Di sini Ceritanya Wongsello


Selasa, 16 Maret 2021

Ambrolnya Kemanusiaan


Kemerosotan nilai kemanusiaan atau kiaiku dulu menyebutnya dekadensi moral ini dalam berbagai faset kehidupan manusia sudah semakin bertransformasi dan canggih sebagai bahan kreatifitas orang modern. Kita hanyalah sebuah robot yang diberi paket-paket khusus atau panduan yang mula memang digunakan untuk formula dalam mendidik manusia sekarang, artinya manusia saat ini merupakan produk dari kebrutalan sistem pendidikan masa lampau. Bagaimana kita dalam bersikap di kehidupan telah mencerminkan manusia-manusia modern yang levelnya sudah Avant Garde itu.

Malahan, jika hanya ukuran istilah atau term saja bisa lebih ke degradasi, longsor, atau akan aku sebut saja ambrolnya kemanusiaan. Kita semakin tidak bisa mengendalikan diri untuk sesuatu yang seharusnya dikendalikan, pelampiasan demi pelampiasan kita nikmati dan kita tumbuh kembangkan agar memenuhi hasrat dan nafsu kita yang sedemikian akut dan meledak-ledak. Apa manusia modern bisa melihat manusia sejati sebagaimana diri mereka pada mula dibangun, apa yang kita lihat dan kita rasakan, nilai, dan selainnya tidak lebih dari simbol-simbol formalitas yang kemudian menghamba kepada materi. Seberapa berani kita menjamin jika orang ketemu orang atau ketemu apa pun dapat menggunakan prasyarat nilai “kemanusiaannya” sebagai manusia?.  

Sementara aku pun melihat lagi bagaimana hari ini manusia tidak bisa ketemu manusia, mereka bertemu sebagai hologram dan identitas-identitas yang melekat bergantung maksud dan tujuannya. Ketika berada di pasar apa manusia dapat bertemu selain bertindak sebagai pedagang atas barang yang dikomersilkan, apa guru dan murid kita yang ada di kelas dapat memahami mengapa mereka bertemu dan atas alasan apa mereka bertahan di sana, manakala orang-orang dengan segala keperluannya bertemu di gang-gang, kantor-kantor, di warung, di angkutan, dan di mana saja apakah mereka sadar bahwa pertemuan itu berlandaskan “kemanusiawian”?.

Fenomena biasa yang sebenarnya sudah, sedang, dan sepertinya akan terus berlangsung di kehidupan. Sebenarnya kita punya parameter yang bisa digunakan sehingga kita dapat merasakan dan mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, perasaan manusia dapat menilainya apakah manusia menjadi manusia atau hanya identitas yang di “manusiawikan” atau dalam wadak manusia dalam bentuk darah dan daging.

Memang kita dibatasi tempat dalam sebuah ruangan kecil, sehingga tidak bisa keluar dari padanya, namun setidaknya keterikatan itu hanyalah sebentar saja dan ketika kita sudah keluar seharusnya jiwa kemanusiaan kita kembali lagi dan bukan lagi robot. Namun, sayangnya memang kelangkaan “manusia” ini sekali lagi memang sudah sedemikian wajar dan biasa kita menikmatinya sehingga bawah sadar kita tertutup untuk bangun dan melihat bagaimana “Ambrolnya Kemanusiaan” kita kian bertambah dan sudah semakin tak terperi.

 

 

 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive