Di sini Ceritanya Wongsello


Kamis, 31 Desember 2020

Prioritas, Skala Prioritas, dan Stimulus Pergerakan


Singkat kata, pemahaman tentang prioritas dapat menghambat kemalasan dan satu solusi untuk menjawab mudahnya pergerakan atau mobilisasi. 

Ketika orang berada dalam kebingungan atau masih lemah dalam hal keputusan dan kemalasan, maka ada hal yang bisa dilakukan seperti mengasah kepekaan meningkatkan  prioritas untuk skala lingkungan sekitar. Ini cara mudah untuk meningkatkan pergerakan dan mengurangi kemalasan. Dengan memahami keadaan sekitar, maka prioritas yang bisa dilakukan akan semakin bermunculan dan banyak yang bisa dikerjakan. Alasan orang terlalu banyak beralasan adalah karena mereka tidak bisa melihat prioritas yang sebenarnya sederhana untuk dirasakan dan hanya dengan menggunakan kepekaan sedikit saja banyak hal yang bisa dilakukan, bahkan untuk mempermudah ke depannya. 

Skala prioritas adalah satu cara atau solusi untuk menyelesaikan keadaan sekitar dengan secara sederhana. Hal ini bisa dikembangkan untuk skala prioritas yang lebih besar, karena keadaan mikro maka skala yang diperlukan hanya sebatas kesadaran dan kepekaan di lingkungan yang sangat sempit. Bayangkan jika ini dilakukan dalam skala besar, manfaat besar akan lebih terasa dirasakan banyak orang. 

Dalam hal personal ini pun sudah bermanfaat, jika dapat dipahami secara global atau banyak orang, menurutku sudah tidak ada lagi orang beralibi dan beralasan dengan segala musababnya. Mengapa ada orang begitu sambat untuk hal yang sederhana, menurutku juga karena kurangnya kesadaran dan mau memahami keadaan sekitar saja. Aku selalu menyayangkan kenapa orang bertanya hal yang sama terus saja, padahal itu sudah pernah ditanyakan setiap bertemu denganku. Ini ada sesuatu yang aneh, ada yang beralasan karena butuh legalisasi dari orang, dan mestinya banyak alasan orang lain yang dalam  hal sama. Aku sudah tidak mempunyai jawaban untuk merespon pertanyaan-pertanyaan demikian. Sudahilah pertanyaan-pertanyaan tidak penting seperti itu, padahal menurut jawa sendiri sudah diajarkan mutiara "terus mlaku lan tansah lelaku". Jelas dan terang. 
Share:

Kemurnian Melenyapkan Ketakutan


Ada sebuah fenomena yang kian terkenal dipahami orang-orang dengan begitu yakin dan mantap, seolah-olah berita memang sudah ditetapkan seperti itu, maka sebab telah dikatan demikian secara otomatis mempengaruhi pemahaman publik sehingga ada sisi ruang yang terlihat kosong tanpa penghuni, tetapi terkunci. Sebut saja keberanian atau berani, orang dikatakan berani jika telah melakukan sesuatu, pekerjaan yang terlihat sulit dan besar, sangat jarang dikerjakan orang, namun ia melakukannya, maka ia berani. 

Ada orang yang berani terjun dari ketinggian, sendirian menantang sekelompok orang, mengkritik keras penguasa, meludahi presiden, hidup gelandangan dengan sengaja, memilih jalan sunyi, dll, semua tadi dianggap sebagai keberanian. Kira-kira begitulah pemahaman kita selama ini, kita tidak melihat lain sisi apa sebab sejatinya seseorang berani melakukan sesuatu. Kemampuan kita hanya bisa melihat sesuatu tampak dari luar, jika kita bicara soal manusia, analisa gampangnya adalah apa-apa yang dikatakan pengetahuan biologi sewaktu sekolah, wadak, materi, badan, tubuh, tulang, daging, aliran darah, air, otot, syaraf, dll. Jika urusannya sudah nyawa, tentu kita tidak bisa menjawabnya, paling mudah soal itu diserahkan kepada Tuhan. Lalu ada lagi namanya roh, sukma, jiwa yang kita semakin kebingungan dan kalap menghadapi situsasi semacam itu, yang dengan mudahnya juga hal-hal tersebut diarahkan ke ranah supranatural, klenik, dukun, dsb.

Sederhana saja, yang ingin dikatakan adalah apa sesungguhnya yang ada di dalam semua itu? Jika manusia hanya kumpulan tulang dan daging tetap saja ia tak bisa bergerak, ada sesuatu mekanisme yang sifatnya halus dan enerjik sekali dari dalam dengan begitu akan ada suatu dialektika pergerakan yang ditimbulkan dan terlihat dari luar. Kita pikir mengapa manusia berani melakukan sesuatu yang luar biasa dahsyat dan menerjang segala halangan hingga dapat berakibat mengancam harkat, martabat, bahkan nyawanya.

Kemurnian, Alamiah, Kesucian. Sifat-sifat itulah yang mau tidak mau menjadi jiwa, sukma, roh, nyawa  bagi wadak yang dikendarainya. Tiada tembok untuk tak dijebol, tak ada langit untuk tak dicakrawalai, tidak ada timur maupun barat, ialah kekuatan sejati yang diberikan dari Yang Maha Agung.  

Yang begitu itu memang jalannya, sederhananya kekuatan itu tadi yang menjadi inti, sudah tidak ada lagi konsep mengenai ketakutan. Karena jika tidak dilakukan dirinya pasti akan tersiksa lebih pedih daripada mati itu sendiri. Bukan karena iming-iming atau embel-embel, sebab ia murni, sebab alami, dan sebab sucilah ia menjadi harus mengalir kesegala penjuru, bahkan menghempaskan batu yang menghadang. Ia bisa menghidupkan, dan menyembuhkan, tapi juga bisa menenggelamkan dan menghancurkan. 

Ada cerita dari Aristides Katoppo, wartawan senior teman akrabnya Soe Hok Gie, ketika ditanya mengapa kawannya Gie begitu berani mengkritik rezim Orla dan Orba dulunya. Jawabannya menarik, menurut Aristides itu bukanlah suatu keberanian, tapi Dia (Gie) hanya menyampaikan kebenaran dari nuraninya, bagaimapun tetap ia lakukan, itu saja. Dan juga sebagai gerak hati, kewajiban moral, dan panggilan sebagai seorang pemikir “menurut Gie, dari catatan hariannya".

Share:

Selasa, 29 Desember 2020

Rogo Kudu di-Ragati, Nek Ora Dadi Ragangan


"Rogo Kudu Diragati, Nek Ora Dadi Ragangan" 

Jika orang moderen yang memahami, titik tolaknya hanya wadak dan penumpukan materi yang tak berkesudahan. Puncaknya dari segala kapitalisasi itu adalah kehancuran yang dihimpun gaya-gaya hedon itu sendiri. Pemahaman orang moderen konstan atau berhenti pada kebendaan yang tidak bisa bergerak, sederhananya mandek. Memang begitu ideologi dan tujuannya, ini ironis padahal mereka disebut-sebut sebagai makhluk yang dinamis, tapi dihadapan dunia mereka bersujud. Karena doktrin inilah paham itu dibawa dan diajarkan di dunia sejak abad 14 hingga era globalisasi. 

Renaissance, Pasca-Renaissance, zaman pencerahan (katanya) di mana kekuatan agama diganti ilmu pengetahuan yang menjadikan agama tersingkir, lalu revolusi industri dunia global di gembor-gemborkan hingga sistem perekrutan buruh harus melalui titel sarjana ini itu, mengubah jiwa bangsa-bangsa global menjadi materialistis dan pelampiasan nafsu tiap orang maupun penguasa (baca: pemerintah), mereka mencekoki manusia dengan paham-paham yang terlihat menggiurkan, tapi produknya adalah kehancuran. Sistem politik ekonomi, kesenian, penyiaran, sosial-budaya telah direnggut dengan sexy dan halus tanpa kita sadari, meski sadar juga tidak bisa mengubah semua itu. Dan ketika menjadi paham bagi dunia global, itulah penjajahan bernama Globalisasi. Maka setelah doktrin itu telah mengakar jadi budaya masyarakat dunia, semua yang tidak sesuai dengan konsep mereka akan dikucilkan dan dibully sedemikian rupa. Dan yang paling di persona non grata-kan adalah islam, sebab mereka tahu bahwa islam itu benar. Jika itu diakui dan disadari dunia, tentu mereka tidak diuntungkan dengan rancangan yang telah dibangun berabad-abad lamanya itu. 

Namun, lain hal bila pemaknaan yang lahir dari akar lokal dan kesederhanaan hidup orang-orang kecil, pidak pedarakan, atau katakanlah orang pinggiran yang bekerja keras beribadah dalam mencari rejeki. Ungkapan di atas bukan sebagai penumpukan materi dan pelampiasan nafsu, melainkan berusaha mensyukuri anugerah yang diberikan Tuhan, dan agar supaya tetap terjaga nikmat itu, maka perlu asupan dan gizi secukupnya untuk melangsungkan kehidupan. Selayaknya makhluk hidup, perlu bernafas dan makan dan minum, begitupun manusia, secara alamiah juga tetap menjaga apa yang telah diberikan dan dijanjikan oleh-Nya. 

