Minggu, 28 November 2021
Takkan Pernah Mati
Kamis, 25 November 2021
Pendekar dan Bunglon
Kadang-kadang aku berpikir jika menjadi pendekar dalam arti sesungguhnya, semisal pesilat, samurai, atau apa pun namanya lebih baik ketimbang berada di dalam arena globalisasi yang terombang-ambing tak kejelasan seperti ini, perjuangan yang masihlah setengah-setengah. Jika pendekar beneran, maka jelaslah arena pertempuran dan peperangannya, berikut segala macam yang dapat dipelajari selama kehidupannya itu. Tetapi menjadi klub modernisasi ini membuat orang jadi bingung dan tantangannya begitu sulit, arenanya yang tidak terang, terkadang kita sangka baik, tetapi nyatanya lain hati, disangka mencari ilmu yang ada malah cari pekerjaan, sepertinya bertetangga, rukun kampung, dan bernegara tetapi semuanya adalah perihal jual beli dan materialisme.
Entah apa namanya atau nomenklatur yang pas untuk seorang yang berada di tengah-tengah itu, disebut manusia terlalu prima jenius, namun disebut binatang juga kadang-kadang ada akal dan nuraninya. Betapa perjuangan saat ini begitu berat sekali, ikut mainstream global jadinya berhala, tetap menjaga idealisme akan digempur dunia, kompromi atas keduanya disebut tidak punya pendirian. Zaman dahulu jelas mana pendekar, mana petani, mana negarawan, mana begawan, mana resi, mana empu, kaum sudra, kaum kesatria, kaum waisya, dan brahmana. Semua jelas dan memang ada semacam tingkatan atau level seperti itu, biar pun manusia yang buat tetapi di zaman itu pembagiannya sangat kentara dan terang berikut fungsi dan tugasnya masing-masing.
Agaknya zaman sekarang? Seperti bunglon semua, tapi hewan itu masihlah lebih baik karena murni untuk bertahan hidup dari predator pemangsa atau menghindari bahaya. Jadi bagaimana untuk tetap mengepal tangan dan mengangkat tinju ke atas kalau-kalau malah disebut radikalis, diam dan bertahan berarti konservatif, berusaha kreatif dihina dan ditekan jiwanya. Semua arah yang mengepung ini bisa jadi apa saja, kita semua adalah gas yang siap jadi air, kadang beku dan menyublim kapan saja, betapa sulitnya hidup kini. Aku merasa di tengah-tengah keadaan yang tidak menentu, aku katakan kepada kawanku aku tidak bisa dikotomi, biar dikata idealis, namun aku juga realistis, jadi aku tidak bisa hidup di salah satu opsi itu. Maka, pemahaman yang ada sekarang hanyalah tetap menjaga kewarasan dalam perjuangan yang konsisten, memang berat, tapi aku membuat pagar hidup untuk tidak kendat atau mati karena kesalahanku sendiri. Itu dulu.
Selasa, 16 November 2021
Gagal Manusia
Sabtu, 16 Oktober 2021
Membaca (Manusia) Rendra Lewat Al-Quran
Kamis, 14 Oktober 2021
Penghinaan Fundamental Bagi Manusia
Minggu, 08 Agustus 2021
Embun #25
Keindahan adalah aras tertinggi dari pondasi awal yang namanya kebaikan, setelahnya wujud keberlangsungan kebaikan itu diungkap sebagai ilmu dan kemudian terus bertransformasi jadi kebijaksanaan jika telah matang sebagai pengalaman, khatam dengan semuanya maka muncullah kemuliaan.
Embun #24
Ada banyak hal puitis yang banyak diungkapkan orang, tapi sedikit orang yang bisa benar-benar mengungkapkanya. Senja atau fajar adalah perihal keindahan yang luar biasa, namun sampai sejauh mana manusia dapat memaknainya, selain hanya pemahaman material.
