Di sini Ceritanya Wongsello


Selasa, 30 Maret 2021

Gie dan Kesepian


Seorang teman dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian; penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya (kakaknya Arif Budiman alias Soe Hok Djin). Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: “Ya, saya siap”. 

Untuk karangan ini aku meminjam sosok Gie, sebab dia salah seorang yang mengatakan kesepian bukan cuma omong kosong seperti mahasiswa yang sok-sokan, tapi tiarap ketika menghadapi kekuasaan yang membelenggu. Perihal suatu surat yang pernah ia dapatkan dari seorang teman dari Amerika seperti yang aku kutib di atas, waktu itu dia merasakan kesepian yang luar biasa dalam hidupnya, dari kekecewaan politik berlangsungnya suatu negara yang dikendarai pemerintahan yang amburadul, teman-teman seperjuangan yang tidak punya dedikasi dan komitmen terhadap apa yang diperjuangkan, penolakan berkali-kali dari orang tua cewek yang dia pacari, kalau tidak salah sampai tiga kali ia pacaran dan selama itu pula ia selalu ditolak. Menurutnya, dia dikagumi karena keberaniannya, namun mereka menolak ketika anaknya diminta in group.

Betapa menderitanya dia, teman-teman yang dipercaya menusuknya dari belakang, semuanya lengkap menghantamnya sekaligus, ditambah mamanya juga tidak mengerti apa yang tengah ia perjuangkan dan malah menyuruhnya menghentikan aktivitas yang membahayakan dirinya. Mungkin dalam situasi seperti itulah ia tinggalkan Jakarta dan menerapi dirinya di Semeru, akhir dari perjalanan hidupnya. Dan mungkin aku sedikit bisa merasakan apa yang dia rasakan saat itu, bukan karena pengalaman yang serupa, tetapi lebih mengendarai rasa surosonya melalui bahasa yang ia sampaikan. Boleh juga dikatakan kalau aku mencoba memahaminya secara empati, selain dulu memang pernah mengaguminya sebagai anak muda yang pemberani.

Akan selalu ada anak alam yang dilahirkan kehidupan mampu memahami dan merasakan kepedihan dunia lalu ia acungkan tinju untuk melakukan perubahan, akan terus menerus ada nurani di dalam tirani di mana pada saatnya nanti akan ada suksesi atau pun revolusi.

Surat yang diterima Gie juga merupakan sebuah respon dari temannya dalam kesejarahan hidup menurut pandangannya, dan memang kesepian dan keterasingan selalu membayang kepada mereka yang tetap menjaga nurani dan kebenaran. Tetapi, jawaban itu dengan jelas tertulis di “Catatan Harian Seorang Demonstran” ..

...”Lebih baik diasingkan, dari pada menyerah terhadap kemunafikan..”   

Dalam ingatanku dulu, aku pernah membayangkan bisa mengunjunginya di lembah Mandalawangi, meskipun juga terdapat nisan di Museum Taman Prasasti, Jakarta.

Share:

Minggu, 28 Maret 2021

Perihal "Butuh Inspirasi"


Dari kebanyakan pemahaman yang kita pakai adalah mengasumsikan bahwa kita butuh ini itu, dalam arti kata, istilah yang kita simplifikasikan sedemikian rupa yang membuat kita cukup alasan untuk mengejarnya. Dalam konteks inspirasi seringnya kita terjebak dalam nomenklatur yang sepele dan sulit beranjak jika pemahaman itu sudah sebegitu mengakar, katakan saja terdoktrin, sehingga akan kita simpulkan kita butuh inspirasi maka kita harus ngopi atau pergi ke gunung, laut atau fenomena alam lainnya.

Keterjebakan terhadap suatu kata, istilah ini sayangnya dibawa oleh orang yang mengaku seniman atau sastrawan, akhirnya semua orang percaya jika ingin mendapatkan perihal inspirasi harus melalui prasyarat tadi. Entah apa pun istilahnya asalkan bisa mencapai karya atau sesuatu yang dahsyat, maka ritus-ritus sebagai syarat kuno menjadi kewajiban bagi para pencari inspirasi, ilham atau entah apalah namanya.

Sebenarnya ada yang lebih mudah dan efisien jika mau merasakannya lagi, kalau pemahaman yang kita pakai materi, mestinya akan kita turuti semua ritual tersebut dan pastinya merepotkan dan menghabiskan waktu dan tenaga saja. Tapi, kan aku juga meminjam istilah “panggilan”? apa sama juga, agaknya aku belum final dalam meniti, mengalami dan menempuh kehidupan ini, itu istilah yang bisa saja disimplifikasikan, namun tidak sebagai ritual dalam berkarya, hanya menuruti jiwa dan perasaan hati saja. Menurut kata surosoku, aku menyapa dan menjemput jiwaku yang sudah melambai di tempat yang terpanggil tadi.

Menurutku jika mengalami dan penempuhan hidup didayagunakan dengan baik dan optimal, maka yang berkarya entah menulis atau menggambar bukan lagi dari keinginan, melainkan dari keharusan regulasi diri, jadi yang keluar hanyalah output wajar dan alami dari diri. Bukan sesuatu yang dibuat-buat, karena memang demikianlah seharusnya. Prosedur yang ditempuh manusia pastinya berbeda-beda, yang bisa aku sampaikan hanya melatih diri mengalami dan memahami setiap pengalaman sehingga nantinya apa pun yang diekstrak merupakan kontinuasi dari regulasi diri yang bersifat otomatis.

Tiada yang instan untuk sesuatu yang hebat dan dahsyat, tetapi namanya manusia mestinya melalui pembelajaran-pembelajaran dan berbagai simulasi pengalaman mengajarinya mengerti sesuatu untuk dipraktikkan kembali.

Share:

Jumat, 26 Maret 2021

Mengalami Hidup


Pengalaman demi pengalaman kita tempuh dengan berbagai cara dan kadang mengagumkan untuk kita bagi ke teman-teman maupun orang lain, dengan menyeluruhnya pengalaman yang kita buat itu tentunya sikap keilmuan dan pengetahuan dapat meningkat dan lebih baik. Seseorang akan semakin berkembang baik dan bermanfaat jika ia punya kesadaran untuk merasakan dan mengalami hidup, di tengah konstelasi yang menganjurkan manusia untuk melampiaskan nafsu dan gengsi gede-gedean term meng-alam-i merupakan suatu tahapan kehidupan yang amat berpengaruh pada perkembangan seseorang. 