Jika memakai suroso sedikit saja, ungkapan itu bahkan tidak mengandung keserakahan dan sifat ketamakan sedikit pun. Dan tahu dari mana aku dapat kata-kata bijak tersebut? Seorang penambang pasir yang rumahnya dipinggiran Kali Gajah Wong, Nologaten, Depok, Sleman. Namanya pak Ramang. Kesederhanaan pekerjaannya tidak mempengaruhi kualitas pemahamannya, filosofi hidupnya. Penampilan fisiknya yang akar rumput nyatanya menipu orang-orang dan tiada yang tahu dan terkaget-kagetlah kita ketika mendengar kata-kata indah itu keluar dari mulut beliau. Sederhana, bersahaja, dan murni suci. 
Share:

Minggu, 27 Desember 2020

Nilai Pahala


Terbilang sudah tiga kali aku gagal bersilaturahmi, mertamu, menyambangi, sambung sedulur dan segala yang berkait paseduluran dan ziarah sosial, setidaknya menurut teman-temanku. Selepas diskusi singkat diriku yang mengatakan jika salah satu alasan mengapa niat baik sudah dapat nilai pahala adalah karena niat baik sendiri merupakan gelombang yang sudah sampai pada tujuannya. Artinya niat yang telah dimantapkan hati itu telah sampai pada maksud orang yang niat tersebut. Dus, sebab hal demikian dia sudah dapat nilai pahala dari yang diniatkan. Bukankah hadistnya jelas disampaikan Kanjeng Nabi, innamal a'malu binniat. 

Dalam diskusi ku sendiri, seolah-olah aku berbicara dengan sebagian teman yang sedang membahas gagalnya aku dalam silaturahmi secara fisik ke teman. Dari pembicaraan itu, secara alamiah ada dialektika yang memposisikan diriku menjadi responden dari sebagian teman-temanku. Intinya mereka menganggap aku belum jadi silaturahmi karena secara wadak belum pernah terjadi dialog secara langsung. Namun, menurutku sendiri aku sudah dan telah sampai pada tujuanku yakni silaturahmi atau sambung sedulur selama tiga kali, sesuai jumlah yang pernah aku niatkan. Karena niatku sungguh-sungguh, walau memang tidak pernah terjadi, tetapi perasaanku tetap mengatakan bahwa aku ke sana dan di sana. Narasi ini juga sebagai upaya dalam memahami dan menjawab bagaimana suatu niat baik bernilai pahala dijelaskan. 

Lalu bagaimana penjelasannya soal niat buruk hanya dicatat atau bernilai satu jika sudah dilakukan? Meski baru niat, tapi itu belum termasuk nilai kejahatan. 

Menurutku ada jarak antara niat buruk dengan laku kejahatan. Pada kasus niat baik ada energi positif yang merasuk dan menjalar dan bergelombang, hingga sinyalnya dapat diterima oleh burung. Berdasar penemuan orang Jawa jika tanda akan ada tamu adalah adanya burung yang mampir ke rumah. Namun, apakah niat buruk tidak punya gelombang dan getaran? Semua makhluk hidup punya getaran dan gelombang, dan baik maupun buruk juga punya gelombangnya masing-masing, akan tetapi rasa-rasanya kebaikan itu lebih kuat ketimbang kejahatan. Jadi niat berbuat baik bernilai pahala karena ia kuat dan sesuai pada konsep Tuhan, karena kehidupan ini dibangun dengan "Islam" atau keselamatan jika diteruskan, namun niat buruk tidak demikian, untuk itu perlu diaplikasikan secara nyata agar dapat bernilai "dosa". 
Share:

Kamis, 24 Desember 2020

Kesadaran


Setiap dari kita kebanyakan hidup dengan tanpa kesadaran atau kurangnya kesadaran terhadap kejadian di mana pun. Faktanya kita memang tidak benar-benar tahu apa yang telah terjadi dalam kehidupan ini, alasannya karena kita tak acuh terhadap konstelasi lingkungan atmosfer iklim dewasa ini.

Kita kuliah, tapi tidak benar-benar tahu apa-apa yang sudah diajarkan maupun dipaparkan oleh dosen semisal dan banyak lagi lainnya. Kita berjalan ke sana kemari namun, tak sungguh-sungguh momen serta kejadian apa yang telah berlangsung selama itu. Sederhananya, kita memang belum hidup dengan semestinya dan oleh karena itu kita tiada mengetahui bahwa hidup ini seperti apa dan yang sejati itu bagaimana!. Dampaknya? Semua orang jadi pandir dan gampang di bodohi oleh mereka yang sadar akan keadaan seperti ini.

Setiap saat kita tidak diajari bagaimana cara berkreasi yang tepat sehingga hasilnya kita dianggap tidak inovatif dan kreatif. Mereka menuduh seperti itu apa hanya sebenarnya menutupi kelemahan mereka tuan-tuan elit karena tidak bisa menyediakan lahan atau wadah yang dapat menampung aspirasi serta daya kreatif orang-orang, pemuda, anak-anak apalagi.

                                                                                                                    8 November 2017

Share:

Katanya Silaturahmi Menambah Umur


Budaya baik yang kian menjelma menjadi bagian dari kehidupan memang seharusnya tetap dilestarikan. Budaya itu bisa apa saja, misalnya silaturahmi dalam bahasa Indonesia asalnya dari bahasa arab yakni silaturahim. Dulu ada yang mempermasalahkan persoalan itu, tapi tak lama selesai. Lucu juga ada yang begitu selo mengurusi hal begituan padahal itu cuma translate dari bahasa arab.

Ada yang mengatakan silaturahmi dapat menambah umur dan kebaikan lain-lain. Itu sudah menjadi pengetahuan umum dan masif, pertanyaannya "kenapa kok dapat menambah umur?". Pernahkah kita mencari tahu penyebabnya, bagaimana menurutmu?.

Jika keadaan kita memungkinkan untuk akses ke mana-mana ditambah dengan kerinduan bertemu seorang, maka tiada yang dapat menghalangi jalan untuk melakukannya kecuali kematian. Yakni silaturahmi. Dalam kejauhan, kita sangat kepikiran tentang keluarga, kerabat, guru, teman, dan ataupun siapa yang menjadikan sangat ingin bertemu. Rindu.

Dalam keadaan yang demikian itu akan terasa menyiksa batin jika pretensi kita itu tidak terwujud. Maka, untuk mengobati rasa gundah gelisah ya harus bertemu, silaturahmi. Nah, dengan silaturahmi itulah iklim perasaan yang tadinya gelisah berubah jadi tenang dan bahkan bahagia.

Mungkin karena ketika kita bertemu saat silaturahmi, maka akan menciptakan atmosfer kebahagiaan yang dikarenakan lama tidak bertemu hingga akhirnya tahu kalau keluarga / temannya baik-baik saja. Kemudian, yang demikian lah tidak membuat kita kepikiran tentang kabar mereka yang tidak tahu karena telah bertemu makanya kita jadi tenang dan tidak berpikir aneh-aneh.

Terkait bertambahnya umur, menurut saya bukan begitu juga memaknainya. Karena umur itu urusan Tuhan dan lagi semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Jadi kembali tadi, bahwa karena perasaan kita gembira, maka dengan sendirinya akan menciptakan batin yang tenang karena penasarannya telah terobati sehingga tidak lagi gelisah kepikiran tentang keluarganya itu. Dengan keadaan seperti itu, tentu akan mempunyai efek yang baik pada kesehatan badannya. Barangkali begitu menurut saya.

                                                                                                                   16 Oktober 2017

Share:

Hujan, Geming, dan Puisi


Baru-baru saja tadi aku mengetahui kalau ternyata ketika hujan turun kita lebih sering diam atau lebih memilih untuk dituliskan ketimbang di omongkan. Ini karena kondisi psikologis kita memang sedang mengalami proses penerjemahan suatu momen dan menghasilkan wacana, barangkali begitu.

                                                                                                         26 April 2017

#Kalau Menurut riset, Ada pengaruh redup terangnya cahaya, jika mendung atau sinar matahari rendah meningkatkan produksi hormon melatonin yang dapat meningkatkan kantuk dan rasa malas, dan sebaliknya. Lalu aroma Hujan yang dihasilkan dari beberapa tumbuhan yang mengeluarkan minyak kemudian larut terbawa air ke dalam tanah dan bercampur dengan senyawa kimia Geosemin yang dihasilkan dari bakteri dalam tanah. Dan hasil percampuran tadi menghasilkan aroma "Musky". Selain itu, ritmis hujan yang dinamakan Pink Noise , merupakan kebisingan di rentang frekuensi pendengaran manusia yakni antara 20 sampai 20.000 hz. Dan lagi, Pink Noise ini dapat meningkatkan kualitas tidur manusia, sebab mengurangi tingkat aktivitas di dalam otak manusia. Sederhananya meningkatkan kenyamanan bagi tubuh. 