Minggu, 01 Agustus 2021
Embun #23
Adoh-adoh Rantau Kerjo Ngene
Pernyataan yang terlontar dari seorang teman di tempat kerja membuatku tertawa sekaligus terhina, terhina, tapi tertawa. Itu kesan pertama ketika aku mendengarnya langsung darinya.
Kata-kata yang muncul di tengah guyonan itu menggugahku menulis ini haha.
"Adoh-adoh rantau kerjo ngene (kasar)"
Intinya seperti itu, dalam kurung aku lengkapi, karena memang itu yang sebenarnya ingin disampaikan.
Apa benar-benar terhina dan tertawa?
Sebenarnya lucu juga jika mengingatnya, sungguh. Dia lulusan SMK langsung kerja di tempat yang sama, aku tidak perlu mengorek jauh tentangnya, jelas yang ia katakan kepadaku, pernyataan polos nan jujur itu membawaku menjawabnya melalui tulisan yang lebih lebar.
Secara umum dan kasar pernyataan tadi membuat asumsi jika lulusan S1 atau alumni kampus mahasiswa sebenarnya sama saja kurang dapat diandalkan, tapi aku beri dia jawaban simpel dan spontan, dan itu memahamkannya. Intinya di tengah pandemi seperti ini pilihanku tidak banyak dalam menentukan pekerjaan, dan di tempatku sekarang jawabannya.
Aku juga tidak menyangkal akan asumsi sarjana dapat diandalkan atau tidak, itu ada koridor lain untuk membahasnya. Soal terhina aku malah tertawa dan justru itulah sebuah hiburan menurutku.
18 Mei 2020
Embun #22
Kamis, 15 Juli 2021
Embun #21
Jumat, 09 Juli 2021
Embun #20
Selasa, 22 Juni 2021
Embun #19
Sabtu, 19 Juni 2021
Memaknai Kesepian
Sabtu, 22 Mei 2021
Husnul Khatimah, Sejatinya Prestasi di Tengah Kehancuran Nilai Hidup
Minggu, 16 Mei 2021
Nyegoro Teross..
Jumat, 14 Mei 2021
Koneksi Suroso - Paham Pinggiran Bapak-Anak
Kamis, 13 Mei 2021
Kapan Pun - Di Mana Pun
Senin, 10 Mei 2021
Biasa Kecewa Soal Industri - Tidak Usah Berkhayal Perihal Industri
Jumat, 07 Mei 2021
Embun #18
Selasa, 04 Mei 2021
Manusia Iman, Kehidupan Puisi dan Tumbuhan
Jumat, 23 April 2021
Mampus Kau Dikoyak-koyak Memori..!!
Penderitaan Is The Main Reason
Minggu, 11 April 2021
Gravitasi dan Janji Tuhan
Sabtu, 03 April 2021
Pengetahuan, Ilmu, Piweling
Suatu bangsa akan
mengalami silang-sengkarut zaman yang akan memaksanya untuk tetap survive
dan bahkan maju, entah akan ada gejolak, bencana, kontroversi, perang, dan banyak
variabel yang lain. Beragam wacana, pengetahuan, dan ilmu semakin diperlukan
untuk menopang semua itu, setidaknya dalam konteks dunia, maka ketika bangsa
sudah sedemikian majunya sebagai peradaban dan matang akan kehidupan mereka
mestinya sudah dalam taraf wacana “piweling” sebab proses-proses tadi telah
dijalankan.
Secara logika Manusia tidak
bisa spontanitas melakukan suatu pekerjaan atau hal-hal yang belum pernah
dikuasainya, apalagi belum pernah melihatnya secara nyata, atau katakanlah
mengalami kenyataan (konkrit) dan empiris. Maka, dengan krusialitas persoalan
kehidupan mau tidak mau manusia belajar untuk mengenali gejala-gejala yang
memungkinkan dan akan terjadi pada hidup, yang akan aku awali dengan konsep
Pengetahuan. Pengetahuan sebenarnya juga hal yang tidak bisa kita tempuh
sepenuhnya, jika kita meminjam wacana agama, bahwa manusia tidak diberi
pengetahuan/ilmu melainkan hanya sedikit, jadi kalau manusia merasa hebat
dengan kemajuan yang telah dicapai saat ini, hal demikian hanyalah narsis dan
GR kecil-kecilan yang dibesar-besarkan mereka sendiri.