Ketika manusia sudah mengalami hidup, maka segala probabilitas yang sudah, sedang, maupun akan terjadi telah ia kuasai dengan baik, minimal tidak kaget dengan macam-macam peristiwa atau kejadian yang mensyaratkan demikian. Entah bagaimana seseorang merespon mulanya, namun jika ia terus berjalan dan terus belajar, mestinya ia bisa mengakumulasi ragam wacana kehidupan tadi yang berakibat pada pengetahuannya kemudian berdampak pada keilmuannya, hasilnya ia mengetahui kebijaksanaan hidup yang sejati.

Pastinya aku tidak benar-benar tahu praktek masing-masing orang, meski penjelasanku juga masih abstrak dan awang-awang, tetap saja jika memakai ilmu pasti bisa terlaksana. Mengalami hidup bukanlah berat atau mudah, tetapi bisa mengambil makna dan hikmah yang ada dan terus menghadapi apa yang ada di depan, artinya berjuang. Mengalami hidup bukan fokus untuk bahagia atau menderita, sedih atau senang, melainkan siap untuk segala sesuatu, bahkan untuk kemungkinan terburuk, ketika kita sedang menempuh pengalaman sebenarnya kita sedang dihadapkan ilmu dan masalah, tetapi itu bukan dikotomis dan terbagi, itu satu, bebarengan. 

Dan manakala pengalaman seseorang sudah sedemikan banyak dan jauh, ia bisa tahu macam cara dan ragam sikap dalam menentukan keputusan, sebab ia mengerti ilmunya dan mestinya ia juga punya kematangan hidup, untuk itu aku menyebutnya tadi dengan kebijaksanaan. Bijaksana merupakan puncak tertinggi dari ilmu. Meski dibantah Sabrang dengan mengatakan "Pasti akan ada satu konsep yang merangkul dikotomi-dikotomi di dunia, ini bukan urusan kebijaksanaan, tapi peningkatan kaliber fundamental manusia". Biar aku menempuh pemahaman dan pengalamanku dulu, walau juga aku sedikit sudah mengerti dan setuju soal yang dikatakannya. 

Betapa penting dan mahalnya bila manusia sudah mengalami hidup, bisa berarti memasuki hidup, meng-alam = memasuki alam. Apa pun bisa dijelaskan, dihubungkan, perihal jelek atau masih memaksa itu hanya proses, mengalami hidup membuatku lebih banyak dan waspada terhadap segala hal setiap saat. Aku harus siap menderita, bahagia atau tidak keduanya, meski masih kadang sambat itu wajar dan mesti ditingkatkan lagi. Kehidupan memberi banyak sekali hal, walau aku tidak dalam kategori manusia modern yang berarti punya posisi dan materi yang berarti, tetapi mengalami hidup aku mengalami kekayaan batin yang luar biasa, aku harus selalu belajar neriman dan tansah lelaku.

 


Share:

Kamis, 25 Maret 2021

Hentakan Partikel Memecah Fokus


Terkait tema ini aku sedikit memberi contah langsung saja biar tidak bertele-tele, jika kita mengalami suatu interupsi misalnya rata-rata dari kita terdiam dan memikirkannya yang mungkin berakibat untuk ucapan selanjutnya. Sadar entah tidak, aku menemukan sambungannya dari apa yang pernah diceritakan oleh guruku dulu, ada kisah jika melewati terowongan Casablanca harus memberi klakson terlebih dahulu supaya mengabarkan kepada mereka kita izin mau lewat terowongan tersebut. Dari cerita itu, guruku mencoba menerangkannya dengan cara ilmiah atau beliau menjelaskannya menurut sudut pandang ilmu fisika, jadi ketika berada di suatu tempat/ruang yang banyak elektronnya (energi negatif), maka untuk mentralkannya (baca; neutron) kita harus mengisi ruang itu dengan proton (energi positif)lalu netrallah tempat/ruang itu. Nah, menilik cerita tadi bisa disimpulkan guruku memahami jika tempat di terowongan atau minimal di sekitarnya beraura negatif (elektron), maka untuk membuatnya netral kita membunyikan klakson (proton) lalu jadilah neutron (netral). Aku memang belum mencari kevalid-an penelitian itu, namun secara pembelajaran logika okelah masuk.

Oke,secara direct aku pikir masuk akal juga walau aku belum menemukan data validnya penjelasan tersebut, tetapi yang bisa dijelaskan adalah ini menggambarkan sebagai partikel alam mempunyai komponen-komponen,  kandungan-kandungan yang memberi fenomena seperti itu. Sederhananya partikel-partikel tadi mempunyai fungsi khusus dan guna membangun fenomena-fenomena alam yang memang diciptakan demikian, berdampingan dan bebarengan, masing-masing energi saling bersentuhan dan melengkapi, pun aliran listrik untuk mempunyai syarat “nyala” juga memakai partikel positif-negatif. Dus, gelombang, energi, atau getaran masing-masing dapat bertemu, menyatu, atau malah bertabrakan yang akan menjadi partikel baru setelahnya.

Ketika motorku kehabisan bensin, saat itu panik sehingga tidak kepikiran jika bensinnya habis. Yang aku lakukan adalah ngomong kepada temanku dengan nada menekan bahwa motornya mati bila di gas, anehnya temanku pun ikut panik dan kami menunggu motor itu rehat sejenak, harap-harap bisa hidup setelah mesinnya dingin, dan bamm.. ternyata kami menunggui motor yang tidak ada bensinnya, ini ketahuan manakala temanku menilik tangki motor. Cerita itu sebenarnya klise, menurutku ada juga selain aku mestinya, tapi pertanyaan menariknya mengapa temanku bisa langsung percaya saja oleh ucapanku, seolah-olah seperti menghipnotisnya?.  Aku rasa seperti cerita awal tadi, awalnya biasa-biasa saja netral “neutron”, namun tatkala ada suatu masalah konsentrasi terpecah dan habis itu ditambahi energi negatif “elektron”, jadinya buyar semua dan energi negatif mengepung, tetapi tidak ada proton yang meng-interupsi, hasilnya elektron semua. Jika ditransfer ke dialektikanya Hegel, jadinya tesis-anti tesis-sintesis .

