Di sini Ceritanya Wongsello


Rabu, 17 Maret 2021

Tiada Sastra, Terjadinya Kendat Massal Kehidupan


Bagaimana mungkin dunia yang kita jalani ini akan kehilangan pegangan atau katakanlah jalan untuk mengurusi batin dan rohani manusia, misalnya sastra. Aku tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti sastra akan hilang dari peradaban dan kehidupan manusia, padahal sastra diperlukan dalam faset-faset hidup ini, kita dapat mengerjakan sesuatu dengan baik, halus, sopan, bahkan sampai tataran indah/keindahan. Meski berarti juga bisa berarti keras dalam suatu hal, kritik wacana semisal. Tetapi bolehlah mendahului konklusi tulisan dengan ungkapan “tidak lah demikian, aku yakin sastra masihlah akan berkembang dan semi walau tanpa musim sekali pun, minimal ia ada dalam batin dan nurani manusia”.

Sepertinya terlalu cepat untuk menyimpulkan, namun layaknya sekarang degradasi pemahaman orang mengenai sastra agaknya sudah begitu dipercaya dan mengakar hingga sulit untuk diubah. Memang seberapa penting sastra sehingga kita harus mengesampingkan dunia modern dengan segala pernak-perniknya yang mestinya menggoda?. Kenapa sastra?. Pernahkah berpikir bagaimana jika kehidupan ini tanpa adanya sastra?. Membayangkannya saja ngeri.

Bukankah segala adat istiadat adalah sastra yang bergerak, apakah cara kita berdoa bukanlah merupakan bentuk dari cara bersastra, mengapa ada orang yang memberikan bunga kepada orang yang sedang berperang atau meninggal, bagaimana kok ada namanya sopan santun dibangun, akankah disembunyikan di mana ketika ledakan jiwa sudah tidak dapat dibendung, alih-alih tersalurkan bisa jadi ia akan bunuh diri, bukankah semua itu merupakan bagian dari sastra, manifestasi dari batin dan ekspresi rohani manusia. Apakah manusia sanggup melakukan komunikasi secara spontan dan tanpa adanya sastra, bagaimanakah kita mengantisipasi segala macam probabilitas ini dengan tanpa sastra, malah justru bisa jadi akan terjadi chaos dan pertengkaran kehidupan. Bukankah secara tidak langsung sastra menjadi sintesis dalam mengawal kehidupan tanpa adanya peperangan.

Meski yang sering terjadi menjadi dikotomi. Bahkan Presiden John F. Kennedy mengatakan “jika politik itu kotor puisi akan membersihkannya, jika politik itu bengkok sastra akan meluruskannya”. Sastra sudah dimulai sejak kehidupan digelar, melalui cahaya yang kemudian bertransformasi terus-menerus menjadi semesta ini, dari dahulu peradaban pertama manusia di bumi manusia sudah mengenal sastra sampai sekarang hal itu akan terus diwaris, sebab sasta juga alat perubahan, peradaban, dan kebudayaan, ialah kegelisahan yang mendobrak batin, rohani, dan jiwa manusia, Jadi kapan manusia bebas dari sastra?

Tapi kan banyak juga orang-orang, bahkan anak-anak muda yang doyan sastra, bahkan dengan gegap gempita meraka merangkainya dalam utas quotes, puisi, cerpen, beserta karangan lainnya yang berserakan di media maupun buku? Kita berharapnya begitu, meski tidak heran jika diprosentasikan asumsinya terhadap sastra akan pecah kaca. Belum jika sampai pada kapital industri, ada seorang teman yang ragu akan menerbitkan karyanya, baginya karya itu belum bagus atau belum sempurna, tetapi juga menurut yang aku lihat dia pun akan berpikir keras dan berulang-ulang atas segala pertimbangannya mengenai dunia industri sastra setelah dia memahaminya. Sayangnya dia juga mudah goyah paham dan keputusannya perihal silang sengkarut dunia persastraan, bahkan urusan lainnya. Ini hal yang wajar jika melihat perkembangan wacana dan pendidikan kita yang samar-samar, abu-abu, tidak jelas mengenai pemahaman hidup yang sebenarnya tidak diprioritaskan untuk ke sana selain sebagai pekerja industri.

Untuk itu sangat tidak mengherankan ketika anak-anak muda kehilangan kesadaran dan fungsi semisal sastra dalam kehidupan, mereka hanya bisa membayangkan honor yang awang-awung, yang rapuh manakala pendapatan tidak menentu, terlebih belum melakukan apa-apa saja sudah membicarakan penghasilan. Betapa kehidupan rohani kita telah dimasuki materialisme dan kepalsuan-kepalsuan belaka. Betapa rapuhnya jiwa kita jika sastra hilang dari pemahaman manusia, betapa banyaknya jiwa-jiwa bergentayangan atas pembunuhan diri sendiri jika sastra lenyap dari batin dan rohani manusia. Itu bisa berarti “kendat” massal.

Apa yang tidak menggunakan sastra dalam hidup ini, Tuhan mencontohkan dengan sangat sempurna dalam kalam-kalam-Nya yang tersusun indah bernama Al-Qur’an. Sastra mengapa disebut indah, karena sastra sudah sampai pada pemahaman cinta dan kebenaran, kata Budi Darma “manusia hanya bisa mengatakan kata-kata itu indah karena sastra sendiri sudah merupakan kebenaran tanpa mereka sadari”. Manusia dan sastra merupakan satu kesatuan dalam menempuh kehidupan, bersama cinta kita akan tahu Maha Cahaya itu. 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive