Di sini Ceritanya Wongsello


Minggu, 28 November 2021

Takkan Pernah Mati


Berganti-ganti hari dilalui dan yang terjadi tetap repetisi untuk dikatakan lagi dan lagi, apa sudah tidak kreatif lagi dalam pergaulan sehingga pernyataan mengecewakan selalu saja terulang. Dalam kesepian itu bahkan aku sampai tanya kepada teman di Pati mengenai kenapa juga sampai sekarang aku belum mendapat "sarang angin", sebenarnya aku tahu itu bukanlah hal yang harus kutanyakan pula, sebab tahu pula jawabannya, hingga siapa pun teman yang dekat aku pun mengatakan pertanyaan-pertanyaan yang mirip-mirip saja. Sampai aku kepikiran kehidupan jalanan lebih baik dari kehidupanku sekarang, yang melelahkan jiwa dalam pekerjaan, namun masih saja bertahan. Keadaan yang mendesak membuat orang berpikir ‘aneh’ karena juga pertimbangan jadi nomor dua, tetapi jika memang jiwa itu sudah meledak aku pun tiada menyalahkan asal tetap tangguh dan kuat menjalaninya dengan sorot mata tajam dan pikiran jernih dan lagi hati tenang.

Aku selalu kagum kepada orang-orang yang berani menjalani hidupnya dengan tekad menantang dunia; betapa besar panggilan itu hingga membuat penyair Iman Budhi Santosa rela melepas jubah ambtenaar atau pegawai negerinya yang disandang belasan tahun untuk mengasuh anak puisinya, Ahmad Tohari berani ‘nganggur’ meninggalkan posisi redaktur Harian Merdeka yang baru satu setengah tahun dijabat demi menuntaskan “Ronggeng Dukuh Paruk”nya, Pramoedya yang hampir separuh hidupnya dipertaruhkan di dalam penjara hingga keluar tetap memiliki pikiran jernih dan hati yang suci tanpa dendam terhadap orde yang menyiksanya, ada Danarto yang disebut sastrawan seniman sufi bahkan untuk menjalani hidupnya serba pontang-panting dan tiada dapat santunan dari negara hingga tidak dikenali orang-orang semasa hidupnya, Nh Dini selama dua puluh tahun tidak bisa membeli buku karena masalah finansial, bahkan kedua beliau itu beserta mas Iman  hanya ‘kos’ di tempat, pun penyair besar Rendra rumahnya saja di beri oleh Setiawan Djodi dan tiada kesampaian impian membeli mobil Innova sampai wafatnya, sampai Tan Malaka yang dikhianati dan dibunuh bangsanya sendiri tetap mencintai tanah air Indonesia dalam gagasan perjuangan “Merdeka 100%” miliknya.
 
Kehidupan ini diisi oleh manusia-manusia tangguh, manusia-manusia setengah dewa yang tidak begitu memperdulikan sikap penghargaan atau penghormatan orang lain terhadap dirinya,  mereka adalah manusia-manusia pemenang yang rasa-rasanya ‘tidak perlu’ melewati mizan atau hisab besok-besok di hari yang dijanjikan, sebab dunia telah meghina begitu rendahnya dan menginjaknya dengan sangat sadis. Aku kagum kepada sikap mulia dan tekad beliau-beliau itu, gema mereka selalu menggedor-gedor jiwaku, aku tidak bisa meninggalkan manusia-manusia cahaya itu, aku bersama kalian manusia-manusia hebat, berharap Tuhan melimpahi karunia dan rahmatnya kepada kalian semuanya, aminn.

Yogyakarta, 6 November 2021
Share:

Kamis, 25 November 2021

Pendekar dan Bunglon


Kadang-kadang aku berpikir jika menjadi pendekar dalam arti sesungguhnya, semisal pesilat, samurai, atau apa pun namanya lebih baik ketimbang berada di dalam arena globalisasi yang terombang-ambing tak kejelasan seperti ini, perjuangan yang masihlah setengah-setengah. Jika pendekar beneran, maka jelaslah arena pertempuran dan peperangannya, berikut segala macam yang dapat dipelajari selama kehidupannya itu. Tetapi menjadi klub modernisasi ini membuat orang jadi bingung dan tantangannya begitu sulit, arenanya yang tidak terang, terkadang kita sangka baik, tetapi nyatanya lain hati, disangka mencari ilmu yang ada malah cari pekerjaan, sepertinya bertetangga, rukun kampung, dan bernegara tetapi semuanya adalah perihal jual beli dan materialisme.


Entah apa namanya atau nomenklatur yang pas untuk seorang yang berada di tengah-tengah itu, disebut manusia terlalu prima jenius, namun disebut binatang juga kadang-kadang ada akal dan nuraninya. Betapa perjuangan saat ini begitu berat sekali, ikut mainstream global jadinya berhala, tetap menjaga idealisme akan digempur dunia, kompromi atas keduanya disebut tidak punya pendirian. Zaman dahulu jelas mana pendekar, mana petani, mana negarawan, mana begawan, mana resi, mana empu, kaum sudra, kaum kesatria, kaum waisya, dan brahmana. Semua jelas dan memang ada semacam tingkatan atau level seperti itu, biar pun manusia yang buat tetapi di zaman itu pembagiannya sangat kentara dan terang berikut fungsi dan tugasnya masing-masing.


Agaknya zaman sekarang? Seperti bunglon semua, tapi hewan itu masihlah lebih baik karena murni untuk bertahan hidup dari predator pemangsa atau menghindari bahaya. Jadi bagaimana untuk tetap mengepal tangan dan mengangkat tinju ke atas kalau-kalau malah disebut radikalis, diam dan bertahan berarti konservatif, berusaha kreatif dihina dan ditekan jiwanya. Semua arah yang mengepung ini bisa jadi apa saja, kita semua adalah gas yang siap jadi air, kadang beku dan menyublim kapan saja, betapa sulitnya hidup kini. Aku merasa di tengah-tengah keadaan yang tidak menentu, aku katakan kepada kawanku aku tidak bisa dikotomi, biar dikata idealis, namun aku juga realistis, jadi aku tidak bisa hidup di salah satu opsi itu. Maka, pemahaman yang ada sekarang hanyalah tetap menjaga kewarasan dalam perjuangan yang konsisten, memang berat, tapi aku membuat pagar hidup untuk tidak kendat atau mati karena kesalahanku sendiri. Itu dulu.