Kekuatan gelombang, energi, getaran, maupun partikel-pertikel itu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, mereka butuh bebarengan untuk mengalami perubahan baru dan untuk keberlangsungan alam. Jika sendiri-sendiri tentunya akan Chaos ibarat cerita tadi.


Share:

Selasa, 23 Maret 2021

Akibat Term "Hidup Itu Pilihan"


Bila kita pernah terdidik dengan asusmsi “Hidup itu pilihan” maka kita seumuran. Maksud dari tulisan ini adalah mengajak berpikir dan memahami ulang bagaimana sebenarnya bersikap dari anggapan yang sudah mapan di telinga orang-orang. Misalnya ketika aku masih duduk kuliah dulu, sekali waktu dosenku pernah mengatakan demikian, waktu itu aku tidak terlalu memikirkannya, jadi hanya lewat, sebab aku tidak tertarik antara membantah atau mendukung. Boleh juga jika dikatakan aku stuck dan masa bodoh di zaman-zaman itu, tetapi dengan menyiapkan ruang untuk apa pun, jadinya bisa menerima atau menolak ini itu, bergantung perasaan dan keinginan.

Bahkan sering kita alami bentuk “todongan” seperti itu kepada kita, seolah-olah kita selalu dihadapkan dengan dua atau lebih soal pilihan-pilihan dari hal sepele sampai peri hal kehidupan. Ini sangat tidak mengherankan karena pikiran kita sudah disetel untuk pragmatis dan instan, jadi tidak pernah kita pikirkan lagi konsep-konsep atau pandangan kita terhadap sendi-sendi kehidupan. Baru saja kemarin aku ngobrol dengan teman, pilihan itu ibarat anak kecil, makanya tahunya hanya milih ini atau itu, di dalam kehidupan kita tidak bisa bersikap kekakak-kanakan begitu, di sekolah pilihan-pilihan itu ditentukan dengan resep penyedap yang marketebel dari soal-soal pelajaran hingga jurusan semuanya ditempa atas dasar “pilihan” tadi. Sehingga dengan sangat terpaksa ketika aku pernah menjadi wartawan menulis judul “Ini jurusan yang siap menjawab zaman dan industri 4.0”.

Sejatinya, sejak kapan kita punya asumsi mengenai hak pilih? Seakan-akan kita ini punya modal dan berhak kapan saja menentukan pilihan atas apa yang kita miliki, kapan kita merasa memiliki sesuatu atau apa pun? Paham pilihan atau memilih karena kesadaran kita akan memiliki hidup, tapi siapa sebenarnya yang memiliki hidup?. Dosenku tadi ceritanya sangat percaya bahwa hidup itu pilihan, dari bangun tidur dan melakukan aktifitas sehari-hari, menurutnya harus berdasar pilihan yang kita ambil, bahwa kita dihadapkan oleh macam-macam pilihan dan kita harus memilih. Menurutku monoton dan klise yang diomongkannya, tapi ya kembali tadi pandangan-pandangan itu hanya stuck dan tidak dikembangkan atau minimal dipertanyakan lagi. Pilihan hanya fenomena kecil dari kehidupan, aku sendiri lebih suka menyebutnya keputusan, rasa kedewasaan dan tanggung jawabnya lebih bernilai.

 

 


Share:

Sabtu, 20 Maret 2021

Komposisi Berpikir Akurat : Seger Kuwarasan dan Sehat wal Afiat


Dalam sejarah peradaban dunia, jarang sekali ada pola ungkapan syukur yang begitu dalam dan presisi hingga akurat cara berpikirnya seperti orang Jawa. Anak-anak moderen mungkin sudah tidak menggunakan ungkapan syukur atau balasan kabar tersebut, tentu ada hal lain yang mempengaruhi mereka, tapi bolehlah aku mencoba membahasnya meski tidak tahu-tahu amat, walau sementara belum ada data konkret dan baru menggunakan "Suroso" saja. 

Ungkapan "Seger Kuwarasan" sering aku mendengar dari orang-orang tua kala masih kecil, simbahku tepatnya. Dan bayangkan aku baru memahaminya sekarang, betapa hancur sudah akal dan rasaku karena sangat terlambat dalam memahami indahnya ungkapan itu. Dari dua kata itu saja sudah mengantarkanku ke cakrawala. Dan saat ini aku baru menemukan setidaknya level atau tingkatan pemahamannya mungkin "sama" aku juga tidak bisa memastikan itu tentunya, tetapi jika dari khazanah bahasa arab, ungkapan tersebut berbunyi "Sehat wal Afiat". 

Dua-duanya terdapat komponen yang sama "dua kata" wawu itu sebagai penghubung, di dalam bahasa arab bisa berarti maktuf maktuf alaih, na'at man'ut atau sifat mausuf, dan taukid atau penguat, dan mohon jangan menerapkan gramatikalnya secara persis! Jelas ada yang keliru dengan memakai term itu, sekali lagi aku menulis ini dengan mengendarai "roso". Untuk sehat wal afiat sendiri aku belum bisa menemukan makna afiat-nya selain sebagai penguat sehat, sebuah susunan taukid muakkad yang menandakan pentingnya informasi yang diungkapkan, dalam pada itu bunyinya " Sehat wal Afiat" Ke-kongruen-nan yang dibangun dalam satu sambungan. 

Sedang Jawa berbunyi "Seger Kuwarasan", dua kata yang mempunyai makna kesinambungan dan dua variabel yang saling menguatkan, dari wadak dan rohani. Sederhananya gabungan kesehatan badan dan mental, jiwa jadi satu. Ini menunjukkan cara berpikir orang Jawa sangat presisi dan akurat, hanya untuk urusan ungkapan syukur saja mereka bisa meleburkan dua kata, makna jadi begitu indah dan komprehensif. 