Share:

Sedulur Kita, Bumi Pertiwi


Apakah anda termasuk seorang yang memperingati hari bumi? Jika benar, maka bersyukurlah karena masih ada yang perduli dengan nasib bumi kita.

Dengan tanpa diingatkan melalui suatu hari dalam tanggal pun harusnya sih selalu ingat. Memperingati hari bumi, Memangnya Bumi pernah ngapain?  Entahlah, ini agak lucu kedengarannya. Secara internasional hari bumi diperingati pada tanggal 22 April kalau PBB dulu 20 Maret. Perbedaannya disebabkan dari sejarahnya,  begitu yang diceritakan. Dikatakan dengan adanya hari bumi ini, tersemat harapan bagi manusia untuk selalu menjaga dan melestarikan bumi kita yang kini sangat menderita sekali. Tanggal di atas itu hanyalah formalitas belaka dan kalau kita berbicara lebih intens, benarkah hanya dengan satu hari kita dapat menjaga bumi ini dengan baik dan maksimal? Itu sangat mustahil. Nyatanya bunyinya hanya "Memper-Ingat-i", jadi hanya mengingat saja atau meng-iling-iling begitu kiranya jika ditransfer ke bahasa jawa. Adakah program yang lebih riil dari formalitas itu? Ya itu bergantung manusianya.

Jauh sebelum adanya modernisasi dan globalisasi yang dewasa ini menghegemoni bumi. Manusia-manusia terdahulu pun sudah mengamalkan tentang bagaimana menjaga bumi tetap lestari dan asri, lebih baik ketimbang cuma memperingati tog!. Manusia Jawa apalagi, mereka seakan banyak tahu mengenai hidup dan menghidupi, tidak hanya keluarga tetapi juga segala yang ada di sisinya, sekelilingnya, sekitarnya sehingga alam pun bersahabat dengannya. Kalau pinjam bahasanya mas Iman Budhi Santosa yakni tumbuhan/alam ini sebagai sedulur sinarawedi.

Semakin majunya zaman, bumi kita ini kian makin terasa panas. Pun orang-orang abad 21 kini tidak cukup bodoh untuk tahu apa penyebabnya. Ada banyak slogan-slogan persuasif untuk menggelorakan semangat menjaga bumi dari ancaman bahaya kerusakan, kehancuran, tapi kelihatannya belum bisa menyeluruh. Keadaan Bumi ini adalah wajah kita semua, jika bumi sehat, berarti akal kita masih sehat. Namun, kalau semakin rusak maka bobroklah akal moral kita semua. Bagaimana tidak, alam ini sudah menyediakan segalanya. Nerima ing pandum, pasrah dan selalu memberi kontribusi besar bagi manusia untuk banyak keperluan. Selalu kalah dan dikalahkan manusia, diakali dan ditipu, tapi alam/bumi tidak pernah protes. Tumbuhan di rawat, diberi pupuk, disiram dan disempret hingga bebas pestisida, tapi ujung-ujungnya kan tetap diganyang menungsone. Toh demikian alam pun tidak marah dan mengizinkan, masih mending mau merawat alam, lha kalau maunya cuma mengambil secara frontal dan mengeksploitasi besar-besaran apakah ini bukan semacam pemerkosaan yang kejam!?. Ya, sesekali bumi/alam ngambek itu sangat wajar, bencana alam misalnya. Itu bentuk protes yang biasa dilakukan alam/bumi terhadap manusia. Padahal itu juga merupakan hukum alam itu sendiri, bergerak. 

Yang masih baru saja terjadi kemarin, di Nganjuk. Bencana longsor yang menenggelamkan banyak rumah dan menelan korban jiwa. Itu adalah contoh bagi kita semua!. Itu adalah pesan dan peringatan dari alam/bumi terhadap manusia bahwa kita ini jangan sok karena embel-embel Khalifah. Mentang-mentang merasa Khalifah di Bumi dengan seenaknya dan semena-mena melahap habis alam bumi secara liar. Seakan-akan alam pun berbicara demikian kepada manusia.

Alam/bumi ini adalah sedulur sinarawedi. Sedulur tua. Rawatlah, maka ia akan mengasihimu.

                                                                                                                        23 April 2017

Share:

Tak Sesederhana Itu


Banyak Asumsi selalu beredar disekeliling kita. Entah bagaimana caranya hingga tanpa disadari kita telah termakan, terdoktrin anggapan yang berotasi dalam kehidupan ini.
Mulanya hanya beberapa bahkan satu orang yang berasumsi, tapi selebihnya yang lain cuma ikut-ikutan saja tanpa terlebih dahulu untuk mengoreksi dan memfilter. Akhirnya bangsa pembebek dan barangkali inilah akibat asumsi orang yang terlalu menyepelekan hidup, ah bukan begitu bahasanya, tapi terlalu menyederhanakan hidup yang sebetulnya tidak sesederhana itu. Sebenarnya sederhana itu bagus namun, maqomnya hanya sebagai 'sikap' saja. Anggapan yang sederhana namun, jika terus berlanjut lama-lama orang akan makin terlena dan benar-benar menyepelekan hakikat hidup itu sendiri.

Hidup itu harus berjuang dan diperjuangkan

Sementara sederhana itu hanya berposisi sebagai sikapnya saja

Sejauh yang saya pahami dewasa ini, melihat mahasiswa semakin ke sini semakin parah saja sifatnya. Hanya karena hujan sedetik batal untuk masuk kuliah. Lihat kan sesederhana itu kita menyikapi persoalan. Padahal apa yang ada di dalam kampus itu tidak sesederhana yang kita anggap sederhana sebetulnya. Itu yang beralibi karena masalah hujan, yang lebih mengherankan lagi bila tidak masuk karena ogah-ogahan, ini lebih kronis sekaligus ironis sekali bukan. Di Kuliah kita banyak dapat hal kalau mau mencoba memahaminya, penambahan materi oleh dosen itu hanya bagian kecil dari makro kosmos keilmuan. Selain itu, tak terhitung kuotanya jika melihat dari sudut pandang kedewasaan secara lebih makro. Pertemuan mahasiswa dengan dosen itu bukan pertemuan yang apa adanya saja, malah lebih ke pertemuan sakral. Yang mempertemukan hubungan antara manusia dengan manusia, memperbaiki tali silaturahmi, pertemuan manusia yang memberi dan diberi. Saling berbagi dan belajar bersama, ini luar biasa.

                                                                                                                                    7 Desember 2016

Share:

Generasi yang Kecewa


Dalam konstelasi untuk suatu perubahan ternyata niat dan ajakan yang cukup belum mampu menggaet kolega-kolega sekiranya ikut join dan bersama-sama belajar atau sinau bareng. Saya sudah merasakannya, dan mungkin itu juga yang dirasakan orang-orang yang selalu sendirian karena teman-teman mereka kurang berniat untuk perubahan itu. Hasilnya, orang-orang yang ingin suatu perubahan pun jadi kecewa dan cenderung menyendiri. Mungkin inilah yang disebut jalan sunyi.

Para pejuang-pejuang kita dahulu dalam aksinya yang revolusioner telah menelurkan banyak gagasan besar. Namun, sayangnya teman atau pun orang-orang terdahulu mungkin ada yang kurang setuju, jadinya jalan sunyi adalah solusi untuk diri sendiri. Saya kira ini belum selesai. Jalan sunyi dengan cara terus melakukan kontrol sosial. Tadi malam, ada bisikan apakah harus menempuh jalan sunyi itu? Lalu ada jawaban, kau masih terlalu muda untuk itu. Lakukan dulu yang terbaik buat orang lain dan bangsamu!.

                                                                                                     7 November 2017

Share:

Embun #14


#Bisa makan berarti masih ada Tuhan

Pernahkah kita berpikir kalau segala yang kita makan adalah murni pemberian uang dari bos atau siapapun?. Pernahkah kita melibatkan Tuhan dalam hal materi?
Jika kita menarik dari kesepakatan umum soal itu, maka akan ditemui poros utama yang bermuara ke suatu tema besar yang disimbolkan yakni dengan Tuhan.

Karena prakteknya kita lebih banyak melupakan Tuhan jika sudah menikmati dunia. Minimal makan. Apa ketika makan kita teringat kepada-Nya? sepertinya tidak kan, mungkin di awal dan itu pun hanya doa saja bukan esensi sejatinya yakni Tuhan. Padahal adanya kita makan karena adanya Tuhan yang sedang bekerja menjalankan perannya sebagai bos dari segala bos, apa?  Ya memberi makan makhluk-makhluk-Nya.

Karena kita masih bisa makan itu berarti Tuhan masih ada, jadi jangan kira itu adalah kedermawanan seorang bos atau juragan kecilmu di Bumi, boleh melalui siapa pun, tapi sejatinya Tuhanlah yang sedang menjalankan peran-Nya sebagai penolong dan sebaik-baiknya pelindung, Rohman Rohim, dengan segala sifat-Nya. 