Share:

Selasa, 16 November 2021

Gagal Manusia


"Pada sebuah pertemuan, 
memancing banyak perkara
Hingga rahasia hilang dipusaran sunyi 
Di situ aku gagal sebagai manusia.."

Memang aku makin bertambah pengetahuan sabar dan mungkin kerelaan, berjalan aku terus tetap saja tiada yang benar-benar tahu, paham, bahkan mengerti suatu keadaan. Sehingga dengan terpaksa pengakuan lahir secara prematur dan terseok-seok pada tubuh yang tak mengenal jiwa, hilang begitu saja. 

Saat tahu waktu seakan lebih dari dunia seisinya, berpacu itu bisa wajib, namun patrap dan empan papan adalah arah yang lebih baik. Tiada kuat menahan beban, tetap berpegang pada lembut doa-doa, yang tak ada banding jika ibu mengumandangkannya. Mempelajari senyum dan ikhlas sampai tanpa cacat, ah begitu berat betul, tapi mindset Tuhan meringankannya "Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan" (Al-'Ankabut 64).

Sebagai yang mengarah ke ranah bahasa, sastra, dan literasi aku sangat gagal menjelaskan kepada semua sehingga teman-temanku sendiri kesulitan menilai bagaimana sebenarnya keadaan itu. Toh bukannya sok-sokan, tetapi  terkadang rahasia memang lebih aman di kesunyian, dan biarlah semua berjalan sealamiah dan semengalir mungkin, kendati seorganik nampaknya. 

Titik tolak untuk mengukur judul ini adalah bahwa peran bahasa sebagai pengantar komunikasi haruslah diperhatikan. Dan satu fenomena tadi merupakan sedikit saja dari segala hal yang berhubungan dengan koneksi dan dialektika dalam pergaulan di berbagai lini dan segi. Gagal manusia bukanlah justifikasi kepada kegagalan dalam mencapai kesimpulan hidup sebagai seorang manusia, namun potensi itu masihlah bergerak dan maju ke depan, tidaklah hasil akhir untuk parameter kelayakan, kemanfaatan sebagai otentisitas manusia. 

Manusia sangatlah dialektis dan senantiasa bergerak, artinya bisa belajar dan mengalami sesuatu, itulah mengapa aku tidak pesimis dalam hidup ini. Dan sebenarnya aku tidak membicarakan siapa pun selain diriku sendiri, aku tidak punya data dan terasa kurang perlu jika hanya untuk membahas, mempersoalkan, dan apalagi mendiskusikan di dalam tulisan ini tentang orang lain, meski masih ada sedikit menyinggung untuk menjelaskan sesuatu hal. Sepenuhnya adalah soal kegagalanku yang sejauh ini belum bisa menguraikan kejadian dalam hidup, sampai-sampai banyak temanku memandangku aneh. Sudahlah, bukan masalah besar itu. 



Share:

Sabtu, 16 Oktober 2021

Membaca (Manusia) Rendra Lewat Al-Quran


Kemarin dan esok adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan sama saja. 

Langit di luar 
Langit di badan
Bersatu dalam jiwa. 

Rendra
Jogya, 1975


Apa menurutmu Rendra sadar dan mengetahui jika sajaknya adalah cermin dari apa yang dikatakan Al-Quran?. 

Tidak perlu jawaban untuk itu, sebab bila manusia berlaku dengan jujur dan menjalani kemurniannya, maka segala yang dilakukannya adalah ayat-ayat Tuhan. Bagaimana menjelaskannya sekali lagi jikalau Rendra ternyata diam-diam mempelajari lebih dari yang kita ketahui bersama. Manusia adalah cakrawala beserta rahasia nan sunyi. Boleh saja engkau rajin menceritakan segala sesuatu terkait dirimu, namun rahasia itu sendiri tidak bisa dibeberkan begitu saja, maksudnya adanya ketidakpahaman, dan tiadanya pengakuan menurutku juga berarti rahasia. Terang saja hal itu tidak tersebar secara masif. 

Sebagai yang pernah Allah firmankan:

"yaaa ayyuhallaziina aamanuttaqulloha waltangzhur nafsum maa qoddamat lighod, wattaqulloh, innalloha khobiirum bimaa ta'maluun"

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hasyr 59: Ayat 18)

Bagaimana cara menjelaskan bahwa Rendra ternyata memahami ayat ini atau tidak bukanlah sesuatu yang krusial, tetapi kecocokan dan keterikatan perihal yang disajikan dalam sajaknya tidak bisa dilewatkan begitu saja. Baris pertama dalam sajaknya adalah representasi dari Al-Hasyr ayat 18. Caranya memahami waktu sangat berkesinambungan dan terkoneksi nyata dalam Al-Quran.

Al-Quran mengabarkan kepada orang-orang beriman untuk memperhatikan dampak atau akibat dari perbuatannya di dunia. Memperhatikan di sini bisa berarti banyak hal, seperti mengukur, mengira-ngira, mensimulasikan, dan lain-lain. Sederhananya berbagai sebab dari perkara di dunia adalah gerbang dan jembatan untuk menuai akibatnya besok di akhirat. Nah, dengan pemahaman yang sama Rendra seperti dituntun Allah melalui cara berpikir yang serupa dengan Kitab-Nya lewat sajaknya itu. Jadi, jika berkaca bahwa yang namanya Al-Quran itu bukan hanya Alam dan mushaf memang benar adanya. Manusia pun ayat-ayat Allah yang berarti juga Al-Quran (Fussilat: 53). 