"Seger" adalah upaya menjawab sehat badan dalam kondisi yang fit dan prima sebagai syarat menjalani pekerjaan sehari-hari. Lalu "Kuwarasan" merupakan respon untuk menunjukkan keadaan jiwa, mental, batin, dan rohani manusia itu sendiri. Waras menurut orang Jawa namanya sehat akal pikiran dan keempat yang aku sebut tadi. Dengan ungkapan itu sangat jelas bagaimana orang Jawa membuktikan komposisi cara berpikir yang presisi bahkan akurat. Tidak heran peradaban orang Jawa sangat tinggi di berbagai faset kehidupan. 
Share:

Jumat, 19 Maret 2021

Pageblug Mengajari Untuk Tidak Bodoh


Sebuah tesis pernah aku layangkan setahun lalu, ketika pandemi mulai menggerogoti Indonesia. Dan April adalah bulan keputusan saat itu, aku kira hanya butuh 3 sampai 6 bulanan saja untuk mampir bekerja di jasa ekspedisi setelahnya bisa keluar dan mencari yang lain. Sampai habis waktu enam bulan itu aku mulai ragu soal keputusanku yang juga diperkuat oleh kahanan (baca; Covid-19) yang ternyata tidak kunjung mari atau katakanlah menurun secara signifikan, baik Indonesia maupun dunia, meski juga ada bagian negara lain yang "berhasil" dalam menangani wabah itu. 

Jadi mengapa aku masih bertahan, ada yang mengiringi keputusanku dan sebab skala prioritas itu aku berkali-kali mendapat sesuatu yang baru, yang mengindikasikan bahwa kematangan masih jauh dari cahaya. Aku mulai belajar sedikit demi sedikit akan adanya pageblug ini, aku merasakannya, banyak hal terjadi mulai dari PHK besar-besaran, defisit perekonomian, ketakutan, ketertekanan, perputaran nasib yang menyebabkan resah gelisahnya masyarakat. Ada yang mulai penjarahan di Perancis, pembatasan skala besar, lockdown, dan banyak lagi. Kesemuanya menjadikan "kemerdekaan" manusia lumpuh, kebebasan manusia yang dibanggakan telah bungkam oleh datangnya wabah penyakit. 

Selama aku "berkhianat" atas keputusanku, dalam arti pasca-masa tenggang keputusan, aku perbarui lagi keputusan itu yang ternyata berbuah baik kemudian. Kahanan, Kesadaran, dan Pemahaman mengajariku banyak hal. Aku mulai membangun lagi paham paham yang rapuh dan tidak terbentuk, aku mulai belajar waktu efektif, tidur berkualitas dengan tetap kreatif-produktif, menjaga daya tahan tubuh agar supaya siap-kuat menghadapi sesuatu, minimal perihal pekerjaan. Itu semua aku bisikkan ke dalam diriku, jiwaku, batinku dengan agak memaksa dan sugesti. 

Terus berjalan dan terus lelaku, keputusan yang mengiringiku adalah jangan sampai merepotkan orang lain, merupakan prioritas yang aku temukan. Dalam keadaan yang tidak menentu dan sebuah keputusan harus tetap diambil, maka mengerti skala prioritas adalah sebuah fadhilah yang harus ditempuh untuk menentukan keseimbangan laku hidup dan mantep pada keputusan itu. 

Mengalami hidup merupakan anugerah terbesar yang kita rasakan atas izin Allah. Wacana ini akan aku tulis di judul berikutnya.


Share:

Rabu, 17 Maret 2021

Tiada Sastra, Terjadinya Kendat Massal Kehidupan


Bagaimana mungkin dunia yang kita jalani ini akan kehilangan pegangan atau katakanlah jalan untuk mengurusi batin dan rohani manusia, misalnya sastra. Aku tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti sastra akan hilang dari peradaban dan kehidupan manusia, padahal sastra diperlukan dalam faset-faset hidup ini, kita dapat mengerjakan sesuatu dengan baik, halus, sopan, bahkan sampai tataran indah/keindahan. Meski berarti juga bisa berarti keras dalam suatu hal, kritik wacana semisal. Tetapi bolehlah mendahului konklusi tulisan dengan ungkapan “tidak lah demikian, aku yakin sastra masihlah akan berkembang dan semi walau tanpa musim sekali pun, minimal ia ada dalam batin dan nurani manusia”.

Sepertinya terlalu cepat untuk menyimpulkan, namun layaknya sekarang degradasi pemahaman orang mengenai sastra agaknya sudah begitu dipercaya dan mengakar hingga sulit untuk diubah. Memang seberapa penting sastra sehingga kita harus mengesampingkan dunia modern dengan segala pernak-perniknya yang mestinya menggoda?. Kenapa sastra?. Pernahkah berpikir bagaimana jika kehidupan ini tanpa adanya sastra?. Membayangkannya saja ngeri.

Bukankah segala adat istiadat adalah sastra yang bergerak, apakah cara kita berdoa bukanlah merupakan bentuk dari cara bersastra, mengapa ada orang yang memberikan bunga kepada orang yang sedang berperang atau meninggal, bagaimana kok ada namanya sopan santun dibangun, akankah disembunyikan di mana ketika ledakan jiwa sudah tidak dapat dibendung, alih-alih tersalurkan bisa jadi ia akan bunuh diri, bukankah semua itu merupakan bagian dari sastra, manifestasi dari batin dan ekspresi rohani manusia. Apakah manusia sanggup melakukan komunikasi secara spontan dan tanpa adanya sastra, bagaimanakah kita mengantisipasi segala macam probabilitas ini dengan tanpa sastra, malah justru bisa jadi akan terjadi chaos dan pertengkaran kehidupan. Bukankah secara tidak langsung sastra menjadi sintesis dalam mengawal kehidupan tanpa adanya peperangan.

Meski yang sering terjadi menjadi dikotomi. Bahkan Presiden John F. Kennedy mengatakan “jika politik itu kotor puisi akan membersihkannya, jika politik itu bengkok sastra akan meluruskannya”. Sastra sudah dimulai sejak kehidupan digelar, melalui cahaya yang kemudian bertransformasi terus-menerus menjadi semesta ini, dari dahulu peradaban pertama manusia di bumi manusia sudah mengenal sastra sampai sekarang hal itu akan terus diwaris, sebab sasta juga alat perubahan, peradaban, dan kebudayaan, ialah kegelisahan yang mendobrak batin, rohani, dan jiwa manusia, Jadi kapan manusia bebas dari sastra?