Perkenalan manusia
dengan pengetahuan dapat ditempuh dan melalui media apa saja, kita bisa saja
bisa mengetahui sesuatu dari obrolan manusia, melalui kontak sosial, dari
bebatuan, pohon, air, cahaya, dan segala partikel yang ada di dalam semesta
yang kadang bisa disebut inspirasi. Karena pengetahuan sifatnya baru
pengenalan, dus ia hanya baru urusan tahu, bahkan belum kenal dan mengenali,
pengetahuan sudah ada di alam, manusia hanya sedikit bisa membahasakannya saja,
sebab disebut bahasa mestinya memungkinkan untuk terjadi permasalahan yang aku
katakan silang-sengkarut tadi. Untuk memecahkan soal itu diperlukanlah ilmu
sebagai pengukur tekanan pengetahuan, banyaknya pengetahuan harus singkron
dengan ilmu yang kita miliki, banyak pengetahuan hanyalah “omong kosong”,
banyak ilmu mestinya seimbang dengan pengetahuannya, hal ini menyebabkan
pengalaman.
Keilmuan manusia
hari ini sudah dikatakan mutakhir, kalau mereka berpikir istilah itu baru nyata
setelah mendekati kiamat meski kita juga tidak tahu kepastiannya, karena kita
masih bodoh dengan gampangnya mengatakan mutakhir meskipun agak selip dalam
transliterasi arab-indonesia yang artinya terlambat, namun maksud mereka itu
yang namanya mutakhir ya pamungkas. Di saat waktu semakin berputar dan mereka
lebih menemukan penemuan lagi masih akan disebut mutakhir atau akan ada
nomenklatur lagi perihal penamaan kemajuan peradaban bangsa modern?. Maka dengan
bekal pengetahuan dan ilmu yang sudah terukur tersebut suatu bangsa dikatakan
mampu dalam mengelola minimal persoalan penghidupan ekonomi, pendidikan,
kebudayaan, industri, peradaban menurut pandangan mereka sendiri.
Setelah perihal pengetahuan dan ilmu/keilmuan, aku meminjam contoh peradaban bangsa Jawa, bangsa Jawa sudah menemukan hubungan vertikal horizontal mengenai hidup dan penghidupan, dengan sejarah bangsa yang sudah sedemikian tuanya, akan terlihat seperti apa bangsa ini ke depan mestinya dapat kita simulasi bersama. Bayangkan, jika Piramida Giza Mesir kuno yang katanya paling tua di dunia itu ternyata masih kalah jauh ketimbang “Piramida” yang ada di ditus Gunung Padang di Jawa Barat itu, yang diperpirakan umurnya 10.000 tahun SM, selisih sekitar 7,5 ribu tahun. Perjalanan jauh seperti bangsa Jawa sudah bisa dikatakan ialah bangsa besar yang mampu merangkum dunia dalam genggamannya, untuk itu gelar Rajanya adalah Hamengku Bawono.