Baris/Satar kedua bermakna apa pun dalam kehidupan dapat dimaknai dan dihikmahi, jadi entah baik buruk atau untung rugi dan apa lagi dapat dinilai dengan cara berpikir yang nyegoro, komprehensif, dan adil. Maka, tidak ada parsial atau penggalan yang berpotensi rancu dan kurang dewasa dalam pemaknaan. 

Sedang bait kedua sampai akhir adalah pemanunggalan dan penyawijian jagat kecil dan jagat besar menjadi satu keutuhan. Karena memang segalanya bermula dari Tunggal dan kembali lagi manunggal, ilaihi rojiun
Share:

Kamis, 14 Oktober 2021

Penghinaan Fundamental Bagi Manusia


Ada kawan yang bimbang mengenai pertanyaan dari temannya yang menurutku berpotensi intimidatif. Dia bilang "Kuwe meh lapo nek Jogjo?" 

Sebuah pertanyaan yang menurutku menghina manusia dengan segala kualitasnya. Secara moral pun tidak enak jika tiada cuaca yang dibangun sebelumnya. Memang kenapa jika harus berjuang mati-matian katakanlah? selalu saja orang-orang melihat dari yang nampak saja, aku pun sepertinya tahu apa yang dipikirkan temannya itu, mungkin. 

Maka coba telaah dulu, Yogya bagi orang banyak dikata sebagai tempat belajar, membangun jati diri dan mengembangkan bakat yang terutama kesenian dan kesastraan tumbuh subur di sana, namun bila melihat dari sisi pandang teman kawan kita itu mungkin hanya men-shoot satu pandang saja, katakanlah wadak atau materi. Padahal setahuku dulu dia di Yogya juga cukup mengikuti "pergerakan" baik literasi maupun pergerakan lainnya. Dan lagi, kawanku satu beskem dengan temannya itu. 

Dengan bau Yogya dan kualitas yang jarang dimiliki tempat-tempat lain itu merupakan sebuah kesempatan, kans, dan peluang yang besar bagi manusia yang ingin tetap berproses di situ. Tidak mengherankan juga, temannya itu mestinya punya data dan alasan yang mendasar jika dia sampai bicara seperti itu, misalnya dia melihat teman kita itu sebagai karakter yang belum cukup mumpuni untuk melakukan suatu perubahan, entah seberapa skalanya, dalam hal ini di Yogya. 

Kedua, Yogya dipandang sebagai kota dengan Upah Minimum Kota terbilang rendah untuk ukuran kota madya dan salah satu kota terpopuler di Indonesia. Jadi, melihat dari sudut pandang kawannya itu sepertinya hanyalah soal wadak dan materi. Intinya hanya melihat sekilas dari apa yang terkonsep di akal pikirannya. 

Aku tidak rekonfirmasi kepada empunya yang bertanya, dan tidak perlu juga menurutku, aku hanya menangkap rasa dari apa yang diceritakan kawanku, dan rasa-rasanya aku seperti bisa merasakan intimidasi itu. Aku tidak bisa menganggap ini wajar atau tidak wajar, begitu yang aku katakan ke temanku bergantung bagaimana konteksnya, sebab banyak macam karakter manusia. Meski yang lain menganggap wajar dan bahkan mengatakan lebay, tapi bagiku ini cakrawala. 

Selain itu, pertanyaan di atas pun berlaku untuk semua, artinya pertanyaan "Kuwe meh lapo nek Jogjo" Pun untuk "Kuwe meh lapo nek (di mana pun) saja. Aku merespon ini karena berbahaya menurutku jika pertanyaan tadi menjadi wajar saja dan jadi pertanyaan global tanpa pemahaman dan pemaknaan lebih lanjut. Alih-alih untuk pembelajaran, malah mungkin jadi dogma, maka aku tidak bisa saja nyaman dengan kata 'wajar' wajar saja. 
Share:

Minggu, 08 Agustus 2021

Embun #25


Keindahan adalah aras tertinggi dari pondasi awal yang namanya kebaikan, setelahnya wujud keberlangsungan kebaikan itu diungkap sebagai ilmu dan kemudian terus bertransformasi jadi kebijaksanaan jika telah matang sebagai pengalaman, khatam dengan semuanya maka muncullah kemuliaan. 

Share:

Embun #24


Ada banyak hal puitis yang banyak diungkapkan orang, tapi sedikit orang yang bisa benar-benar mengungkapkanya. Senja atau fajar adalah perihal keindahan yang luar biasa, namun sampai sejauh mana manusia dapat memaknainya, selain hanya pemahaman material.

Share:

Minggu, 01 Agustus 2021

Embun #23


Memberi makna adalah memaknai apa pun meski dinilai tidak bermakna, karena sesungguhnya semua dapat dimaknai dengan dalam dan sublim. Kalau ada sesuatu hal di kehidupan ini yang tidak dapat dimaknai, maka itu menegasikan kalam Allah "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka". 

Dan itu berlaku bagi orang yang berakal, di sini idiom yang digunakan Allah adalah Ulil Albab. Tingkat di mana dalam keadaan apa pun manusia memikirkan kejadian alam semesta. 
Share:

Adoh-adoh Rantau Kerjo Ngene


Pernyataan yang terlontar dari seorang teman di tempat kerja membuatku tertawa sekaligus terhina, terhina, tapi tertawa. Itu kesan pertama ketika aku mendengarnya langsung darinya.

Kata-kata yang muncul di tengah guyonan itu menggugahku menulis ini haha.

"Adoh-adoh rantau kerjo ngene (kasar)"

Intinya seperti itu, dalam kurung aku lengkapi, karena memang itu yang sebenarnya ingin disampaikan.

Apa benar-benar terhina dan tertawa?

Sebenarnya lucu juga jika mengingatnya, sungguh. Dia lulusan SMK langsung kerja di tempat yang sama, aku tidak perlu mengorek jauh tentangnya, jelas yang ia katakan kepadaku, pernyataan polos nan jujur itu membawaku menjawabnya melalui tulisan yang lebih lebar.