#Setetes embun di 2017

Share:

Jumat, 18 Desember 2020

Iman, Aman, Amin


#Arsip 2017

Nyatanya lingkungan kata itu ada banyak sekali di peradaban bahasa. Satu kata akan mengantar ke kata berikutnya atau makna lain yang mungkin terkandung. Kebanyakan kita sering menggunakan satu kata/istilah untuk mengatakan jamak maksud, padahal dengan mengamati dan menggali lagi sebenarnya ada banyak juga kosakata yang jarang dipakai atau bahkan belum pernah digunakan khalayak umum.

Kita acapkali memperkosa suatu kata/istilah untuk menjelaskan makna yang akan disampaikan, akibatnya semua jadi kaku dan terkesan kurang pas dalam menyampaikan makna tersebut.

Semisal saja kata Iman, Aman, dan Amin. Tiga kata tersebut adalah satuan atau lingkungan kata yang terbentuk dari balungan kata alif mim dan nun. Padahal di gramatikal bahasa arab sendiri tiga kata itulah yang akan membentuk atau melahirkan macam-macam kata lain yang mungkin masih terkait dengan balungan kata dasarnya. Selain itu untuk bahasa arab sendiri tiga kata dasar yang membentuk kata lain itu biasa disebut madhi tsulasi mujarrod. Belum cukup dengan pembentukan kata, ada lagi nantinya yang menentukan nasib makna dari lingkungan kata tersebut yakni harokat atau bahasa indonesianya mudah disebut pergerakan, memang agak kurang enak padanannya, tapi bukan itu maksudnya. Jadi, ada empat harokat yang akan menentukan makna dalam setiap kata, yakni ada rafa alamatnya dhomah, nashob fathah dan jer kasroh serta jazm sukun. Khusus jazm lebih ke fiil amar. Tiga harokat ini tidak tetap, sederhananya dapat berganti dan bolak-balik.

Misal contoh tadi, dari balungan kata alif mim nun bisa dibaca i-manu, dapat a-ma-nu, boleh a-minu. Saya memakai rafa atau dhomah karena lebih biasa digunakan. Nah, dalam kitab berbahasa arab sendiri, kebanyakan tanpa harokat bagaimana cara mengetahuinya ini bisa dibaca dengan tiga varian tadi? Maka, kejelian dan ilmu alat nahwu shorof balaghoh dll harus digunakan dalam menganalisanya.

Kebanyakan dari kita kurang menyadari kalau kata atau mufrodad tersebut dapat dibaca banyak macam, jadinya persoalan-persoalan dan perdebatan segala jenis yang gak ujung-ujung karena mungkin mereka gak melihat sisi di mana harus memandang luas ke segala arah.

Nah, terkait tiga kata di atas saya ingin menghubungkan dan mengaitkan bagaimana kok satuan kata dapat terhubung dengan tidak memisah maknanya. Kalau dari penglihatan saya, mula-mula dari kata iman yang artinya percaya atau yakin sepenuh hati, dari keyakinan itu maka, menimbulkan reaksi yakni menjadi aman lalu akhirnya berakibat amin dipercaya.

                                                                                                               18 November 2017

#Dalam perspektif lain pandangan itu juga bisa digunakan sebagai metode dalam berkehidupan, misal menjadi pemimpin ideal, pembelajaran sosial, berniaga dan lainnya. Kalimat terakhir pun sudah merupakan akibat dari awalnya, jadi Amin atau terpercaya adalah akibat dari adanya Iman dan Aman. 

Pertanyaannya, bagaimana rasa Iman itu dapat muncul? Jawabannya adalah memahami dulu bagaimana menjadi manusia itu. Kemudian ada variabel lain yang melebar seperti; makhluk, hamba, ahsanu taqwim, khalifah yang pembahasannya semakin terperinci dan lebih mendalam. 

Sebenarnya ini juga wujud kausalitas dari serangkaian fenomenologi dan dialektika kehidupan. Dan lagi, bukankah nabi Muhammad adalah Al-Amin, gelar yang disematkan orang diumur yang beliau masih muda. Al-Amin adalah cahaya yang bahkan dapat menembus hati yang mati. 

Share:

Alfatihah "As Master Key" Alquran


Jarang-jarang aku bisa tertarik belajar di dalam kelas, karena paham jalanan merasuk begitu sunyi. Namun, di suatu hari, sekali waktu ketika masih kuliah di kelasnya Prof Bermawi Munthe cukup menarik perhatianku. Begini ceritanya.. 

*Suatu hari di tahun 2017....

Saya dapat pencerahan ini dari salah seorang guru, sebenarnya dosen, tapi lebih suka menyebutnya guru begitu. Iya, baru-baru saja ngeh dengan statement beliau yang mengatakan bahwa alfatihah adalah alat pembuka untuk memasukkan Tuhan ke dalam hati. Inilah yang menjadi daya tarik bagi pribadi sendiri.

Secara umum diketahui kalau alfatihah merupakan surat pembuka dari kalam ilahi alquran. Sejauh yang saya amati, kebanyakan orang hanya stagnan pada pernyataan yakni surat pembuka itu sendiri atau biasa dikatakan alfatihah namun, beliau Prof Bermawi Munthe datang dengan membawa dagangan lain, [meniru istilah beliau] adalah alat pembuka yang akan memasukkan ke dalam hati kita yaitu Tuhan. Beliau melanjutkan, jika di dalam diri ini eksistensi Tuhan sudah tiada, maka "Kita telah mati sebelum mati!", begitu beliau menyampaikan. Ini menarik, karena di tengah para guru atau dosen yang biasa mengajar bidangnya secara akademis namun, ada satu yang lebih bebas dalam bereksperimen atau mengeksplorasi, begitu. Iya, sebelumnya belum pernah terpikir dan saya pun termasuk bagian orang yang stagnan pada asumsi alfatihah sebagai surat pembuka saja. Nah, dengan hadirnya pendapat baru soal tersebut, maka baiknya ini terus digali dan di ekspansi sejauh-jauhnya. Karena saya pikir tidak apa-apa lah, toh yang penting kita masih mau menyembah-Nya.

Mengkritisi karya Tuhan, bagi saya tidak masalah. Dan jika kita tidak mengelaborasi tentang apa yang diberikan Tuhan, mana mungkin kita akan tahu maksud apa yang ingin disampaikan-Nya kepada kita?!.  Jadi, ketika mendengar orang berbicara suatu hal yang kiranya baru dan menyegarkan, itu patut diapresiasi dan di dukung. Kalau tidak demikian, daya akal yang diberikan Tuhan akan berkarat dan tumpul dalam menganalisa segala sesuatu.

Lalu kembali ke alfatihah tadi, saya melihat iya apa yang ditawarkan oleh guru saya merupakan satu lagi buah pikiran yang akan terus bergerak dan bervariasi sejalan dengan kemampuan manusia menterjemahkan. Sebagai alat pembuka untuk memasukkan Tuhan ke dalam hati manusia. Kenapa kok pembuka, padahal alfatihah itu ikut wazan failatun, nah ini juga perlu di elaborasi lagi.

Dalam alquran, alfatihah selaku surat awal telah menjadi pengantar bagi surat-surat berikutnya. Kalau menurut sudut pandang saya, dari surat pengantar itulah kita diajak memasuki surat demi surat supaya menjadi singkron dan terarah dalam menyelami kalam-kalam ilahi karena dari awal sudah diantar dengan alfatihah. Ibaratnya ketika masuk istana kita telah diberi kunci untuk membuka segala pintu-pintu yang ada, jadinya kita dapat memasuki ruangan demi ruangan, begitulah simbolismenya.

                                                     17 Oktober 2017

#Selang waktu bergulir, setelah apa yang aku dapat itu bertambah lagi pemahamannya mengenai tulisan di atas, bahwa sebenarnya tidak juga jika disebut alat untuk memasukkan Tuhan ke dalam diri. Karena nyatanya Tuhan sendiri melingkupi segalanya. Dus, apa Al-Fatihah jadi delegitimasi? 

Jawaban simboliknya, kita bisa mengatasi atau mengatur kondisi badan kita, tapi secara alamiah Tuhan juga memberi hamparan semesta di jagat, baik melalui tumbuhan atau makhluk hidup lainnya. Tinggal bagaimana kita mendayagunakannya. 

Share:

Rabu, 02 Desember 2020

Pulang Untuk Kembali, Mati Wajib Abadi


Dari level materi hingga rohani dapat dijelaskan melalui tulisan santai seperti ini. 

Misalnya dari "pekerjaan" dalam arti umum, bahwa setiap manusia terlahir untuk bekerja, karena begitu mulianya pekerjaan itu tentu dapat mengangkat derajat manusianya sendiri. Entah bagaimana kita memaknai pekerjaan ini, namun yang bisa dijelaskan dengan gampang sebab setiap langkah pun sudah mengandung gerak yang berarti bekerja, minimal tubuh yang bergerak atau lebih "digerakkan" oleh Tuhan. 

Setiap pekerjaan adalah suatu kemuliaan, atau kalimat lengkapnya "Semua orang bekerja, itu adalah mulia. Yang tidak bekerja tidak punya kemuliaan". Kira-kira seperti itu yang pernah dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan asal Blora yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara kemudian melahirkan masterpiecenya "Tetralogi Buru". 