Tapi kan banyak juga orang-orang, bahkan anak-anak muda yang doyan sastra, bahkan dengan gegap gempita meraka merangkainya dalam utas quotes, puisi, cerpen, beserta karangan lainnya yang berserakan di media maupun buku? Kita berharapnya begitu, meski tidak heran jika diprosentasikan asumsinya terhadap sastra akan pecah kaca. Belum jika sampai pada kapital industri, ada seorang teman yang ragu akan menerbitkan karyanya, baginya karya itu belum bagus atau belum sempurna, tetapi juga menurut yang aku lihat dia pun akan berpikir keras dan berulang-ulang atas segala pertimbangannya mengenai dunia industri sastra setelah dia memahaminya. Sayangnya dia juga mudah goyah paham dan keputusannya perihal silang sengkarut dunia persastraan, bahkan urusan lainnya. Ini hal yang wajar jika melihat perkembangan wacana dan pendidikan kita yang samar-samar, abu-abu, tidak jelas mengenai pemahaman hidup yang sebenarnya tidak diprioritaskan untuk ke sana selain sebagai pekerja industri.

Untuk itu sangat tidak mengherankan ketika anak-anak muda kehilangan kesadaran dan fungsi semisal sastra dalam kehidupan, mereka hanya bisa membayangkan honor yang awang-awung, yang rapuh manakala pendapatan tidak menentu, terlebih belum melakukan apa-apa saja sudah membicarakan penghasilan. Betapa kehidupan rohani kita telah dimasuki materialisme dan kepalsuan-kepalsuan belaka. Betapa rapuhnya jiwa kita jika sastra hilang dari pemahaman manusia, betapa banyaknya jiwa-jiwa bergentayangan atas pembunuhan diri sendiri jika sastra lenyap dari batin dan rohani manusia. Itu bisa berarti “kendat” massal.

Apa yang tidak menggunakan sastra dalam hidup ini, Tuhan mencontohkan dengan sangat sempurna dalam kalam-kalam-Nya yang tersusun indah bernama Al-Qur’an. Sastra mengapa disebut indah, karena sastra sudah sampai pada pemahaman cinta dan kebenaran, kata Budi Darma “manusia hanya bisa mengatakan kata-kata itu indah karena sastra sendiri sudah merupakan kebenaran tanpa mereka sadari”. Manusia dan sastra merupakan satu kesatuan dalam menempuh kehidupan, bersama cinta kita akan tahu Maha Cahaya itu. 

Share:

Selasa, 16 Maret 2021

Ambrolnya Kemanusiaan


Kemerosotan nilai kemanusiaan atau kiaiku dulu menyebutnya dekadensi moral ini dalam berbagai faset kehidupan manusia sudah semakin bertransformasi dan canggih sebagai bahan kreatifitas orang modern. Kita hanyalah sebuah robot yang diberi paket-paket khusus atau panduan yang mula memang digunakan untuk formula dalam mendidik manusia sekarang, artinya manusia saat ini merupakan produk dari kebrutalan sistem pendidikan masa lampau. Bagaimana kita dalam bersikap di kehidupan telah mencerminkan manusia-manusia modern yang levelnya sudah Avant Garde itu.

Malahan, jika hanya ukuran istilah atau term saja bisa lebih ke degradasi, longsor, atau akan aku sebut saja ambrolnya kemanusiaan. Kita semakin tidak bisa mengendalikan diri untuk sesuatu yang seharusnya dikendalikan, pelampiasan demi pelampiasan kita nikmati dan kita tumbuh kembangkan agar memenuhi hasrat dan nafsu kita yang sedemikian akut dan meledak-ledak. Apa manusia modern bisa melihat manusia sejati sebagaimana diri mereka pada mula dibangun, apa yang kita lihat dan kita rasakan, nilai, dan selainnya tidak lebih dari simbol-simbol formalitas yang kemudian menghamba kepada materi. Seberapa berani kita menjamin jika orang ketemu orang atau ketemu apa pun dapat menggunakan prasyarat nilai “kemanusiaannya” sebagai manusia?.  

Sementara aku pun melihat lagi bagaimana hari ini manusia tidak bisa ketemu manusia, mereka bertemu sebagai hologram dan identitas-identitas yang melekat bergantung maksud dan tujuannya. Ketika berada di pasar apa manusia dapat bertemu selain bertindak sebagai pedagang atas barang yang dikomersilkan, apa guru dan murid kita yang ada di kelas dapat memahami mengapa mereka bertemu dan atas alasan apa mereka bertahan di sana, manakala orang-orang dengan segala keperluannya bertemu di gang-gang, kantor-kantor, di warung, di angkutan, dan di mana saja apakah mereka sadar bahwa pertemuan itu berlandaskan “kemanusiawian”?.

Fenomena biasa yang sebenarnya sudah, sedang, dan sepertinya akan terus berlangsung di kehidupan. Sebenarnya kita punya parameter yang bisa digunakan sehingga kita dapat merasakan dan mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, perasaan manusia dapat menilainya apakah manusia menjadi manusia atau hanya identitas yang di “manusiawikan” atau dalam wadak manusia dalam bentuk darah dan daging.

Memang kita dibatasi tempat dalam sebuah ruangan kecil, sehingga tidak bisa keluar dari padanya, namun setidaknya keterikatan itu hanyalah sebentar saja dan ketika kita sudah keluar seharusnya jiwa kemanusiaan kita kembali lagi dan bukan lagi robot. Namun, sayangnya memang kelangkaan “manusia” ini sekali lagi memang sudah sedemikian wajar dan biasa kita menikmatinya sehingga bawah sadar kita tertutup untuk bangun dan melihat bagaimana “Ambrolnya Kemanusiaan” kita kian bertambah dan sudah semakin tak terperi.

 

 

 

Share:

Senin, 15 Maret 2021

Kenakalan Njeglekno Listrik Orang


Entah mengapa jika aku ingat-ingat masa kecil rasanya menyenangkan sekali, masa depan yang menggandul, namun masa silam terasa begitu menggembirakan dan selalu ada saja informasi yang dulunya tidak "ngeh" hingga akhirnya paham di suatu titik perjalanan berikutnya. 

Pernah dalam kejadian hidupku dimasa kecil usil untuk memadamkan listrik rumah orang melalui sekring yang tertempel di luar. Tepatnya bukan aku yang melakukannya, tapi temanku atas perintahku, berulang-ulang hal itu dilakukan sehingga membuat orang yang terdampak tadi marah-marah. Pasca-insiden itu kami mengurangi kenakalan itu, meski terkadang masih juga melakukannya. 