Secara umum dan kasar pernyataan tadi membuat asumsi jika lulusan S1 atau alumni kampus mahasiswa sebenarnya sama saja kurang dapat diandalkan, tapi aku beri dia jawaban simpel dan spontan, dan itu memahamkannya. Intinya di tengah pandemi seperti ini pilihanku tidak banyak dalam menentukan pekerjaan, dan di tempatku sekarang jawabannya.

Aku juga tidak menyangkal akan asumsi sarjana dapat diandalkan atau tidak, itu ada koridor lain untuk membahasnya. Soal terhina aku malah tertawa dan justru itulah sebuah hiburan menurutku.


18 Mei 2020

Share:

Embun #22


Menyuap Tuhan bukan karena sambat akan penderitaan, shodaqoh banyak-banyak, dan atau menghibahkan segalanya untuk kehidupan atau sebagainya. Meski menurut susoroku wajar jika manusia sampai sambat perihal penderitaan hidup, tetap saja semua bergantung Tuhan, hal-hal tadi bisa saja menjadi katalis, tapi posisi manusia hanya hamba yang diberi rahmat atau laknat, sebab ridlo atau kafir. 
Share:

Kamis, 15 Juli 2021

Embun #21


Ledakan-ledakan dalam hidupku, pengalamanku, penderitaanku, turut menjadi api pembakar yang MasyaAllah sangat memperkaya dan memperluas jiwa, kepribadian, mentalitas, dan kekuatan luar biasa. 

Kalau boleh menyebut, hidup ini sangat ajaib. Banyak keajaiban yang mengitari kita, bukan hanya masalah yang melingkupi, selain sekaligus dikepung solusi, aku tambahi keajaiban, karena itu nyata. Berulang kali peristiwa dan kejadian tidak logis hingga mustahil menurut kita menjadi sangat nyata dan terjadi dalam hidup, berulang kali pun kita menjadi percaya dengan yakin, bahwa tiada kita lepas dari iman, selain malah semakin bertambah amin dan aman. 

Aku pun sering keceplosan dan kurang bisa mengerem ketika ditanya oleh seseorang perihal peristiwa atau kejadian dalam hidup, tentu saja menurut pengalamanku sendiri. Bukan karena untuk memberi tahu atau mendoktrin dan sebagainya. Aku berusaha otomatis dalam menjalani hidup, bukan karena hasrat atau nafsuku, tetapi berharap ada mekanisme cahaya yang membuatnya otomatis berlaku sendiri. Dan aku tidak menganjurkan pendapatku ini kepada orang. 
Share:

Jumat, 09 Juli 2021

Embun #20


Hidup adalah pembakaran bagi diri sendiri, sebab segala kotoran, kerak, karat, kesalahan, yang menempel dan menjamur, hingga pun mendarah jiwa di diri pribadi akan mendapati pengelupasan sedikit demi sedikit setelah mengalami (pembakaran) itu yang akan fresh lagi. 

Hidup perlu dibakar supaya jadi abu, kelak akan bisa menyusup ke dalam bumi, atau menyerap, dan mengalir di dan ke kedalaman air, bahkan pun akan mengudara dan mengembara di angkasa atau cakrawala. 

Itulah pengalaman sejati..! 
Share:

Selasa, 22 Juni 2021

Embun #19


Dulu ada seorang teman bertanya, "Kenapa Penyair mati muda?" 

Ini pertanyaan ambigu, ada benarnya tapi juga selip. Secara fakta banyak juga penyair yang awet usianya sampai tua. Kedua, perihal penyair mati muda itu bukanlah atas dasar usia penyairnya, namun karya-karyanya. 

Mati muda adalah keniscayaan bagi manusia yang sudah menempuh kehidupan dan pengalaman tertentu, sehingga efeknya ia bisa mencapai kesejatian. Maka, dengan itu kalau sudah disebut penyair artinya ia telah menempuh dan mengalami pengalaman serta ilmu kasepuhan sehingga ia abadi. Sudah bukan soal usia, bukan urusan muda atau tua lagi sebab ia telah sampai pada nilai-nilai keabadian dan kesejatian, itu saja.

Penyair hanya pangkat saja, sejatinya itu manusianya yang berperan, bahkan bukan manusianya, tetapi Aku-Nya diri sejati. 
Share:

Sabtu, 19 Juni 2021

Memaknai Kesepian


Akhir-akhir ini aku banyak mengalami kesepian. Penghayatan dan pemakanan kesepian yang aku alami dulu dan sekarang ada baiknya karena mengalami pertumbuhan atau transformasi makna. Mulanya aku anggap cukup mengerti perihal kesepian sehingga berani beradu kisah kesepian tatkala ngobrol bareng kawan-kawan. Kini aku menyadari suatu hal, bahwa apa yang aku sebut kesepian kala itu hanyalah tak lebih dari kekosongan variabel yang sebelumnya terisi, sehingga ketika memasuki waktu hampa tanpa apa-apa aku merasa itu sudah kesepian. 

Sekarang yang aku sebut kesepian ternyata juga sangat menyanyat dan mengerikan. Nyatanya bukan hal-hal yang pernah aku katakan dan pahami waktu dulu itu, saat ini ketika aku memasuki fase itu lagi rasanya sangat banyak variabel yang mengepung. Terlebih aku tambah memahami lagi pemaknaan itu secara subjektif juga, yang mau tidak mau efeknya cukup buruk terhadap diriku. Ada semacam kesalahan dalam aku memaknainya sehingga rasa-rasanya saat ini yang aku sebut akhir-akhir ini kesepian menjadi belenggu dahsyat yang ingin sekali rasanya aku terbang. 

Kesepian yang aku maknai dulu tak lebih dari sekedar pemaknaan materi, yang artinya absen dari aktivitas keseharian. Kini, yang aku sebut banyak variabel itu sebagiannya adalah hilangnya manusia di tengah kehidupan sosial. Jadi, aku tidak pernah bisa ketemu manusia akhir-akhir ini, semestinya dari dulu, karena tingkat pemahaman saja baru berproses. Aku tidak punya cukup ruang ekspresi dll, ini pun aku menilai sebagai kesalahan, sebab aku masih bergantung keadaan, sederhananya aku belum bisa menciptakan ruang tersendiri untuk survive di tengah langkanya manusia dari kehidupan sosial ini. Yang aku sebut lemah adalah karakterku sendiri. 

Yang aku maknai dulu terkait kuatnya karakter adalah baru angan-angan semata, kini aku pun berkesimpulan bahwa aku pun lemah sebagai karakter, karena tidak bisa menciptakan mimpi-mimpi itu jadi nyata. Cerita ini terdengar cengeng saja untuk dibaca, namun aku tidak malu, memang demikian adanya. Satu lagi, yang membuatku menyayat soal kesepian sebab pandanganku sendiri mengenai kesepian itu, kalau aku tidak terlalu memikirkannya, keadaan ini pun biasa-biasa saja. Bagaimana pun jua, tetap aku lah yang salah, karena aku dibuat kalah oleh penderitaan ini, seharusnya aku bisa keluar enteng dari belenggu ini. 

                                                   25 Mei 2021


#Bahkan pun, kesepian itu sendiri bisa berarti nilai kesejatian yang dijaga agar tetap utuh dan kokoh. Telah banyak kisah-kisah, cerita-cerita mengenai kesepian, yang nyata senyata-nyatanya adalah kaum minoritas dan terasing di tengah kebisingan kepentingan manusia. Kesepian benar-benar dahsyat. Menekan dan mengepung manusia yang menjaga nilai-nilai suci, hingga pun berselimut sunyi, ia harus tetap tegar dan kuat menghadapinya. Yang Tuhan tidak tega lalu dengan sabda-Nya Ia "...Beruntunglah orang-orang yang terasing.. "

Aku tidak berpikir bahwa diriku bagian dari itu, aku tidak Gede Rumongso dan mengklaim demikian, tiada yang aku punya, tak ada yang bisa aku setorkan, diriku bukanlah siapa-siapa atau apa-apa, aku hanya bercerita bahwa ada cerita begitu, itu saja. 
Share:

Sabtu, 22 Mei 2021

Husnul Khatimah, Sejatinya Prestasi di Tengah Kehancuran Nilai Hidup


Terminologi Husnul-khatimah mungkin lebih kentara terdengar jika berurusan dengan kematian seseorang, tapi bisa saja kita sambungkan di akhir dengan bercerita dulu hubungan dan komprehensi pemahaman yang agak lebih luas barangkali. 

Bila kita menghayati peri kehidupan dewasa ini, maka konsep Husnul-khatimah benar-benar jawaban mutakhir atau pamungkas dan paripurna bagi setiap pelaku kehidupan. Kehancuran nilai hidup banyak sekali mewarnai kehidupan banyak hal, yang kini kebanyakan manusia dihinggapinya dan repotnya mereka yang jadi subjek eksekutornya. Alhasil dampak-dampak dari kepentingannya menghancurkan sisa-sisa nilai kehidupan yang bahkan makin diabaikan. 

Husnul-khatimah tidak harus berurusan dengan kematian, dalam fase diambang kehancuran yang meliputi manusia, bangsa, atau negara pun bisa diaplikasikannya. Meski kita tidak tahu juga apakah benar-benar bisa dalam menuju Husnul-khatimah kan tinggal kita sendiri yang menjalaninya berusaha bermanfaat dan ridlo atas nasib kita, Husnul-khatimah urusan Allah, dan harapannya semoga Allah meridloi kita. 

Kehidupan modern tidak memberi ruang untuk konsep tadi, maka yang bisa mereka lakukan hanyalah kapitalisme masif, padahal Husnul-khatimah pun bisa berlaku untuk perusahaan dan industri juga. Dengan menjalankan hak dan kewajiban kepada para karyawannya, lebih-lebih memberi perhatian lagi, interkoneksi terkait pemilik perusahaan, manager, karyawan, dll, keharmonisan antara pelaku perusahaan tersebut, dan mungkin ada alokasi dana perhatian ke luar instansi atau perusahaan berwujud kepedulian kasih kepada yang membutuhkan akan memberi atmosfer rohani di dalam sirkulasi perusahaannya. Harapannya dengan minimal contoh upaya tadi diridloi oleh Allah. 

Kehidupan yang kompleks nyatanya tidak hanya berkisar perusahaan dan laba, berbagai usaha manusia kini masif dilakukan dan jamak di mana-mana. Hal yang menentukan presisi atau akurasinya bergantung kemampuan manusia tadi menempuh pengalamannya, ada yang memang jadi pionir sehingga membuka mata manusia untuk inspirasi bagi yang lain. Pun yang ikut-ikutan atau mungkin bisa saja dikatakan baru merintis usaha dan pengalaman masih tanggung dapat menyebabkan efek darurat bagi dirinya, misalnya ada fenomena Youtubers, jamak orang menggandrunginya, namun karena obsesi dan hasrat yang sedemikian besar atau berlebihan sehingga melupakan norma-norma dan mengabaikan moralitas yang ada. Akibatnya ada yang kena komentar miring hingga bisa jadi kasus pasal. 

Yang mereka lakukan hanyalah produksi konten yang tidak habis-habis, pokoknya fokus output sehingga produktifitasnya menggenjot viewers dan subscribers sebanyak-banyaknya. Dari sini pun sudah bisa dibaca, itu adalah ideologi ekonomi kapitalis. Manusia modern tidak bisa menangani atau mengatasi satu fokus ke fokus yang lain atau di tengah fokus yang lain, mereka hanya bisa satu fokus yang diperjuangkan. Hal itu membahayakan yang aku tuliskan tadi, karena fokusnya cuma bikin konten yang banyak, maka kualitas-kualitas yang harusnya ada jadi tiada. Tidak heran kenapa ada kasus YouTuber yang berurusan dengan pasal-pasal dan pihak aparat karena tidak bisa puasa atau menahan hasrat dan perbuatannya yang seharusnya aurat dan tidak ber-etiket dari publik. 

Kita ini jadi makin prematur dalam mensikapi kehidupan, gampang terpancing dan mudah tertarik terhadap apa pun. Jika berbasis bisnesman, maka segala informasi yang ia dapat akan diniagakan berdasar hitungan-higungannya. Bila seniman, motivator, atau rohaniwan modern, tentu ia kapitalisasi dalam pemahamannya dan yang diberikan kepada orang lain juga. Kalau radikalis, ia akan dengan cepat menyambar informasi-informasi yang mungkin juga belum banyak dikonfirmasikan, efeknya ia jadi destruktif bagi yang lainnya.

Manusia modern sangat sanggup menanggung  dan menyembah materi karena fokus hidupnya adalah memang penumpukan materi, maka juga banyak fenomenologi yang terjadi sekarang adalah efek dari dendam pribadi masing-masing orang yang mereka pendam. Misalnya saja ada kasus, beramai-ramai masyarakat diiming-imingi uang banyak dari perusahaan besar asalkan melepas tanah mereka, maka itulah yang terjadi. Maka, yang terjadi di Tuban adalah keniscayaan dan contoh konkret manusia zaman sekarang, mereka menamakan post-modern. Lalu, ketika manusia-manusia ini sudah memenuhi keinginannya dan uang sudah lunas dibayarkan, mereka berbondong-bondong membeli materi lagi, mobil, lalu karena naif jadinya merugikan dirinya dan orang lain, tabrakan, dll. Kabar terakhir, uang yang diberikan perusahaan plat merah itu sebesar 18,5 milyar itu tinggal 50 juta. 

Mereka menginginkan materi, ditukar dengan materi, untuk membeli materi, akhirnya pun habis sendiri materinya. Yang diharapkan adalah materi, tetapi yang merasakan sedihnya adalah rohani. Yang disembah adalah materi, tapi materinya habis sendiri. Mungkin kasus membeli mobil berbondong-bondong tadi bisa jadi karena memang keinginan yang lama dari masyarakat sehingga ketika ada kesempatan itu, mereka jadi "Neo-Lebaran" dan merayakan "Neo-Hari Kemerdekaan" beramai-ramai. Itupun aku sebut tadi dengan sifat naif. 

Manusia modern tidak mempunyai waktu untuk memperdalam nilai dan arti belajar, mereka hanya diajari sekolahan untuk bernafsu dan pelampiasan hasrat yang muluk-muluk. Dikotomi-dikotomi yang diciptakan Renaissans mengakar begitu kuat dalam hati manusia sekarang. Maka dengan memahami dan mengerti makna Husnul-khatimah, sejatinya hal itulah yang dinamakan prestasi di tengah kehancuran nilai hidup manusia sejagat. Husnul-khatimah bisa dilalui dengan ihsan, karena itu masih dalam lingkungan kata dan maknanya dan sangat berhubungan. 
Share:

Minggu, 16 Mei 2021

Nyegoro Teross..


Hari ini manusia makin sadis dengan kelengkapan intervensinya yang berbuah perintah. Model dan sistem teknologi yang menggampangkan kehidupan manusia sekarang ini menuntut dan mempengaruhinya menjadi manusia yang arogan dan sangat egois, apakah benar masih disebut manusia. 

Pengalaman Riyoyo atau lebaran kali ini yang aku dapat adalah hal demikian, hampir kebanyakan manusia menuntut dan menunggu putusan sepihak untuk dipenuhi keinginannya di rumah, maksudnya "badan", setidaknya di kalangan anak muda. Jadi, biasa mereka mengatakan langsung untuk ditemui di rumah, disuruh "badan" ke rumahnya dan seolah-olah punya alasan tidak bisa menemui atau sengaja mereka yang mengunjungi temannya. Aku pun tidak tahu apa ada pertimbangan apakah temannya ini mengalami hal serupa di teman-temannya atau tidak sehingga sangat entengnya berkata demikian, entah pertimbangan lainnya atau memang rasa ngalahnya pun hilang entah ke mana, aku tidak ada masalah juga, asal memang aku cukup sanggup, maka aku yang ngalah, tetapi bila ada sesuatu yang tidak bisa aku tinggal ya mohon maaf. Ini terdengar artifisial dan mengada-ada, namun aku menemukan hal baru yang aku anggap tidak masalah untuk meninggalkannya. 

Bahkan tulisan ini sangat sepele untuk diceritakan, anggap saja sebagai catatan kecil saja bahwa memang kepribadian manusia kini makin tidak mengerti yang orang Jawa mengatakan empan papan. Mungkin cerita ini berlebihan, setidaknya jika satu orang mengalami order-order tadi apakah tidak bosan, atau malah akhirnya bodoamat. Sebab manusia merasakan enaknya mengintimidasi, mengintervensi, memanipulasi, dan mengelabui manusia lainnya justru malah semakin arogan dan Adigang Adigung Adiguno mereka menguasai sesamanya. 

Yang jika dalam habit ini masuk bawah sadarnya tanpa disadari. Semakin nyaman, aman tanpa kritik atau penolakan, mereka semakin dahsyat intervensinya dan merasa menjadi superior di kehidupan. Terus-menerus akan dilakukan karena dianggap lancar terkendali, justru sebab itu mereka hilang manusianya tadi. Meski rasa-rasanya lebay menulis ini, tak apalah, ini juga bagian dari inspirasi ketika ngobrol dengan temanku tadi. Hal lain yang mesti kutuliskan juga, bahwa memang untuk mensikapi soal fenomena itu kita harus bisa "Nyegoro", bagaimana pun juga, akhirnya tetap mengalah, minimal mengucapkan maaf dan simpati. 

Semakin berurusan dengan tetangga, masyarakat dan bangsa tetap saja kita counter sebaik-baiknya, yang sadar dan mengerti memang yang terus mengalah. Mungkin itulah "Nyegoro". 
Share:

Jumat, 14 Mei 2021

Koneksi Suroso - Paham Pinggiran Bapak-Anak


Alhamdulillah wasyukurillah walailaha illallah wallahu akbar.. 

Ketakjubanku ketika mendengar puasa bapakku yang tidak bolong, meski bekerja di sawah yang panas dan capai sekali. Apalagi saat bapak mengatakan bahwa "ojo ngasi mokak..!! Nek iso, sak kuate sek.." 