Nah, bangsa yang sedemikian besarnya itu mestinya telah menguasai
pengetahuan dan keilmuan yang sangat mumpuni, dikatakan nenek moyang orang Jawa
sudah pernah pergi ke planet-planet di tata surya, ini menandakan keilmuan di
bidang asronomi sangat hebat, di zaman bangsa-bangsa di dunia tidak terdengar
kabarnya. Kemudian, karena peradabannya yang begitu tingginya, bangsa Jawa
menemukan teknologi Piweling/Pepiling atau Unen-unen,
peringatan, peng-iling-iling.Sebagai peringatan dan kewaspadaan, hati-hati
dalam menempuh hidup, sebab filosofi hidupnya bangsa Jawa sangat luhur, maka
teknologi mutakhir, atau pemungkas, atau paripurna itu dijadikan kitab suci di
dalam hati masing-masing. Jika di transfer ke islam, Piweling/Pepiling ini bisa
berarti taqwa, bangsa yang sudah di taraf taqwa, mestinya ialah bangsa yang besar
dan Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur.
Kamis, 01 April 2021
Embun #17
Selasa, 30 Maret 2021
Gie dan Kesepian
Seorang teman dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian; penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya (kakaknya Arif Budiman alias Soe Hok Djin). Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: “Ya, saya siap”.
Untuk karangan ini aku meminjam sosok Gie,
sebab dia salah seorang yang mengatakan kesepian bukan cuma omong kosong seperti
mahasiswa yang sok-sokan, tapi tiarap ketika menghadapi kekuasaan yang
membelenggu. Perihal suatu surat yang pernah ia dapatkan dari seorang teman
dari Amerika seperti yang aku kutib di atas, waktu itu dia merasakan kesepian
yang luar biasa dalam hidupnya, dari kekecewaan politik berlangsungnya suatu
negara yang dikendarai pemerintahan yang amburadul, teman-teman seperjuangan
yang tidak punya dedikasi dan komitmen terhadap apa yang diperjuangkan,
penolakan berkali-kali dari orang tua cewek yang dia pacari, kalau tidak salah
sampai tiga kali ia pacaran dan selama itu pula ia selalu ditolak. Menurutnya,
dia dikagumi karena keberaniannya, namun mereka menolak ketika anaknya diminta in
group.
Betapa menderitanya dia, teman-teman yang
dipercaya menusuknya dari belakang, semuanya lengkap menghantamnya sekaligus,
ditambah mamanya juga tidak mengerti apa yang tengah ia perjuangkan dan malah menyuruhnya
menghentikan aktivitas yang membahayakan dirinya. Mungkin dalam situasi seperti
itulah ia tinggalkan Jakarta dan menerapi dirinya di Semeru, akhir dari
perjalanan hidupnya. Dan mungkin aku sedikit bisa merasakan apa yang dia
rasakan saat itu, bukan karena pengalaman yang serupa, tetapi lebih mengendarai
rasa surosonya melalui bahasa yang ia sampaikan. Boleh juga dikatakan kalau aku
mencoba memahaminya secara empati, selain dulu memang pernah mengaguminya
sebagai anak muda yang pemberani.
Akan selalu ada anak alam yang dilahirkan
kehidupan mampu memahami dan merasakan kepedihan dunia lalu ia acungkan tinju
untuk melakukan perubahan, akan terus menerus ada nurani di dalam tirani di
mana pada saatnya nanti akan ada suksesi atau pun revolusi.
Surat yang diterima Gie juga merupakan sebuah
respon dari temannya dalam kesejarahan hidup menurut pandangannya, dan memang
kesepian dan keterasingan selalu membayang kepada mereka yang tetap menjaga
nurani dan kebenaran. Tetapi, jawaban itu dengan jelas tertulis di “Catatan
Harian Seorang Demonstran” ..
...”Lebih baik diasingkan, dari pada menyerah
terhadap kemunafikan..”
Dalam ingatanku dulu, aku pernah membayangkan
bisa mengunjunginya di lembah Mandalawangi, meskipun juga terdapat nisan di Museum
Taman Prasasti, Jakarta.