Selain itu aku juga pernah menyuruh teman yang sama untuk membakar klaras (daun kering pisang) yang berada di belakang rumah temanku yang lain. Anehnya dia nurut saja, dan terjadilah kebakaran klaras itu hingga diketahui tetangga lain dan mengabarkan kepada pemilik pohon pisang jika ada klaras kebakaran di belakang rumahnya. Padahal klaras itu dekat sekali dengan rumah temanku itu, kami yang mengetahui itu langsung kabur, entah bagaimana pekoknya aku waktu itu dan masih sempatnya cengengesan. Kami tidak berpikir bagaimana jika terjadi kebakaran rumah temanku itu. 

Keusilan bahkan kenakalan itu sejak kecil aku membangunnya atau entah bagaimana tepatnya, yang pasti cengengesan atau aku suka menyebutnya pecengisan itu memang rapat di dalam. Hal-hal yang seharusnya berlaku empati atau serius aku sering "menyepelekan"nya, ya itu tadi dengan pecengisan. Sampai simbahku pun tak terlepas dari sifat itu, ketika simbah akan mau berangkat Jum'atan waktu itu pelataran masih "pentong" karena habis hujan, beliau terpeleset dan jatuh akhirnya tidak jadi jum'atan. Aku bersama adikku menertawakan kejadian itu, bagaimana mungkin ada cucu yang sebegitu pekoknya melihat simbahnya terjatuh malah tertawa. 

Macam-macam lagi perihal kejadian-kejadian pekok, ratoto seperti itu, meski tidak separah kenakalan anak zaman sekarang. Tetapi, tetap saja aku rasakan kehidupan kala kecil itu menyenangkan. Ada sesuatu yang pada akhirnya aku sadari sekarang ternyata sudah aku bangun sejak mula, ada juga yang hilang atau entah bertransformasi mewujud yang lain. 
Share:

Minggu, 14 Maret 2021

Embun #16


Hidup adalah kompromi-kompromi yang tak berkesudahan, orang terkuat atau terampuh sekali pun akan mesti menempuh itu, tapi kompromi terbaik yang dikenal manusia yaitu kebijaksanaan.
Share:

Waktu yang Dekat dan Mati yang Memburu

 

Pernah sekali waktu aku nulis soal waktu di blog ini, "Waktu, Momen, dan Ketiadaan" sebuah utas pendek yang kini akan aku sambung kembali mengenai konsep waktu saja. Dari kitab suci maupun dari berbagai wacana hal itu tidak pernah habis dibahas, bahkan hingga nanti pada hari waktu telah usai di gelar di jagat raya. 

Hari ini, ketika aku mengingat masa lalu, sekarang, dan entah masa depan rasa-rasanya, surosoku mengatakan, tepatnya mengakui mengapa waktu-waktu itu terasa padat sekali, atau katakanlah singkat, dan cepat sehingga rasanya dekat jika mengulang sebuah atau rentengan masa. Jadi terlihat semakin terang dan mendapat angin semilir bila ingat "nasihat terbaik adalah ingat mati". 

Sebab perihal kematian tidak bisa mengelak dari waktu, maka jika kita sedang nostalgia entah hanya mengingat sesaat biasanya rekaman itu diputar ulang bahkan seperti masih ingat hawa dan nuansa hingga baunya yang dibangun pada kristal-kristal momen itu. Jadi mengapa ingat mati jadi semakin dekat, pada dasarnya kita diberi pengetahuan dan kesadaran untuk itu bahwa akan ada batas maksimal tubuh manusia jadi mati, meski roh, nyawa, jiwanya tetap ada.

Keduanya kejadian yang bertemu dan sambung tak terpisah, mati ada waktunya, dan waktu pasti akan mati. Kita mengetahui konsep waktu karena kita merasa sadar akan hidup ini, jadi kita buat suatu kesepakatan dunia yang namanya waktu. Setelah kita minimal mati, mungkin konsep waktu dalam rohani kita akan lain, atau mungkin berubah sama sekali seperti yang kita pahami di dunia. Meski begitu, keduanya tidak bisa kita ketahui secara spesifik karena keduanya adalah misteri, rahasia yang hanya Tuhan pemiliknya. 

Keduanya tidak diketahui itulah kita bisa memakai metode iman, amin, aman. Jadi jika saja kita kaitkan mengapa ada term "nasihat terbaik adalah ingat mati", maka karena ketidaktahuan itulah kita menjadi waspada dan terus bertaqwa. Sedang Allah pernah berkalam “kalian tidak kuberi ilmu melainkan hanya sedikit”.

Entah masa lalu, sekarang, dan masa depan hanyalah putaran dan perjalanan waktu, dikatakan berputar karena bisa dirasakan kembali kapan dan di mana pun kita. 


Share:

Sabtu, 13 Maret 2021

Isra' Mi'raj, Peristiwa Diperjalankan dan Terus Berjalan

 

Peristiwa diperjalankan hingga akhirnya terus berjalan bisa dipelajari dari kisah isra' mi'rajnya kanjeng nabi yang agung itu, aku pasti tidak tahu waktu kapannya orang jawa dapat menemukan penemuan yang luar biasa "terus mlaku lan tansah lelaku" dan aku menemukan ketersambungannya dengan kisah isra' mi'raj itu. Mungkin bisa kita katakan orang jawa lebih dulu dari wacana islam yang dibawa kanjeng nabi itu, aku bukannya terlalu membesarkan jawa, namun yang bisa diambil bahwa jika manusia berkembang dengan baik melalui fungsi dan potensi yang dimilikinya maka sebuah pemahaman yang berarti akan menjadi budaya dan peradaban itu akan terbentuk sebagaimana mestinya manusia berlaku. 

Peristiwa diperjalankan itu sendiri merupakan kisah kehidupan dan pada saat yang sama Allah menghamparkan kepada beliau macam-macam peristiwa kehidupan yang agung nan luar biasa, baik yang telah lampau maupun peristiwa yang akan datang. Jika kita ambil sudut pandang "diperjalankan"-nya kita dapat menemukan hal yang sama dalam konsep laku hidup orang jawa yang aku sebut tadi. Boleh saja kita berasumsi jika orang jawa mungkin punya konsep berbeda tentang Tuhan, entah menurut mereka itu "diperjalankan" seperti wacana agama islam atau "terus berjalan" dalam pandangan manusia dalam kesejatian dalam menempuh laku hidup spiritual sebagai makhluk yang percaya akan adanya kekuatan besar di luar dirinya. Bisa juga kita bilang, konsep "terus berjalan" merupakan kontinuasi dari laku Tuhan "memperjalankan hambanya" lalu dipraktikkan kepada kanjeng nabi Muhammad, maka kita menyebutnya "diperjalankan". 