Hal itu semakin membuatku takjub ketika alasan bapak dijelaskan dengan gagah tadi hampir serupa pikiranku, alasan untuk puasa dan jangan mokak. Koneksi ini dapat aku maknai secara mudah sebab hubungannya dapat dijelaskan dengan sederhana. Dua hal yang sangat kentara adalah koneksi bapak dan anak mestinya memberi chemistry lebih secara suroso. Kedua, kami bekerja sama-sama di tempat panas dan melelahkan, apalagi ketika puasa, katakanlah pekerjaan kami pekerjaan pinggiran. Namun, apa pun itu tidak mengurangi semangat puasa kami dan beralibi untuk mokak

Kabar yang menggembirakan sekali menurutku, sebab aku benar-benar merasakan ikatan dan koneksi suroso dan cara berpikir di sini, bahkan secara nilai dan substansi, alasan bapakku lebih berbobot ketimbang anaknya. Bapak mungkin tidak punya alasan yang retorik atau akademis atau agamis, tetapi aku menangkap sinyal rasa kemantapan dan kesungguhannya soal puasa. Tidak lebih hebat dari bapak, Aku hanya berpikiran untuk apa mokak kalau nanti maghrib juga makan minum sediakala, jadi aku menahannya barang sebentar, dan sebenarnya juga malas mengganti puasa kelak. Sebetulnya segala payahku tidak ada apa-apanya dibanding bapakku, yang secara luar biasa mencurahkan semua untuk keluarga. Dan untuk menanggungnya, hari lebaran ini bapak kecapaian alias "katisen" dan belum bisa "badan" seperti biasa, dua hari ini. 

Aku benar-benar Alhamdulillah dan bersyukur sekali Ya Allah, aku bangga dengan bapakku, demi menjalankan ibadah suci puasa, beliau rela habis-habisan asal tetap dapat berpuasa, menjalankan perintah-Mu. Maafkan aku bapak, anakmu yang belum bisa memaknai nilai secara komprehensif dan jangkep. Engkau tidak perlu tanya apa itu komprehensif pak, itu tidaklah begitu penting, biarlah ajaranmu membuka mata hati anak-anakmu, amin. 
Share:

Kamis, 13 Mei 2021

Kapan Pun - Di Mana Pun


Bertahun-tahun puasa dan lebaran di tanah rantau, sesekali terbesit keinginan untuk merasakannya kembali dipangkuan keluarga tercinta. Di sisi lain lubuk jiwa ini membisikkan, "Kapan, di mana pun engkau berada, asal yang mengakar di jiwa dan hati pikiran dan lelakumu ingat akan tempat kembali, cukuplah untuk memotivasimu lalu berjuang lagi dan lagi, setelahnya serahkan Allah yang mengurus.."

Sempat terlintas untuk melakukan hal-hal tadi di rumah, lalu disadarkan kembali bahwa aku tetap tidak tahu apa-apa untuk menjawab esok hari entah di mana lagi. Asrof biabdihi lailan.. Pekat yang harus kutempuh untuk menjawab segalanya, sehabis terpikir seperti itu rasa-rasanya aku pun lega, tidak pun seratus persen yang aku bicarakan, bisa saja aku pulang lebih dahulu setidaknya dua tahun terakhir. Sebab sebelumnya berada di masjid, pun jika memaksa boleh saja, meski akan ada crash, tetapi intinya jika bicara soal satu hal bisa memecah hal lain. Jadi jika titik tolakku saat itu adalah tanggung jawab, maka itu wajar karena keadaan memang demikian. 

Sampai kini pun tujuh tahun puasa dan lebaran tanggung di tanah rantau, se-bodoamat bodoamatku, se tak acuh-acuhku masih saja aku ingat dan selalu diingatkan tentang keluarga, tanah kelahiran, tempat kembali tetap hidup di jiwa, hati, dan pikiranku. Sayup-sayup terdengar bisik jiwaku "Tidak apa-apa, asal lelakumu masih mengakar di semuanya", bagaimana pun senyata-nyatanya memang harus siap dan waspada untuk segalanya. 
Bertahun-tahun lamanya
Aku tinggal di sini
Tetap saja 
Yang tersisa hanyalah akar
Menjiwa, hati pikiran
Lakumu tetap ingat
Tempat kembali 
Itu cukup.. 
Share:

Senin, 10 Mei 2021

Biasa Kecewa Soal Industri - Tidak Usah Berkhayal Perihal Industri


Terkadang secara tidak sadar aku masih mengharapkan yang tidak-tidak soal perusahaan. Kuyakini kekeliruan itu sesaat setelah kesadaran pulih kembali, dalam sebuah ruang, arena, tempat, atau medan pertempuran yang telah ditentukan kita tidak akan bisa menang, kiranya seperti itu Sabrang pernah katakan. 

Dan jadi naif jika orang-orang yang berada di dalamnya mengahayalkan sesuatu yang mustahil. Karenanya juga semakin berpikir untuk mengalahkan atau setidaknya dapat penghargaan entah rupa-rupa, bonus, gaji nambah, bahkan kenaikan jabatan sebab benefit dari perusahaan jadi makin tidak masuk akal ketika kita berpikir itu memang hak kita setelah kerja sangat keras menguntungkan perusahaannya, meski masih bergantung sikap perusahaan atasnya. 

Kekeliruan itu sedikit aku konkretkan begini, lama karyawan atau pekerja dalam suatu perusahaan mungkin bisa kita presentasi atau kita asumsikan akan adanya reward berupa perubahan aktivitas yang memungkinkan skill karyawan meningkat atau setidaknya menjadi kandidat atau katalis rekomended buat si pemilik perusahaan. Jadi kemampuan, skill pekerja lama akan meningkat karena ada tantangan baru untuk dijadikan tolak ukur dalam turut mengembangkan perusahaan dan ini bisa berwujud mutasi atau atur ulang dan pembagian job desk karyawan. Sederhananya ada perubahan antara pekerja baru dan pekerja lama dan aku tidak pakai istilah senioritas. 