Minggu, 28 Maret 2021
Perihal "Butuh Inspirasi"
Dari kebanyakan
pemahaman yang kita pakai adalah mengasumsikan bahwa kita butuh ini itu, dalam
arti kata, istilah yang kita simplifikasikan sedemikian rupa yang membuat kita
cukup alasan untuk mengejarnya. Dalam konteks inspirasi seringnya kita terjebak
dalam nomenklatur yang sepele dan sulit beranjak jika pemahaman itu sudah
sebegitu mengakar, katakan saja terdoktrin, sehingga akan kita simpulkan kita
butuh inspirasi maka kita harus ngopi atau pergi ke gunung, laut atau fenomena
alam lainnya.
Keterjebakan
terhadap suatu kata, istilah ini sayangnya dibawa oleh orang yang mengaku
seniman atau sastrawan, akhirnya semua orang percaya jika ingin mendapatkan perihal
inspirasi harus melalui prasyarat tadi. Entah apa pun istilahnya asalkan bisa
mencapai karya atau sesuatu yang dahsyat, maka ritus-ritus sebagai syarat kuno
menjadi kewajiban bagi para pencari inspirasi, ilham atau entah apalah namanya.
Sebenarnya ada
yang lebih mudah dan efisien jika mau merasakannya lagi, kalau pemahaman yang
kita pakai materi, mestinya akan kita turuti semua ritual tersebut dan pastinya
merepotkan dan menghabiskan waktu dan tenaga saja. Tapi, kan aku juga meminjam
istilah “panggilan”? apa sama juga, agaknya aku belum final dalam meniti,
mengalami dan menempuh kehidupan ini, itu istilah yang bisa saja disimplifikasikan,
namun tidak sebagai ritual dalam berkarya, hanya menuruti jiwa dan perasaan
hati saja. Menurut kata surosoku, aku menyapa dan menjemput jiwaku yang sudah
melambai di tempat yang terpanggil tadi.
Menurutku jika
mengalami dan penempuhan hidup didayagunakan dengan baik dan optimal, maka yang
berkarya entah menulis atau menggambar bukan lagi dari keinginan, melainkan
dari keharusan regulasi diri, jadi yang keluar hanyalah output wajar dan
alami dari diri. Bukan sesuatu yang dibuat-buat, karena memang demikianlah seharusnya.
Prosedur yang ditempuh manusia pastinya berbeda-beda, yang bisa aku sampaikan hanya
melatih diri mengalami dan memahami setiap pengalaman sehingga nantinya apa pun
yang diekstrak merupakan kontinuasi dari regulasi diri yang bersifat otomatis.
Tiada yang instan
untuk sesuatu yang hebat dan dahsyat, tetapi namanya manusia mestinya melalui
pembelajaran-pembelajaran dan berbagai simulasi pengalaman mengajarinya
mengerti sesuatu untuk dipraktikkan kembali.
Jumat, 26 Maret 2021
Mengalami Hidup
Pengalaman demi pengalaman kita tempuh dengan berbagai cara dan kadang mengagumkan untuk kita bagi ke teman-teman maupun orang lain, dengan menyeluruhnya pengalaman yang kita buat itu tentunya sikap keilmuan dan pengetahuan dapat meningkat dan lebih baik. Seseorang akan semakin berkembang baik dan bermanfaat jika ia punya kesadaran untuk merasakan dan mengalami hidup, di tengah konstelasi yang menganjurkan manusia untuk melampiaskan nafsu dan gengsi gede-gedean term meng-alam-i merupakan suatu tahapan kehidupan yang amat berpengaruh pada perkembangan seseorang.
Ketika manusia sudah mengalami hidup, maka segala
probabilitas yang sudah, sedang, maupun akan terjadi telah ia kuasai dengan
baik, minimal tidak kaget dengan macam-macam peristiwa atau kejadian yang
mensyaratkan demikian. Entah bagaimana seseorang merespon mulanya, namun jika
ia terus berjalan dan terus belajar, mestinya ia bisa mengakumulasi ragam
wacana kehidupan tadi yang berakibat pada pengetahuannya kemudian berdampak
pada keilmuannya, hasilnya ia mengetahui kebijaksanaan hidup yang sejati.