Pekerjaan yang baik adalah bekerja untuk keabadian, tapi untuk sampai di makna itu, pelan-pelan kita akan bangun dari hal-hal biasa atau mendasar. Repetisi dari kehidupan yang kita alami merupakan pekerjaan untuk dapat menentukan presisi dan seakurasi mungkin, maka setelah kita berangkat bekerja untuk kemuliaan lalu pulang ke "rumah" atau huma, terserahlah apa istilahmu, kita mengistirahatkan badan untuk kembali esok hari lebih sehat dan baik lagi. Ya bekerja, tentu terotomatis belajar darinya, bahkan sampai kuli-kuli pasar atau buruh kasar pun yang secara pandang orang kantoran tidak efisien dan efektif untuk penghidupan juga dituntut memahami pekerjaannya. Bukan cuma angkat-angkat saja, di situ ada mekanisme, koordinasi, dan koneksi kultural, semisal bagaimana mengerti proses pekerjaan berlangsung hingga keterlibatan alat-alat industri untuk memudahkan keefektifan kinerja. Memahami keteraturan jadwal dan kendala yang bisa saja muncul, dan kultural membangun hubungan kreatif yang dimiliki untuk masing-masing pekerja. 

Pekerjaan akan lebih baik, menjamin, dan awet jika terbangun trust dari segala lingkar posisi di mana pun, sampai nge-link antara bos dan karyawan, atas ke bawah, bawah ke atas, jadi satu sambungan yang meminimalisasi terjadinya crash atau ketidaknyamanan baik serikat pekerja atau owner, artinya keberlangsungan suatu perusahaan akan survive jika ditopang poin-poin tadi. Sedang untuk poin konsep dan strategi biarlah ditulis pelaku perusahaan saja. 

Nah, segala hal tadi masih terikat dalam hal keduniawian yang jamak, namun sudah terkontrol atau dibangun dengan paham yang cukup baik. Sekiranya kita lebih berjuang untuk hal-hal besar, lebih mendasar dan transenden, maka fenomenologi berangkat-pulang kerja tadi akan lebih bermanfaat untuk lingkungan sekitar, bahkan turut membantu keberlangsungan alam. Timbul pertanyaan, Bagaimana kita akan bermanfaat jika hanya bekerja di suatu perusahaan atau jadi kuli kasar? Bahkan seringnya kita kurang dalam kebutuhan bulanan.. 

Sebagai manusia biasa apa Tuhan menerapkan sistem atau kebijakan yang memaksakan kehendak-Nya? "Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa". Seperti wajib harus wajib harus dan seterusnya, Padahal di dalam alquran Dia mengatakan silmi, bukan Islam, "udkhulu fi silmi kaffah" Artinya itu semacam cara berpikir minimalis atau mikro atau lite, bahwa segala pekerjaan adalah bergantung kemampuan kita. Apakah dengan kita jadi kuli kasar tidak bisa memberi manfaat untuk lainnya?. Kian jika kita tersenyum saja kepada orang menurutku sudah berpartisipasi dan turut menyumbang energi positif bagi keberlangsungan alam. 

Ditambah lagi, kalau kembali ke rumus agamanya kan ada "innalillahi wa innailaihi rojiun", pedoman dan rumus kehidupan itu tentu lebih menawarkan paham yang berorientasi kebermanfaatan bagi kehidupan jika dibarengi dengan adagium "khoirunnas anfauhum linnas". Kalimat tarji' sebagai paham personal atau masing-masing orang melahirkan diktum kedua, kebermanfaatan. Artinya dengan memahami kalimat tarji' tadi secara mendalam mestinya akan sampai pada manfaat kepada yang lain. Mengapa hanya mandek untuk sampai pada kata kembali, tentu sebelum dikembalikan baiknya manusia membangun manfaat di alam, maka itu akan lebih nyata dengan pemahaman "rahmatan lil'alamin". Dan ketika makhluk hidup dikembalikan nanti, maka kita akan bisa melanjutkan makna sebelumnya tadi, jika pulang untuk kembali, maka kita mati wajib abadi. 

Share:

Embun #13


Boleh jadi doa adalah sambat yang telah mengalami eufemisme. 
Share:

Senin, 24 Agustus 2020

mas Iman B.S : "Seng Mbok Keploki ki Opo?"


Dalam serangkaian acara ulang tahunnya mas Iman Budhi Santosa yang ke-69 di tahun 2017, ketika beliau membacakan puisinya di depan panggung di tengah riuh rendahnya tepuk tangan penonton tiba-tiba beliau berkata "seng mbok keploki ki opo?"

Waktu itu aku mendapat tetesan sedikit dari pernyataan beliau dalam hati "iyo yo" itu kesan pertama mendengarnya. Anehnya yang hadir malah tertawa, aku pun sama, memang lucu saja, tapi begitulah yang terkesan, dan itu memori tiga/empat tahun lalu.

belakangan perasaan itu muncul dan seperti biasa ada pemahaman lain yang melengkapi dulu. Dari yang aku lihat jarang sekali ada yang paham soal bagaimana dan apa yang telah terjadi sebenarnya dari yang disampaikan semesta. Maksudnya, jika ada orang membacakan puisi, bernyanyi, atau baru saja melakukan sesuatu yang hebat baik di atas panggung atau tidak, mana ada yang memberi kuesioner dan pendataan siapa saja orang-orang yang memang paham tentang apa yang terjadi?. 

Yang ada hanya tepuk tangan dan applous keras dengan bumbu basa-basi seperti biasa. Untuk itu, aku mendengar mas Iman Budhi Santosa yang tiga tahun kemarin mengatakannya di depan panggung, ruang teater Taman Budaya Yogyakarta (TBY) serasa dapat persentuhan atau tetesan yang menggugah. Anehnya ketika orang berbicara mengenai perasaan yang dialami entah kegembiraan atau penderitaan audiennya hanya tersenyum, tertawa, mentoknya tepuk tangan? tentu bisa terbawa haru suasana yang menyedihkan, tapi seberapa kadarnya? bagaimana informasi tersebut diperlakukan, apa sampai nanti dibawa pulang, sampai hari esok, menjadi bekalnya memperbarui diri, atau habis disapu angin malam.?

Aku jadi teringat puisinya Widji Tukul;

"Apa Yang Berharga Dari Puisiku" 

Kalau penonton baca puisi memberikan keplokan, 

Apa yang telah kuberikan, 

Apa yang telah kuberikan? 

-Semarang, 6 Maret 86. 


Dan lagi satu puisi yang berjudul; 

"Mendongkel Orang-orang Pintar" 

Para pembicara dalam ruang seminar, 

Yang ucapannya di muat di halaman surat kabar, 

Mungkin pembaca terkagum-kagum, 

Tapi dunia tak tergerak, 

Setelah surat kabar itu dilipat, 

-Solo, 8 September 1993.


Kebanyakan dari kita berangkat ke mana pun hanya untuk mencari, mendengarkan, atau menerima suatu informasi, tanpa mengimbangi dengan kesadaran untuk bertanya apa yang akan kita pelajari hari ini?. 

Kalau tidak, akhirnya seperti penjelasan tadi, hanya bisa tepuk tangan ketika seseorang menunjukkan pengalamannya di depan khalayak. Mungkin lebih dari empati untuk dapat mengakses pemahaman yang penulis catat ini, tapi sebagai gantinya cakrawala ilmu semakin banyak dan terhampar di muka. 

Share:

Sabtu, 22 Agustus 2020

Urep Yo Ngene Iki/Ngono Iku


Sebuah terminologi yang ngetren di kalangan teman-teman ini menuntunku pada pemahaman yang terasa menyenangkan untuk ditulis. Ketika mendengar "Urep yo ngene/ngono iku" Rasanya senang dan kesal, sebab terminologi itu mengandung kesombongan dan kepasrahan. 

Pertama, terasa sombong manakala mengatakan itu di atas keadaan yang nyaman dan mapan di tengah orang yang merasakan hal lain, malah lebih ke penderitaan. Sehingga kesannya dia merasa beruntung dan congkak, sesumbar untuk mengatakan "Urep yo ngene iki," Itupun konteksnya terhadap dirinya sendiri, maka darinya menggunakan "Ngene." Dan ini pun juga mengandung kepasrahan, bergantung keadaan si subjek utama. 

Kedua, "Urep yo ngono iku" Diperuntukkan bagi seseorang atau subjek lain yang jadi objeknya. Teman atau orang lain yang telah bercerita biasanya dijudge seperti itu. Indikasinya, subjek kedua yang diajak komunikasi atau yang menjudge itu malas memberi solusi atau memang sukanya membalas begitu. Sangat bisa jadi kalimatnya itu pun mengandung kesombongan, dua sisi pandang itu hampir tidak ada perbedaan, semua bertolak dari mana pemahaman yang dibawa dan dengan keadaan bagaimana terminologi tersebut terucap. 

