Di sini Ceritanya Wongsello


Selasa, 30 Maret 2021

Gie dan Kesepian


Seorang teman dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian; penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya (kakaknya Arif Budiman alias Soe Hok Djin). Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: “Ya, saya siap”. 

Untuk karangan ini aku meminjam sosok Gie, sebab dia salah seorang yang mengatakan kesepian bukan cuma omong kosong seperti mahasiswa yang sok-sokan, tapi tiarap ketika menghadapi kekuasaan yang membelenggu. Perihal suatu surat yang pernah ia dapatkan dari seorang teman dari Amerika seperti yang aku kutib di atas, waktu itu dia merasakan kesepian yang luar biasa dalam hidupnya, dari kekecewaan politik berlangsungnya suatu negara yang dikendarai pemerintahan yang amburadul, teman-teman seperjuangan yang tidak punya dedikasi dan komitmen terhadap apa yang diperjuangkan, penolakan berkali-kali dari orang tua cewek yang dia pacari, kalau tidak salah sampai tiga kali ia pacaran dan selama itu pula ia selalu ditolak. Menurutnya, dia dikagumi karena keberaniannya, namun mereka menolak ketika anaknya diminta in group.

Betapa menderitanya dia, teman-teman yang dipercaya menusuknya dari belakang, semuanya lengkap menghantamnya sekaligus, ditambah mamanya juga tidak mengerti apa yang tengah ia perjuangkan dan malah menyuruhnya menghentikan aktivitas yang membahayakan dirinya. Mungkin dalam situasi seperti itulah ia tinggalkan Jakarta dan menerapi dirinya di Semeru, akhir dari perjalanan hidupnya. Dan mungkin aku sedikit bisa merasakan apa yang dia rasakan saat itu, bukan karena pengalaman yang serupa, tetapi lebih mengendarai rasa surosonya melalui bahasa yang ia sampaikan. Boleh juga dikatakan kalau aku mencoba memahaminya secara empati, selain dulu memang pernah mengaguminya sebagai anak muda yang pemberani.

Akan selalu ada anak alam yang dilahirkan kehidupan mampu memahami dan merasakan kepedihan dunia lalu ia acungkan tinju untuk melakukan perubahan, akan terus menerus ada nurani di dalam tirani di mana pada saatnya nanti akan ada suksesi atau pun revolusi.

Surat yang diterima Gie juga merupakan sebuah respon dari temannya dalam kesejarahan hidup menurut pandangannya, dan memang kesepian dan keterasingan selalu membayang kepada mereka yang tetap menjaga nurani dan kebenaran. Tetapi, jawaban itu dengan jelas tertulis di “Catatan Harian Seorang Demonstran” ..

...”Lebih baik diasingkan, dari pada menyerah terhadap kemunafikan..”   

Dalam ingatanku dulu, aku pernah membayangkan bisa mengunjunginya di lembah Mandalawangi, meskipun juga terdapat nisan di Museum Taman Prasasti, Jakarta.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive