sebab dia salah seorang yang mengatakan kesepian bukan cuma omong kosong seperti
mahasiswa yang sok-sokan, tapi tiarap ketika menghadapi kekuasaan yang
membelenggu. Perihal suatu surat yang pernah ia dapatkan dari seorang teman
dari Amerika seperti yang aku kutib di atas, waktu itu dia merasakan kesepian
yang luar biasa dalam hidupnya, dari kekecewaan politik berlangsungnya suatu
negara yang dikendarai pemerintahan yang amburadul, teman-teman seperjuangan
yang tidak punya dedikasi dan komitmen terhadap apa yang diperjuangkan,
penolakan berkali-kali dari orang tua cewek yang dia pacari, kalau tidak salah
sampai tiga kali ia pacaran dan selama itu pula ia selalu ditolak. Menurutnya,
dia dikagumi karena keberaniannya, namun mereka menolak ketika anaknya diminta in
group.
Betapa menderitanya dia, teman-teman yang
dipercaya menusuknya dari belakang, semuanya lengkap menghantamnya sekaligus,
ditambah mamanya juga tidak mengerti apa yang tengah ia perjuangkan dan malah menyuruhnya
menghentikan aktivitas yang membahayakan dirinya. Mungkin dalam situasi seperti
itulah ia tinggalkan Jakarta dan menerapi dirinya di Semeru, akhir dari
perjalanan hidupnya. Dan mungkin aku sedikit bisa merasakan apa yang dia
rasakan saat itu, bukan karena pengalaman yang serupa, tetapi lebih mengendarai
rasa surosonya melalui bahasa yang ia sampaikan. Boleh juga dikatakan kalau aku
mencoba memahaminya secara empati, selain dulu memang pernah mengaguminya
sebagai anak muda yang pemberani.
Akan selalu ada anak alam yang dilahirkan
kehidupan mampu memahami dan merasakan kepedihan dunia lalu ia acungkan tinju
untuk melakukan perubahan, akan terus menerus ada nurani di dalam tirani di
mana pada saatnya nanti akan ada suksesi atau pun revolusi.
Surat yang diterima Gie juga merupakan sebuah
respon dari temannya dalam kesejarahan hidup menurut pandangannya, dan memang
kesepian dan keterasingan selalu membayang kepada mereka yang tetap menjaga
nurani dan kebenaran. Tetapi, jawaban itu dengan jelas tertulis di “Catatan
Harian Seorang Demonstran” ..
...”Lebih baik diasingkan, dari pada menyerah
terhadap kemunafikan..”
Dalam ingatanku dulu, aku pernah membayangkan
bisa mengunjunginya di lembah Mandalawangi, meskipun juga terdapat nisan di Museum
Taman Prasasti, Jakarta.