Dari dua fenomena tadi rasanya lucu saja, seolah-olah hidup itu terasa dientengkan dengan kalimat yang sebetulnya sama sekali rancu, bias, dan tidak jelas "Urep yo ngene/ngono iku." Namun, dalam satu waktu, ia menerangkan, walau hanya untuk dua individu atau dua pihak saja yang paham karena saling berkomunikasi itu. 

Urep yo ngene/ngono kui lah haha.. 
Share:

Rabu, 29 Juli 2020

Embun #12


Puisi ada karena dunia tidak mampu melayani atau menyediakan segala sesuatu perihal kegembiraan, kegelisahan hati, penderitaan, dan kehidupan yang sejati, untuk itu puisi hadir mengisinya.

Puisi adalah pelangi yang diciptakan untuk melengkapi segala sesuatu itu. 
Share:

Minggu, 12 April 2020

Sebuah Tanya

pixabay.com



"Leren mas?"

"Iyo, kene ora robot kok!"

Sebuah tanya untuk senior saat senggangnya pekerjaan. Semua sama, rasa yang dihasilkan ketika makaryo adalah hal yang serupa, tapi aku tidak tahu bagaimana sebenarnya sebuah perasaan. Jika hanya rasa, mungkin bisa dijelaskan analisis berikut analoginya, sementara perasaan laksana menuju bengawan, rasa sebagai gerbang menuju muaranya.

Mulanya sering melihat-lihat di grup loker (lowongan pekerjaan) Jogja, entah facebook, web lokerjogja, instagram dll. Hal yang biasa terjadi ketika seseorang menanyakan pekerjaan yang dibutuhkan, mereka membiarkan dirinya mengatakan "mau cari pekerjaan apa saja, yang penting halal.." kalimat seperti ini terjadi bukan hanya satu dua orang, sebagian yang lain berpikiran hampir, bahkan sama. Artinya memang ada suatu pekerjaan yang tidak halal makanya orang-orang mengatakan mainstream tersebut. Tapi mereka berada pada pemahaman yang baik sebagai manusia, dengan tetap mempertahankan prinsip untuk melakukan pekerjaan halal. selanjutnya ada hal lain yang ingin aku tuliskan perihal kerja, semakin ke sini aku jadi menyadari suatu baru terkait pekerjaan. 

Dan itu pikiran 12 April 2020.

Kenyataan baru yang aku temukan, atau lebih tepatnya kesadaran baru itu nyatanya membantah tesis di atas yang mengatakan "Kita bukan robot yang terus-menerus bekerja." Mesin yang menjadi penggerak alat itu pun mempunyai jam kerja yang artinya ada pembatasan dalam satuan waktu yang berkala. Sederhananya robot pun tidak bisa terus-terusan bekerja karena ia mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam menjalankan mesinnya. 

Sebaliknya manusialah yang tidak berhenti bekerja sebenarnya. Contoh gampangnya adalah jantung, yang terus-menerus berdetak memompa aliran darah ke seluruh nadi di tubuh, entah malam entah siang, tidak perduli badan sedang istirahat atau terjaga, jantung tetap bekerja. Itu kenyataan. Dikatakan berhenti ketika sudah tubuh sudah mati, Itu pun dalam batas-batas material, bukan inmaterial. 

Sementara pemahaman jamak yang dirasakan orang adalah yang pertama, yakni pemahaman material. Satu hal lain lagi, sebetulnya pembahasan itu tetap terkungkung oleh paham materialisme. Orang modern menyebutnya ada pembagian jam kerja, ada jam istirahat, belum macam-macam yang lain. Intinya mereka berbicara soal dikotomi antara pekerjaan dan istirahat. Dengan kerja produktif efeknya menjadi positif bagi perusahaan dan memberi bonus kepada karyawannya, lalu istirahat sebagai keuntungan dari tubuhnya untuk relaksasi selama bekerja. 

Sejujurnya hal itu sama saja jika dilihat dari perspektif kualitas. Semua manusia pasti bekerja, bahkan orang gila pun sama, mereka bergerak, itu tanda kehidupan. Sayangnya orang modern sukanya memakai kuantitas sebagai parameter. Pendikotomian tersebut hanya abal-abal saja, tetap saja fokusnya adalah kapitalisme masif. Contoh lain, orang dikatakan bekerja kalau ia menghasilkan uang, jika tidak artinya pengangguran dan tidak produktif, masa depan suram, dan sebagainya. Dalam segala aspek manusia sekarang ini titik tolaknya adalah materi, kuantitas, dan konkrit/nyata, dapat dilihat dan dipegang. Materialistik. Apalagi soal negara, pemerintah dan dunia global, butuh angka kematian berapa untuk menetapkan corona sebagai wabah darurat nasional/internasional? Mereka menunggu untuk sampai pada titik di mana suatu keadaan dianggap wajar untuk membuat keputusan dan pernyataan resmi kalau itu darurat. Jangan tanya lagi kenapa salah satu petinggi negara malah mengatakan heran karena angka kematian karena covid-19 tidak sampai 500 orang, padahal berpenduduk 270 juta jiwa..!!. 

Sampai kapan pun kualitas memang tidak pernah dilihat dan menjadi titik tolak/ tolok ukur orang sebagai hal yang penting, lebih-lebih di zaman sekarang. Orang tidak bisa melihat kebaikan, mereka hanya bisa melihat berhala yang dapat dipegang dan di ratapi setiap harinya. 
Share:

Rabu, 25 Maret 2020

Repetisi Wujud Presisi-Akurasi

pebysafr.blogspot.com/panah-kerinduan


Orang modern memandang sesuatu yang diulang-ulang adalah hal membosanan dan tidak kreatif, sederhananya monoton. Pemahaman itu jamak dirasakan orang, dan terlihat benar untuk diungkapkan, jadi mereka memandang pekerjaan yang monoton seperti itu membuatnya terpuruk dalam kebosanan. Jika tidak mau menerima dan memahami lebih jauh lagi, mestinya ia akan semakin tersungkur dalam pekerjaan yang menyengsarakan hidupnya itu.

Berkaitan dengan pekerjaan, pembaruan itu nomor satu. orang modern lebih memprioritaskan inovasi agar bisa melangsungkan perusahaannya, untuk itu mereka memilih orang yang akan dapat menopang wadahnya untuk tetap survive ke depan. Tentu saja alasan tesebut tidak memberi peluang untuk manusia yang non-pengalaman di bidang termaktub, sayangnya perhitugan orang modern lebih menuju materialistis. Titik tolak semacam itu membuatnya terkurung dalam perbudakan dunia, akibatnya pemahaman rohaninya terkikis dan hancur.

Sayangnya, pekerjaan yang dianggapnya inovatif nyatanya juga hasil repetisinya yang biasa dilakukan. Pemahaman parsial tidak melihat lebih luas, jadinya jarak pandangnya tidak melebar, sederhananya fokusnya hanya satu titik. Orang modern tidak melihat kegiatan keseharian itu ngapain saja, untuk mengatakan sesuatu yang monoton sekali pun ia perlu memandang dirinya sendiri. Apa sebenarnya yang tidak monoton atau repetitif dalam hidup ini?. 

Misalnya saja untuk bernafas, apa ada inovasi dalam bernafas?, lalu ritual atau sembahyang sehari-hari, apa ada yang bervariasi selain selain ibadah muamalah, lalu idiom agama ada yang namanya Tiqroran, yang berarti juga nderes, lalaran cara jawa, itu kan hal repetitif yang sangat positif. Justru perulangan ritus-ritus maupun kegiatan-kegiatan itu lebih akan meng-akar dan mestinya dapat hal-hal baru lagi, minimal teringat dengan baik semua perilaku itu.  Kemudian putaran waktu, Fajar dan petang, pagi sore, Matahari tetap terbit dan tenggelam di ufuknya masing-masing. Hal-hal seperti itu tidak pernah dilihat manusia modern yang padahal kenikmatan dan kesenangannya sering berada di luar mereka.

Faktanya dalam sejarah kebudayaan manusia,  mereka kalau makan pastinya lewat mulut dan berak lewat dubur, apa pernah kebalik? Apa itu repetitif? Justru repitisi itulah wujud presisi untuk menemukan akurasi yang sejati. 

Manusia modern dengan segala kelengkapan  teknologinya ternyata tidak dapat menjangkau pemahaman semacam itu. Karena memang arah dan tujuan orang modern sama sekali konstan untuk mencapai cita-citanya, mereka dipandu modal besar bernama kapitalisme yang berwujud materialistis. 

Akhirnya dengan adanya wabah atau pageblug atau pandemik ini memaksa mereka berpikir lebih keras untuk mempertahankan bagaimana cara supaya kelangsungan perusahaannya tetap terjaga tanpa kehilangan sesuatu pun. Mungkin mereka berpikir tidak apa-apa kehilangan karyawannya sebagai tumbal untuk membuat dirinya tetap survive di tengah badai. 

Kini, korban corona/covid-19 terus bertambah, sedang solusi pemerintah sangat lambat dan belum tahu juga prosentase keberhasilannya seberapa persen, apalagi jika virus dapat bermutasi atau bertransformasi menjadi lebih kuat atau dalam bentuk yang baru lagi.  Kalau benar seperti itu nantinya sampai di ujung waktu, mereka bahkan kita yang terdampak akan bisa chaos jika tidak tahu cara menanganinya. 

