Kemerosotan
nilai kemanusiaan atau kiaiku dulu menyebutnya dekadensi moral ini dalam
berbagai faset kehidupan manusia sudah semakin bertransformasi dan canggih
sebagai bahan kreatifitas orang modern. Kita hanyalah sebuah robot yang diberi
paket-paket khusus atau panduan yang mula memang digunakan untuk formula dalam
mendidik manusia sekarang, artinya manusia saat ini merupakan produk dari
kebrutalan sistem pendidikan masa lampau. Bagaimana kita dalam bersikap di
kehidupan telah mencerminkan manusia-manusia modern yang levelnya sudah Avant
Garde itu.
Malahan,
jika hanya ukuran istilah atau term saja bisa lebih ke degradasi, longsor, atau
akan aku sebut saja ambrolnya kemanusiaan. Kita semakin tidak bisa
mengendalikan diri untuk sesuatu yang seharusnya dikendalikan, pelampiasan demi
pelampiasan kita nikmati dan kita tumbuh kembangkan agar memenuhi hasrat dan
nafsu kita yang sedemikian akut dan meledak-ledak. Apa manusia modern bisa
melihat manusia sejati sebagaimana diri mereka pada mula dibangun, apa yang
kita lihat dan kita rasakan, nilai, dan selainnya tidak lebih dari
simbol-simbol formalitas yang kemudian menghamba kepada materi. Seberapa berani
kita menjamin jika orang ketemu orang atau ketemu apa pun dapat menggunakan
prasyarat nilai “kemanusiaannya” sebagai manusia?.
Sementara
aku pun melihat lagi bagaimana hari ini manusia tidak bisa ketemu manusia,
mereka bertemu sebagai hologram dan identitas-identitas yang melekat bergantung
maksud dan tujuannya. Ketika berada di pasar apa manusia dapat bertemu selain
bertindak sebagai pedagang atas barang yang dikomersilkan, apa guru dan murid
kita yang ada di kelas dapat memahami mengapa mereka bertemu dan atas alasan
apa mereka bertahan di sana, manakala orang-orang dengan segala keperluannya
bertemu di gang-gang, kantor-kantor, di warung, di angkutan, dan di mana saja
apakah mereka sadar bahwa pertemuan itu berlandaskan “kemanusiawian”?.
Fenomena
biasa yang sebenarnya sudah, sedang, dan sepertinya akan terus berlangsung di
kehidupan. Sebenarnya kita punya parameter yang bisa digunakan sehingga kita
dapat merasakan dan mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, perasaan manusia
dapat menilainya apakah manusia menjadi manusia atau hanya identitas yang di
“manusiawikan” atau dalam wadak manusia dalam bentuk darah dan daging.
Memang
kita dibatasi tempat dalam sebuah ruangan kecil, sehingga tidak bisa keluar
dari padanya, namun setidaknya keterikatan itu hanyalah sebentar saja dan
ketika kita sudah keluar seharusnya jiwa kemanusiaan kita kembali lagi dan
bukan lagi robot. Namun, sayangnya memang kelangkaan “manusia” ini sekali lagi
memang sudah sedemikian wajar dan biasa kita menikmatinya sehingga bawah sadar
kita tertutup untuk bangun dan melihat bagaimana “Ambrolnya Kemanusiaan” kita
kian bertambah dan sudah semakin tak terperi.
0 komentar:
Posting Komentar