Isra' mi'raj sendiri bagi kita masih dalam tataran meng-ulang tahuni atau memperiangati dari dahulu. aku tidak, belum tahu ketika kita memperingatinya mungkin dapat memaknai dan memahami secara lebih dalam makna-mkana dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya adalah anugerah yang sebenarnya bukan hanya nabi Muhammad saja yang menikmatinya, namun kita semua bisa dan dapat memaknai ragam peristiwa tersebut sebagai piweling, pepiling, dan laku spiritual hidup dalam mendekati wacana agama dan dapat terus berjalan memaknai dan memahami serta melakoninya. 

Hingga kini, tak ubahnya seperti wacana-wacana lainnya, Isra Mi'raj masih sebagai formalitas satu dari serangkaian wacana islam. Pada dasarnya, formalitas hanyalah standarisasi bentuk yang masih dijaga, tapi enggan bertransformasi menjadi ruang yang dapat dimaknai dan dijalani secara universal. 

Share:

Rabu, 10 Maret 2021

Embun #15


Cinta adalah ilmu tua. Sebab tua maka ia telah khatam, sudah tidak butuh alasan dan terbebas dari segala macam tuduhan dan kecurigaan. Itu yang membedakannya dengan ilmu. Hulu hilirnya sampai dan bertemu, karena hidup ini dibangun oleh cinta tentu hanya makna dan manfaat yang ada, bukan alasan.

Share:

Idealisme Kalah Dengan Cuan...!!??

 

Aku tidak memungkiri jika sekarang hidup di era modernitas yang memaksa orang harus berubah kualitas hidupnya lebih ke materi atau dunia kapitalis, hingga tidak heran segala wacana yang berkembang adalah hanya jual beli, dol tinuku, bahkan pendidikan dan dakwah. 

Kemarin sekali ada seorang teman yang berbicara keras mengenai persoalan tadi yang menurutnya menjadi lazim dijalankan atau dilaksanakan di zaman "ajaib" ini, sebagaimana kita memesan/order barang/makanan/sesuatu yang hanya duduk di tempat barang itu dapat sampai kepada kita. Ajaib bukan, bukankah ini sudah merupakan bagian dari surga, jika memakai term lama, "di surga, apa yang kita inginkan langsung terkabul". Memang ada jaraknya, hal tersebut baru terjadi bila kita mempunyai persyaratan dasar untuk terkabulnya, minimal uang atau yang dengan semangat temanku menyebutnya cuan. Dan aku jadi tambah maklum jika dia dengan membara ngobrol soal itu karena dia alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, jadi islam itu bisnis? sudahlah..

Yang terasa klise, bahan jagongan itu memang menjadi biasa dan maklum bagi kita, pernah dulu juga ada teman yang membahas hal demikian. Tetap saja konklusinya berkisar cuan, bahwa kita profesional sebab ada cuan, ceperan, bonus, dan lainnya. Bahwa kita jadi lebih produktif karena wujudnya penghasilan, bahwa yang namanya semangat itu harus ditopang dengan uang, dan perempuan adalah pelengkap di samping penderita sebagai upaya untuk lebih semangat lagi dalam berkarya dan berdaya juang cuan, bahwa semua tidak terjadi itu sudah biasa dan kita disarankan untuk lebih bersabar dan mendengar lagi dengan saksama nyainyian bos-bos, konglomerat, taipan atau sekadar motivator gratisan yang banyak beredar di media-media.

Aku tidak punya masalah dengan pandangan seperti itu, tetapi aku juga punya pandangan sendiri mengenai pokok bahasan tersebut. Jelas tidak jika aku mengatakan bahwa aku tidak butuh materi, minimal untuk sekadar survive dan menjaga badan itu perlu, namun sebagai pedoman atau jalan hidup ini tidak masuk akal. Ini bukan menyalahkan siapa-siapa karena hidup manusia tidak sama dari berbagai alasan yang menjadikan sebab akibat atau tujuannya, hanya saja terasa pusing jika hidup cuman memikirkan cuan. 

Temanku pikir, ide, idealisme itu kalah atau akan kalah dengan cuan, aku tidak bisa bicara banyak jika dengan pedagang, sebab nelangsanya kita dihadapkan oleh banyak kenyataan yang membutuhkan popularitas dan kedigdayaan materi, sementara kita sendiri masih berjuang untuk sekadar menghidupi diri sendiri dan keluarga saja banyak yang kesusahan, belum lagi jika kas rakyat dikorupsi pula, pekerjaan serabutan, penghasilan tidak jelas, menanggung jawab kebutuhan, anak dan istri, belum lagi digoda tetangga dan tetap memegang erat mahkota gengsi agar tetap berdiri, penyakit menggerogoti, mahasiswa kehilangan arah perjuangan pendidikan dan pembelajaran, pemuda malas-malasan, pegangguran tidak terdata, media tidak punya dedikasi terhadap nilai-nilai kehidupan, budaya dan etika dan makin mengumbar posisinya sebagai pencari laba karena meraka bagian dari industri kreatif, kini penderitaan makin lengkap dengan adanya corona yang telah berulang tahun khususnya di Indonesia dan masih banyak sekali kompleksitas, komplikasi permasalahan yang mengepung, bahkan sudah menjepit. 

Lalu kami bisa apa selain "mencuri"..?

Dengan sempurna dicontohkan oleh pejabat negara. Belum lagi perselisihan para Punggawa partai makin memperkeruh suasana, memupuk kebusukan dan mencemari atmosfer afiat dan wacana kehidupan sehat. Seger kewarasan hilang, segar dan waras kita dirampas oleh dunia kemunafikan dan berhala kehidupan.

Lantas kami bisa apa selain menyembah berhala....!!?? 

Share:

Selasa, 09 Maret 2021

Tidak Ada Yang Tidak Dijamin


"Dan tidak ada makhluk bergerak di bumi yang tidak dijamin rejekinya oleh Allah.." kalam-Nya suatu kali di kitab suci. Dan Alhamdulillah aku dapat menyaksikan keajaiban dan kasunyatan itu sendiri secara empiris nan aktual di sini.