Dalam keadaan teror seperti ini para pemimpin khususnya dan rakyat umumnya melakukan upaya horizontal-vertikal untuk dapat mengetahui segala yang diperlukan dalam penanganan covid-19. Siapa produsennya, apa dan kenapa hal ini terjadi sekarang lalu bagaimana cara menanganinya. :)(:


Share:

Minggu, 15 Maret 2020

Embun #11

Intisri Online - Grid.ID


Embun #11

Sombong Bikin Kalah

Kenapa biasanya orang sombong bisa kalah, padahal dia memang hebat?
Karena dia telah menarik diri dari kewaspadaan dan kehati-hatian. Berbalik dari orang yang dia remehin, dia jadi selalu waspada dan belajar banyak hal makanya dia bisa menang. Mungkin seperti itu. Walaupun hidup sebenarnya bukan menang-kalah.
Share:

Kamis, 12 Maret 2020

Ilmu dan Pengetahuan itu Rendah

pinterest.com



Ilmu dapat dirasakan dan terlihat jika ia bergerak karena suatu dorongan atas sesuatu yang terjadi.

Pengetahuan lebih rendah lagi, sebab ia dilakukan karena ada pengetahuan sebelumnya dan memperbaruinya ketika ia menemukan variabel lain.

Lalu apa yang kuat? 

Menurutku Cinta. Cinta ada bukan karena ia dapat pancingan atau dorongan, ia hadir dan bekerja begitu saja tanpa adanya kejelasan yang masuk akal. Kalau sebelum cinta ada rindu, maka jawabannya adalah karena kita merupakan percikan dari cahaya Tuhan yang akan kembali kepada-Nya. Ruh ini akan kembali kepada pemiliknya yang sejati dan Agung. Jadi, sangat wajar dan masuk akal bila seseorang merasakan rindu kepada Tuhannya, sebab manusia memang bukan dirinya. Dirinya yang sejati adalah AKU. 

Selain itu, Cinta dapat bekerja menyelamatkan, sebab asal-usul segalanya ini adalah Cinta, yang di manifestasikan dalam cahaya yang terpuji atau "Nur Muhammad". Saat kita mempunyai keinginan dan mengajukan proposal kepada Tuhan, tidak serta merta Dia langsung mengabulkan, tapi ada dialektikanya yang memungkinkan-Nya meng-Acc keinginan kita, maka kita dalam proposal itu menyertakan dan mewujudkan cinta kita kepadanya manusia terpuji dan terpilih  Muhammad SAW. Bersamanya Tuhan mempunyai cukup alasan untuk mewujudkan keinginan kita itu. Sederhananya jika sekalian makhluk mencintai cahaya yang terpuji ini, maka Tuhan dengan cinta-Nya juga akan menuruti dan menyelamatkannya di hari kemudian. 

Ada hal lain yang bisa dijelaskan juga, keinginan itu sebenarnya sah-sah saja, dalam pemahaman lebih lanjut keinginan manusia hanya utopis bila tidak terwujud, maka ada kekuatan besar di luar sana yang sebenarnya mengatur semua. Jadi, jika keinginan manusia bisa sama kepada kekuatan besar itu, maka perwujudan atau manifestasi keinginan dapat terealisasi, untuk mengerti keinginan kekuatan besar itu haruslah diketahui manusia dengan segala macam caranya masing-masing. Setidaknya bisa mengetahui ketika Dia bertajali kepada kita. 
Share:

Senin, 24 Februari 2020

Tersentak dan Tersentuh

scrennshoot foto whatsapp 


Aku mendapat faktanya kalau orang Indonesia memang manusia optimis dan santai di dunia. Kemarin sekali (13 November), ketika aku dan kawan-kawan menghadiri undangan berjanjinan untuk selapan hari (35 hari *hitungan Jawa_red) anaknya temanku itu. 

Ia berprofesi sehari-hari sebagai ojol (ojek online), sehingga pekerjaan kesehariannya adalah mengaspal di jalanan. Sewaktu aku bertanya perihal waktu ngojeknya itu, aku kira ia dari pagi sekali berangkat menjemput rejeki, tapi aku tidak menemukan jawaban di sana. Anehnya ia mengatakan bahwa "aku malah tidak kerja sejak anakku lahir, mungkin jarang maksudnya. Lalu katanya, "rejeki sudah ada yang ngatur". Ia ngomong dengan begitu santai, yakin, dan optimis. 

Coba bayangkan dan cari di belahan dunia lain, mana ada manusia yang sebegitu optimisnya soal rejeki kalau tidak orang Indonesia?. Aku benar-benar semakin yakin dan optimis jika orang Indonesia memang orang yang kuat dengan tetap menjaga kewarasan dalam kehidupan. 

Sadar entah tidak, tapi kuyakin itu dalam kesadaran, aku menemukan sesuatu yang baru soal ini. Kau bisa bayangkan bagaimana mengurus keluarganya hanya dengan asumsi "Rejeki sudah ada yang ngatur" kau pikir siapa yang berani ngomong seperti itu dalam kehidupan nyata, bukan sandiwara teater, meski hidup ini memang sandiwara. 

Kita tidak bisa menghukuminya dengan prasyarat materi atau penilaian budaya, ini adalah keberanian dalam menjalani kehidupan. Dan siapa yang tahu jika temanku ini diam-diam bergerak dalam suatu pekerjaan yang lain, atau pun sebelumnya ia telah menyiapkan bekal dan tabungan untuk mengurus bayinya yang masih 35 hari waktu itu. 

Aku sejujurnya tersentak dan tersentuh hati mendengarnya, gila! ini aku benar-benar mendengarnya secara langsung. Walau ku lihat matanya harap-harap cemas, tapi kata-katanya murni dari hatinya, begitu yang kulihat. 

Namun, belakangan aku tidak heran manakala melihat kembali di kehidupan sebelumnya. Ia memang sudah melewati banyak hal, pengalaman, ilmu, dan keberanian menghadapi hidupnya. 

Sewaktu masih kuliah, ia sudah harus menjajakan dagangannya berupa donat dari warung ke warung, tidak bisa seperti teman-teman lain yang terjamin kuantitas finansialnya. Tidak perlu tahu berapa penghasilannya, ini sudah merupakan sikap pejuang sejati bagi anak muda. Ia pernah jualan kripik talas, pernah jadi pegawai cuci mobil, karyawan Brutus, jualan casing hp, mengurus orang tua, katakanlah seperti baby brother, dan sekarang ngojek. Bahkan, mungkin lebih banyak lagi, semua itu dijalaninya dengan hati lapang dan sabar. 

Mengeluh sesekali adalah kewajarannya seperti manusia pada umumnya, tapi nilai-nilai yang tetap dibawanya ialah perjuangan yang tanpa tahu menyerah. 

Ia pernah jadi takmir atau marbot selama sepuluh tahun, di Masjid Baitul Arqom, Sorowajan Baru, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Ia benar-benar orang hebat dan sabar, aku kagum dengannya. 

Terakhir aku dengar kabarnya ketika ia menikah di tahun 2018, sendirian pergi ke tempat akad dan resepsi tanpa dibarengi keluarga atau pun teman, sedang keluarganya dari Purworejo menuju Jogja, tepatnya di Ambarketawang, dan aku beserta teman-teman juga berangkat dari Sorowajan ke sana. Itu kesan pertama yang membuatku ingin menulis cerita ini. Kau pikir bagaimana perasaannya saat itu, apa kesepian, atau biasa saja? Aku tidak perlu menjawabnya, mata dan kata-katanya sudah menjawab semua itu. Namanya Nasrudin, kami biasa memanggilnya yi udin.

Sesungguhnya ia telah menjalankan alquran yang ada dalam dirinya wafi anfusikum. :)(:



Share:

Minggu, 23 Februari 2020

Aliran Kehidupan

sonnyzakaria.org



Ibarat sungai, yaitu alirannya. Dari hulu ke hilir akan ada banyak hal yang di dapat semisal sejarah, pengetahuan masalah, dan arah. Semuanya membentuk pengalaman yang akan sangat wajar terjadi jika dibarengi dengan kesadaran hidup.

Semakin panjang aliran sungai, makin banyak pengalaman dan tahu segala yang dilewatinya. Ini bagian dari perjalanan hidup yang akan sampai pada awalnya. Yang semula bergolak karena cetek, akan berimbang dengan laju aliran yang semakin dalam dan dalam.

Nantinya ia akan sanggup menuju hilir, jadi danau, bahkan ia sanggup menjadi samudera yang menampung segala sampah dan semua yang menuju kepadanya. Karena sampah, dan masalah akan hanyut menuju muara yang sanggup menelannya. Tidak mungkin sampah terjaring di hulu, itu adalah kebodohan. Karena perjalanan hidup akan terus melaju dan mengalir, tidak stagnan.