Pastinya aku tidak benar-benar tahu praktek masing-masing orang, meski penjelasanku juga masih abstrak dan awang-awang, tetap saja jika memakai ilmu pasti bisa terlaksana. Mengalami hidup bukanlah berat atau mudah, tetapi bisa mengambil makna dan hikmah yang ada dan terus menghadapi apa yang ada di depan, artinya berjuang. Mengalami hidup bukan fokus untuk bahagia atau menderita, sedih atau senang, melainkan siap untuk segala sesuatu, bahkan untuk kemungkinan terburuk, ketika kita sedang menempuh pengalaman sebenarnya kita sedang dihadapkan ilmu dan masalah, tetapi itu bukan dikotomis dan terbagi, itu satu, bebarengan.
Dan
manakala pengalaman seseorang sudah sedemikan banyak dan jauh, ia bisa tahu
macam cara dan ragam sikap dalam menentukan keputusan, sebab ia mengerti
ilmunya dan mestinya ia juga punya kematangan hidup, untuk itu aku menyebutnya
tadi dengan kebijaksanaan. Bijaksana merupakan puncak tertinggi dari ilmu. Meski dibantah Sabrang dengan mengatakan "Pasti akan ada satu konsep yang merangkul dikotomi-dikotomi di dunia, ini bukan urusan kebijaksanaan, tapi peningkatan kaliber fundamental manusia". Biar aku menempuh pemahaman dan pengalamanku dulu, walau juga aku sedikit sudah mengerti dan setuju soal yang dikatakannya.
Betapa penting
dan mahalnya bila manusia sudah mengalami hidup, bisa berarti memasuki hidup,
meng-alam = memasuki alam. Apa pun bisa dijelaskan, dihubungkan, perihal jelek
atau masih memaksa itu hanya proses, mengalami hidup membuatku lebih banyak dan
waspada terhadap segala hal setiap saat. Aku harus siap menderita, bahagia atau
tidak keduanya, meski masih kadang sambat itu wajar dan mesti ditingkatkan
lagi. Kehidupan memberi banyak sekali hal, walau aku tidak dalam kategori
manusia modern yang berarti punya posisi dan materi yang berarti, tetapi mengalami
hidup aku mengalami kekayaan batin yang luar biasa, aku harus selalu belajar neriman
dan tansah lelaku.
Kamis, 25 Maret 2021
Hentakan Partikel Memecah Fokus
Oke,secara direct
aku pikir masuk akal juga walau aku belum menemukan data validnya
penjelasan tersebut, tetapi yang bisa dijelaskan adalah ini menggambarkan sebagai
partikel alam mempunyai komponen-komponen, kandungan-kandungan yang memberi fenomena
seperti itu. Sederhananya partikel-partikel tadi mempunyai fungsi khusus dan
guna membangun fenomena-fenomena alam yang memang diciptakan demikian,
berdampingan dan bebarengan, masing-masing energi saling bersentuhan dan
melengkapi, pun aliran listrik untuk mempunyai syarat “nyala” juga memakai
partikel positif-negatif. Dus, gelombang, energi, atau getaran masing-masing
dapat bertemu, menyatu, atau malah bertabrakan yang akan menjadi partikel baru
setelahnya.
Ketika motorku
kehabisan bensin, saat itu panik sehingga tidak kepikiran jika bensinnya habis.
Yang aku lakukan adalah ngomong kepada temanku dengan nada menekan bahwa
motornya mati bila di gas, anehnya temanku pun ikut panik dan kami menunggu
motor itu rehat sejenak, harap-harap bisa hidup setelah mesinnya dingin, dan
bamm.. ternyata kami menunggui motor yang tidak ada bensinnya, ini ketahuan
manakala temanku menilik tangki motor. Cerita itu sebenarnya klise, menurutku
ada juga selain aku mestinya, tapi pertanyaan menariknya mengapa temanku bisa
langsung percaya saja oleh ucapanku, seolah-olah seperti menghipnotisnya?. Aku rasa seperti cerita awal tadi, awalnya
biasa-biasa saja netral “neutron”, namun tatkala ada suatu masalah konsentrasi
terpecah dan habis itu ditambahi energi negatif “elektron”, jadinya buyar semua
dan energi negatif mengepung, tetapi tidak ada proton yang meng-interupsi,
hasilnya elektron semua. Jika ditransfer ke dialektikanya Hegel, jadinya
tesis-anti tesis-sintesis .