Jika mas Iman Budhi Santosa dapat menyaksikan keajaiban "kendat"-nya seekor kalong, maka aku bersyukur dan turut bahagia dapat juga mengetahui fakta kehidupan alam yang telah Allah titahkan di dalam wacana semesta-Nya ini.


Di suatu sore hari kamis tanggal 18 Februari 2021, sehabis kerja aku menemukan "susoh" atau dalam bahasa Indonesianya disebut sarang burung, yang jatuh dan kelihatannya seperti kosong, seperti sudah tidak dipakai oleh pemiliknya. Setelah aku ambil ternyata ada tiga anak burung "diku" mungkin di dalamnya, aku tempatkan sementara di lincak depan kontrakan, baru esoknya aku izin ambilkan tempat di cepitan pohon mangga depan kontrakan. 

Apa menariknya cerita itu? 

Aku beri makan anak-anak burung itu sekadarnya saja, terpikir beli pakan burung, tapi juga agak ragu. Kebetulan temanku ada beras, nah kuberilah burung itu beras yang nyatanya masih belum layak seharusnya untuk makan itu. Tetap saja aku tinggalkan di sarangnya siapa tahu bisa dimakan, esok hari piyik-piyik itu bertambah besar atau berkembang, terpikir heran dibuatnya, sebab pertama kali meloloh piyik itu tidak ada yang mau, tapi nyatanya keesokan hari mereka telah tumbuh. 

Sempat terlintas, mungkin induknya menemukan sarangnya itu, jadi dia yang ngasih makan anak-anaknya. Namun juga ragu, karena tidak pernah aku pergoki ditilik induknya. Jadi siapa yang membesarkannya, atau setidaknya siapa yang ngasih makan piyik-piyik itu? 

Yang menarik juga, selang satu hari setelah menemukan anak burung itu, setelah aku taruh di cepitan dahan pohon mangga waktu itu aku menaruhnya sewajarnya, sealami umumnya, ndelalah siang itu hingga menjelang sore hujan turun cukup deras, aku teringat anak-anak burung itu. Agak resah juga, sebab tidak ada atap yang melindunginya dari hujan selain hanya dahan-dahan dan dedaunan saja. Secara "ajaib", sarang itu berbalik sembilan puluh derajat dari awal kutaruh, padahal aku jepitkan agak kencang dan sudah peret kurasa, namun yang terjadi seperti itu. Seperti ada yang menyorong, menggerakkan sarangnya, burung itu masih piyik, jadi agak mustahil dilogika, mungkin induknya, kalau angin mungkin saja, tapi tata letaknya tetap teratur, tepat seperti ada yang sengaja mengubahnya. Siapakah itu? 

Makin hari perkembangannya semakin baik dan tumbuh besar, hingga sudah mulai mau diloloh pakan. Dan sekitar 4-5 hari dari awal penemuan dan pantauan, salah satu piyik itu hilang satu, aku pikir sudah bisa terbang, kemudian selang dua harinya satu lagi keluar sambil ketahuan ia latihan terbang pergi, masih dibawah pohon yang sama. Namun aku mengembalikannya, agar yang dua terakhir bisa keluar bersama-sama. 

Benar saja di hari ke delapan atau tanggal 25 mereka telah hilang dari sarangnya. Dan aku pikir tugasku mengawal selesai, itu alibi saja sih. 

Aku merasa tidak melakukan apa-apa, tapi kenyataannya anak-anak burung itu dapat memenuhi persyaratan dasar agar mereka dapat hidup terbang dan keluar. Jadi siapa sebenarnya yang mengurusnya? 

Direct saja pikiranku kembali ke awal tadi. 
Share:

Senin, 01 Maret 2021

Kita Itu Menderita Apa..!!??


Dalam konsep pemahaman atau katakanlah peristiwa kehidupan ada yang menyebut-nyebut penderitaan, jalan sunyi, dan istilah-istilah berat lain menjadi harga tinggi dipasaran kehidupan. Sebenarnya jika ditilik pandang lagi rasa-rasanya hal-hal tersebut bisa jadi terlalu kita dramatisasi atau kita manipulasi dan monopoli. 

Kalau jujur, sebetulnya memang apa yang membuat kita dapat bicara seperti itu. Penderitaan yang bagaimana sehingga kita cukup punya hak untuk ngomong, derita, jalan sunyi, gelandang kehidupan dll?. Menurutku kita belum layak bicara demikian, kita masih punya potensi yang dapat didayagunakan. Derita apa yang sebenarnya kita alami hingga berakibat ngomong sambat? Apa kita tidak melihat para nabi sebelumnya, apalagi Kanjeng Nabi Muhammad SAW, bagaimana beliau-beliau ini sanggup dan kuat mengahadapi dan menghayati penderitaan yang dialami?. 

Apa kita pernah semenderita Kanjeng Nabi Muhammad yang membiarkan cucu-cucunya bakal dibunuh oleh orang yang bahkan pernah diselamatkannya, (Abu Sufyan) yang menurunkan Muawiyah?. Memakai parameter apa sehingga kita sesumbar bahwa penderitaan kitalah yang lebih hebat ketimbang Nabi Ayub? Siapa yang berani dibakar seperti Nabi Ibrahim? Kekuasaan yang bagaimana yang pernah kita hadapi bahkan kita tumbangkan untuk dapat sekadar bersanding bersama duduk penderitaan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim? 

Sampai mana kita membaca untuk tahu kisah perang Baratayuda di Mahabarata yang penuh drama dan kewaskitan perihal bunuh membunuh yang sudah diketahui? Apa Sri Kresna sampai hati  hingga melayangkan surat kepada anak-anak Pandawa padahal ia tahu mereka akan mati terbunuh di perang besar Baratayudha, di lembah padang Kurusetra, yang menurut informasi ada di sekitar Magelang-Wonosobo? 

Atas paham yang bagaimana kita mudah mengeluh dan sambat untuk hal yang belum sama sekali dianggap mencukupi standar minimal sambat? 

Ini hanya sentimental hati saya yang mengatakan, untuk itu aku tidak akan menentang pendapat orang lain soal ini. Masih banyak yang dapat dilakukan sebelum kita berakhir pada kata sambat, sehat, semangat, fisik yang masih terjaga, kuat, dll yang bisa di daftar sendiri. 
Share:

Blog Archive