Sejarah, sebab yang pernah kita lewati adalah bagian dari jalan yang membentuk berlangsungnya kehidupan. Dengan kesadaran, dari semenjak menapaki mula akan tahu dan teringat sampai ke muara. Dan semua itu adalah pelajaran dari serangkaian perjalanan yang mengalir.

Pengetahuan masalah atau menguasai masalah, saat kita telah melalui jalan yang cetek dan beriak, tahap selanjutnya adalah ke dalam dan inti yang nantinya berujung ke muara. Manakala sudah melewati banyak aliran dan lika-liku secara sadar pandangan baru akan terdapatkan, efeknya ketika sampai di bengawan ia telah tenang dan otomatis jadi bijaksana.

Arah, bagi yang sadar dan berpikir dari mula akan tahu sebenarnya ke mana tujuan dari keberlangsungan kehidupan yang membentuk aliran ini. Secara teori air mengalir dari tempat tinggi menuju tempat rendah, tapi mengapa bukan sebaliknya?. Grafitasi yang menjawabnya, tapi bukankah awan sendiri merupakan proses dari evaporasi atau penguapan air yang ada di bawah menuju ke atas. 
Share:

Sabtu, 22 Februari 2020

Sistem Pemilihan Pemimpin

Antara



Menjadi pemimpin dapat ditegakkan dan dicari melalui banyak cara. Jika yang dipraktikkan Indonesia mungkin kita tidak benar-benar tahu kualitas dan daya kemampuannya dalam memimpin suatu daerah bahkan negara, tidak bisa ditebak manusia plus personalitas dan daya potensinya, namun bisa ditebak arah dan tujuannya,  intervensi melalui partai pengusung sekaligus ideologi politik, visi misi, latar belakang berdirinya sebuah pendukung bernama partai pengusung itu, semuanya tetap dalam kendali pemimpin partainya. Belum lagi tekanan dari dunia globalisasi menjadi kiblat semua negara untuk membawa bangsanya menuju kemajuan (katanya).

Mana ada negara sekarang yang tidak terlibat dalam konsep dunia kapitalis yang beroerientasi kepada penumpukan materi yang terus digembar-gemborkan media, setiap hari mereka bicara soal angka-angka yang pada kenyataanya ditelan sendiri. Nyatanya dunia modern itu menghancurkan segala yang pernah dicapai bangsa dalam peradaban sebelumnya. Jika jiwa bangsanya dapat dialihkan dari mula, kebudayaan yang menjadi batu bara akan terbakar habis menjadi asap lalu hilang. 

Kalau masyarakat mengetahui manusia yang berkualitas mutiara, sistem pemilihan yang biasa kita gunakan tidaklah berlaku sebagaimana biasanya. Tidak ada ide pun dapat meminjam klausul dari ranah agama atau pun generasi sebelumnya yang pernah menggunakannya, tinggal mau mencari atau tidak. Orang jawa semisal tidak diajari untuk menonjol-nonjolkan dirinya maju sebagai pemimpin, pekewuh, merasa tidak pantas adalah modal yang diberikan mbah-mbah orang jawa dahulu dalam membangun jiwa luhur nan adiluhung. Tetap ada yang ingin mengajukan diri menjadi pemimpin, tapi titik tolak mayoritasnya tidak seperti itu. 

Kita bisa pinjam ranah agama, misalnya dalam pemilihan imam sholat, ada parameter berupa kualitas dan potensi yang dimiliki tiap manusia untuk menjadi imam itu. Mungkin yang hafal alquran, bacaannya bagus, kedewasaannya, penguasaan ilmu dan pengetahuan. Titik tolaknya adalah ia yang mampu memimpin dan makmum melihat potensi itu, maka menjadi imam bukanlah atas keinginan sendiri, tetapi dibaiat atau dipilih langsung oleh makmumnya. 

Ada juga klausul Khulafaur Rasyidin di mana ke empat pemimpin itu, Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khotob, Usman bin Afwan, dan Ali bin Abi Thalib dengan pemilihannya yang berbeda-beda dapat menjadi rujukan dalam pemilihan pemimpin.

Atau memilih klausul Demak, dari Jawa sendiri yang mana waktu itu Raden Patah belum siap jadi raja, maka Sunan Ampel yang mengisi jabatan raja sementara selama empat bulan sebagai jembatan untuk mempersiapkan ke Raden Patah. 

Tapi bagaimana untuk tahu setiap calon pemimpin punya potensi itu, manusia sejatinya punya insting dan intuisi dari gerak hati dan informasi lanjutan entah literasi maupun wahyu dari Tuhan. Selain itu, masyarakat publik mestinya banyak mengerti mana yang sebenarnya pantas menjadi pemimpinnya, kalau output kata Tuhan "Yang tidak minta imbalan itulah orang-orang yang mendapat hidayah". Manusia juga punya kelengkapan potensi untuk memilih dan mengetahui dari tiap-tiap keadaan, bagaimana bersikap dan berlaku, semua itu bisa didapat melalui caranya masing-masing, tapi Tuhan memberi informasi literal maupun non-literal bagi yang Ia kehendaki. 

semua itu adalah usaha yang pernah dilakukan manusia, terserah memilih opsi yang mana atau malah menemukan solusi baru dari perkembangan masalah yang terus terjadi.

Share:

Jumat, 21 Februari 2020

Kehidupan Artifisial di Generasi Z

voaislam



Menurut Hellen Katherina dari Nielsen Indonesia, Generasi Z adalah generasi masa depan. Oke, mungkin aku agak tahu maksudnya ia mengatakan itu, sebab Generasi Z merupakan generasi yang sudah menikmati kemewahan internet, untuk itu masa depan rupanya jadi lahan buat mereka yang paham internet. Sederhananya, Gen Z itu manusia-manusia yang disiapkan tatanan dunia baru untuk kemajuan zaman. Begitu mungkin yang dibayangkan mereka. Meski banyak ragam perbedaannya dalam penentuan rentang waktu yang dinyatakan, tapi intinya mereka sepakat bahwa Generasi Z merupakan manusia-manusia yang lahir di zaman internet dan sudah menikmati keajaiban teknologi pasca-kelahiran internet, begitu kiranya.

Bagaimana tidak? Dalam kehidupan yang ditentukan ini kita semakin menambah file-file baru yang mengikis kemurnian dari diri kita.

Manusia lahir dengan kemurnian dan fitrah dari Tuhan, kemudian ada fase atau rentang waktu yang diberikannya untuk bertahan hidup dan menemukan kembali dirinya seperti keinginan Tuhan.

Nah, manusia baru ini dalam sejarah perkembangannya akan sangat diganggu oleh macam-macam hal yang dilewatinya, tidak terkecuali orang tuanya. Fase balita sampai katakanlah remaja orang tua berperan sangat penting dalam melakukan pengajarannya sebagai wakil Tuhan.
Benar tidaknya pandangan manusia baru ini ke depan bergantung besar dari orang tuanya, maka ketika ada suatu kesalahan yang terus menerus dilakukan oleh orangtua ini jadinya akan mempengaruhi kualitas hidup manusia di masa depan.

Lalu manakala si anak ini sudah mulai berkembang dan berkenalan dengan alam sekitar, peran orang tua sedikit tergantikan oleh guru, teman-temannya, dan tak luput orang-orang yang baru dikenalnya. Dalam posisi seperti itu keberhasilan atau kegagalan orang tua tatkala mendidik anak akan ketahuan. Jika pondasi yang dibangun kuat, maka pengaruh dari luar tidak akan berdampak kuat, tapi jika lemah ini akan merombak hingga mengalihkan ajaran dari orang tuanya dulu.

Proses berkenalan ini akan jadi sesuatu jika dapat dilakukan dengan benar. Manusia akan menemukan kesadaran baru dan terus dapat mempelajari apa pun yang dilewati. Namun, kalau ada hal negatif atau katakanlah sesuatu tidak tepat ini akan mengubah semua tatanan nilai yang dibangun si anak dari mula.

Hingga si anak sudah besar, menjadi manusia, hal-hal baru yang ditemuinya sangat beragam dan aneh-aneh. Ia dipaksa untuk berpikir bahwa yang ada di depannya inilah suatu kebenaran dan kesalahan. Kematangan belum dicapai, akhirnya ia bingung dengan apa yang dihadapinya.
Kebingungan tidak berakibat bagus, jika di terus-teruskan. Akan ada sesuatu yang mendekatinya, yang akan mempengaruhinya. 

Manakala ia diajari berlaga dan berkata-kata di atas panggung, saat itulah kemurnian manusia dipertaruhkan, atau tidak sama sekali!.

Apalagi jika dia dibuatkan platform khusus untuk membangun reputasi dan nama baik. Saat itu juga, kehidupan artifisial sudah di mulai dari sana. Tatkala ia terjun di media platform itu, otomatis keefektifan komunikasi terkikis, cara berpikir waras di rampas, cita-cita dihapuskan, ideologi di jungkirbalikkan, pandangan dikaburkan, hingga jiwa bangsa kita dicerabut dan puncaknya ia kehilangan Tuhan-nya. :)(:
Share:

Blog Archive