Kekuatan
gelombang, energi, getaran, maupun partikel-pertikel itu tidak bisa berdiri
sendiri-sendiri, mereka butuh bebarengan untuk mengalami perubahan baru dan
untuk keberlangsungan alam. Jika sendiri-sendiri tentunya akan Chaos ibarat
cerita tadi.
Selasa, 23 Maret 2021
Akibat Term "Hidup Itu Pilihan"
Bila kita pernah
terdidik dengan asusmsi “Hidup itu pilihan” maka kita seumuran. Maksud dari
tulisan ini adalah mengajak berpikir dan memahami ulang bagaimana sebenarnya bersikap
dari anggapan yang sudah mapan di telinga orang-orang. Misalnya ketika aku
masih duduk kuliah dulu, sekali waktu dosenku pernah mengatakan demikian, waktu
itu aku tidak terlalu memikirkannya, jadi hanya lewat, sebab aku tidak tertarik
antara membantah atau mendukung. Boleh juga jika dikatakan aku stuck dan
masa bodoh di zaman-zaman itu, tetapi dengan menyiapkan ruang untuk apa pun,
jadinya bisa menerima atau menolak ini itu, bergantung perasaan dan keinginan.
Bahkan sering
kita alami bentuk “todongan” seperti itu kepada kita, seolah-olah kita selalu
dihadapkan dengan dua atau lebih soal pilihan-pilihan dari hal sepele sampai
peri hal kehidupan. Ini sangat tidak mengherankan karena pikiran kita sudah
disetel untuk pragmatis dan instan, jadi tidak pernah kita pikirkan lagi
konsep-konsep atau pandangan kita terhadap sendi-sendi kehidupan. Baru saja
kemarin aku ngobrol dengan teman, pilihan itu ibarat anak kecil, makanya
tahunya hanya milih ini atau itu, di dalam kehidupan kita tidak bisa bersikap
kekakak-kanakan begitu, di sekolah pilihan-pilihan itu ditentukan dengan resep
penyedap yang marketebel dari soal-soal pelajaran hingga jurusan semuanya
ditempa atas dasar “pilihan” tadi. Sehingga dengan sangat terpaksa ketika aku
pernah menjadi wartawan menulis judul “Ini jurusan yang siap menjawab zaman dan
industri 4.0”.
Sejatinya, sejak
kapan kita punya asumsi mengenai hak pilih? Seakan-akan kita ini punya modal
dan berhak kapan saja menentukan pilihan atas apa yang kita miliki, kapan kita
merasa memiliki sesuatu atau apa pun? Paham pilihan atau memilih karena
kesadaran kita akan memiliki hidup, tapi siapa sebenarnya yang memiliki hidup?.
Dosenku tadi ceritanya sangat percaya bahwa hidup itu pilihan, dari bangun
tidur dan melakukan aktifitas sehari-hari, menurutnya harus berdasar pilihan
yang kita ambil, bahwa kita dihadapkan oleh macam-macam pilihan dan kita harus
memilih. Menurutku monoton dan klise yang diomongkannya, tapi ya kembali tadi
pandangan-pandangan itu hanya stuck dan tidak dikembangkan atau minimal
dipertanyakan lagi. Pilihan hanya fenomena kecil dari kehidupan, aku sendiri
lebih suka menyebutnya keputusan, rasa kedewasaan dan tanggung jawabnya lebih
bernilai.