Bagaimana mungkin
dunia yang kita jalani ini akan kehilangan pegangan atau katakanlah jalan untuk
mengurusi batin dan rohani manusia, misalnya sastra. Aku tidak bisa membayangkan
jika suatu saat nanti sastra akan hilang dari peradaban dan kehidupan manusia,
padahal sastra diperlukan dalam faset-faset hidup ini, kita dapat mengerjakan
sesuatu dengan baik, halus, sopan, bahkan sampai tataran indah/keindahan. Meski
berarti juga bisa berarti keras dalam suatu hal, kritik wacana semisal. Tetapi bolehlah
mendahului konklusi tulisan dengan ungkapan “tidak lah demikian, aku yakin
sastra masihlah akan berkembang dan semi walau tanpa musim sekali pun, minimal
ia ada dalam batin dan nurani manusia”.
Sepertinya terlalu
cepat untuk menyimpulkan, namun layaknya sekarang degradasi pemahaman orang
mengenai sastra agaknya sudah begitu dipercaya dan mengakar hingga sulit untuk
diubah. Memang seberapa penting sastra sehingga kita harus mengesampingkan dunia
modern dengan segala pernak-perniknya yang mestinya menggoda?. Kenapa sastra?. Pernahkah
berpikir bagaimana jika kehidupan ini tanpa adanya sastra?. Membayangkannya saja
ngeri.
Bukankah segala
adat istiadat adalah sastra yang bergerak, apakah cara kita berdoa bukanlah
merupakan bentuk dari cara bersastra, mengapa ada orang yang memberikan bunga
kepada orang yang sedang berperang atau meninggal, bagaimana kok ada namanya sopan
santun dibangun, akankah disembunyikan di mana ketika ledakan jiwa sudah tidak
dapat dibendung, alih-alih tersalurkan bisa jadi ia akan bunuh diri, bukankah
semua itu merupakan bagian dari sastra, manifestasi dari batin dan ekspresi
rohani manusia. Apakah manusia sanggup melakukan komunikasi secara spontan dan
tanpa adanya sastra, bagaimanakah kita mengantisipasi segala macam probabilitas
ini dengan tanpa sastra, malah justru bisa jadi akan terjadi chaos dan
pertengkaran kehidupan. Bukankah secara tidak langsung sastra menjadi sintesis
dalam mengawal kehidupan tanpa adanya peperangan.
Meski yang sering
terjadi menjadi dikotomi. Bahkan Presiden John F. Kennedy mengatakan “jika
politik itu kotor puisi akan membersihkannya, jika politik itu bengkok sastra
akan meluruskannya”. Sastra sudah dimulai sejak kehidupan digelar, melalui
cahaya yang kemudian bertransformasi terus-menerus menjadi semesta ini, dari
dahulu peradaban pertama manusia di bumi manusia sudah mengenal sastra sampai
sekarang hal itu akan terus diwaris, sebab sasta juga alat perubahan, peradaban,
dan kebudayaan, ialah kegelisahan yang mendobrak batin, rohani, dan jiwa
manusia, Jadi kapan manusia bebas dari sastra?
Tapi kan banyak
juga orang-orang, bahkan anak-anak muda yang doyan sastra, bahkan dengan gegap
gempita meraka merangkainya dalam utas quotes, puisi, cerpen, beserta karangan
lainnya yang berserakan di media maupun buku? Kita berharapnya begitu, meski
tidak heran jika diprosentasikan asumsinya terhadap sastra akan pecah kaca. Belum
jika sampai pada kapital industri, ada seorang teman yang ragu akan menerbitkan
karyanya, baginya karya itu belum bagus atau belum sempurna, tetapi juga
menurut yang aku lihat dia pun akan berpikir keras dan berulang-ulang atas
segala pertimbangannya mengenai dunia industri sastra setelah dia memahaminya. Sayangnya
dia juga mudah goyah paham dan keputusannya perihal silang sengkarut dunia
persastraan, bahkan urusan lainnya. Ini hal yang wajar jika melihat
perkembangan wacana dan pendidikan kita yang samar-samar, abu-abu, tidak jelas
mengenai pemahaman hidup yang sebenarnya tidak diprioritaskan untuk ke sana
selain sebagai pekerja industri.
Untuk itu sangat
tidak mengherankan ketika anak-anak muda kehilangan kesadaran dan fungsi
semisal sastra dalam kehidupan, mereka hanya bisa membayangkan honor yang
awang-awung, yang rapuh manakala pendapatan tidak menentu, terlebih belum
melakukan apa-apa saja sudah membicarakan penghasilan. Betapa kehidupan rohani
kita telah dimasuki materialisme dan kepalsuan-kepalsuan belaka. Betapa rapuhnya
jiwa kita jika sastra hilang dari pemahaman manusia, betapa banyaknya jiwa-jiwa
bergentayangan atas pembunuhan diri sendiri jika sastra lenyap dari batin dan
rohani manusia. Itu bisa berarti “kendat” massal.
Apa yang tidak
menggunakan sastra dalam hidup ini, Tuhan mencontohkan dengan sangat sempurna
dalam kalam-kalam-Nya yang tersusun indah bernama Al-Qur’an. Sastra mengapa
disebut indah, karena sastra sudah sampai pada pemahaman cinta dan kebenaran,
kata Budi Darma “manusia hanya bisa mengatakan kata-kata itu indah karena
sastra sendiri sudah merupakan kebenaran tanpa mereka sadari”. Manusia dan
sastra merupakan satu kesatuan dalam menempuh kehidupan, bersama cinta kita
akan tahu Maha Cahaya itu.
0 komentar:
Posting Komentar