Idealnya jika berpikir pakai manusia, owner perusahaan dapat mendayagunakan dan memantau skill para karyawannya dengan mungkin dapat diambil sampel penilaian setiap bulannya. Dengan ini juga antusiasme karyawan akan meningkat dan positif bagi keberlangsungan perusahaan. Namun, memang sayang sekali owner suatu perusahaan yang sudah tidak bisa bertemu karyawannya tidak bisa melihat lingkungan ekosistem itu secara sehat dan konkret (perusahaan besar), meski aku juga meragukan mereka berpikir sampai sini. Sebab, semua ini sekarang adalah industri jadi aku tidak bisa meneruskan cara berpikir manusia itu lama-lama. Dan ini berdasar apa yang aku lihat dan alami sekadar saja, pasti ada perusahaan yang mementingkan manusianya, minimal bila mereka masih dapat bertukar sapa setiap hari katakanlah. Atau karena memang dari mulanya mereka berangkat sebagai manusia. 

Belum juga bicara soal persaingan yang tidak sehat dan masalah berupa-rupa lainnya. Sebetulnya dari hal internal sesama karyawan saja pasti ada persoalan, apalagi jika sudah bicara mengenai perusahaan, yang orang-orang di dalamnya diracuni perihal pangkat, jabatan, hal-hal yang pernah diperhitungkan secara ilmu pun bisa meleset dan berubah sama sekali karena adanya nafsu, hasrat ingin menjadi yang teratas. 

Dus, aku makin ngakak saja jika teringat apa yang aku khayalkan itu. Tiada perlu menderita dengan semuanya, titik tolak yang berbeda tidak akan menjadi pelabuhan selanjutnya, baiknya berpikir yang lain dan membuat planning baru lagi. Walau aku pun bukan orang se-perfect itu. 


Share:

Jumat, 07 Mei 2021

Embun #18


Jadi orang baik itu berat, karena kebaikan akan kehidupan ada dipundaknya, ia memikul segala beban yang jarang diemban kebanyakan orang. Ia sendiri yang menanggung, akhirnya ia pun jadi kehidupan itu, kebaikan adalah kehidupan itu sendiri. Ketika kehidupan itu sudah saatnya pergi menemui Tuhannya, semua makhluk tidak rela kehilangannya dan menangisinya untuk waktu yang lama.
Share:

Selasa, 04 Mei 2021

Manusia Iman, Kehidupan Puisi dan Tumbuhan


"Puisi tumbuh seperti pohon
Dari akar menjulang sampai pucuk daun
Hingga buah kan manfaat dipetik.. 

Malam sebelum sore hari ziarah ke makam mas Iman Budhi Santosa, aku ditemui beliau dalam mimpi, begitu impresif hingga membuatku menulis judul ini. Samar-samar aku melihat beliau mengajariku puisi pohon, menerangkan seakan-akan bahwasanya puisi itu sama halnya pohon, ia tumbuh kembang dari akar hingga buahnya yang di tengah-tengah atau dalamnya terdapat macam-macam variabel. 

Akar mendasari bangunan, kemudian dahan menjulang bak pilar yang menguatkan, menjelma ranting yang bercabang-cabang mencakar langit, setelah pondasi yang siap dan kokoh berdiri daun dan bunga menyelimuti hingga lebah dan mahkluk hidup lainnya kepincut menghampiri, lalu muncullah buah di babak akhir, dan tidak habis mati, ia mewariskan biji agar kemudian diolah kembali bersama tanah, air, udara, dan matahari terus-menerus, seperti kata Tuhanmu "Kun Fakayakun", ia mati agar hidup kembali, ia mati agar senantiasa kekal dan abadi. 

Pertemuan kali itu dengan mas Iman merupakan yang pertama setelah beliau pamit dari dunia, beliau begitu santun menunjukkan kepadaku kebersamaan, ketersambungan, dan hubungan puisi dengan pohon. Persis seperti Tuhanmu mengenalkan konsep pohon dalam Al-Quran bahwa pohon menjadi model dari bangunan hidup dan simbol menempuh kehidupan, dari dasar sampai puncak kehidupan itu sendiri, tetapi ia tidak mati, dan meregenerasi sedia kala, selalu berotasi, dikenal dari biji dan akar kemudian dikembalikan lagi dan lagi, ia berulang kali regenerasi agar berulang kembali hidup abadi. 

Dan ziarah itu pun terjadi sore harinya, aku tidak mengatakan ini kebetulan atau kegeeran, namun manusia harus mempelajari, menemukan, dan memaknai hal-hal yang menyinggung, berhubungan dengan kehidupan apalagi kita sendiri yang merasakannya. Segala yang baik-baik pasti dari Tuhan, dan kita harus bisa memaknainya dengan kebaikan dan rasa syukur yang luar biasa kepada-Nya. 

Mimpi itu sangat nyata, dilengkapi pemahaman bahwa mas Iman dikenal sebagai manusia puisi dan tumbuhan, yang sampai temannya se-PSK menuliskan judul "Kehidupan Iman, Kehidupan Puisi", beliau sangatlah orang Jawa betul, sangat santun dan ramah dan semua itu mengimbas di karya-karya beliau. Dulu cukup lumayan kami silaturahmi kepada beliau di kontrakannya, mengajarkan puisi, tanda-tanda, dan laku kehidupan Jawa dll, bahkan sampai di liang kubur pun beliau masih mengajarkan makna-makna kehidupan lagi dan lagi. 

Seperti mati, tetapi ia terus mengajarkan.. 
Menunjukkan tanda-tanda yang belum sempat kami dapat
Seakan-akan hidup, namun jasadiyahnya tidak berperan
Ia kalah bersaing dengan waktu
Tidak dengan manfaat yang ditinggal
Tuhan memberi tahu akan mati
Agar mahkluk mengerti apa itu abadi.. 

Sangat banyak ilmu, pengetahuan, pengalaman, hal-hal yang bisa dan belum kami teguk dari beliau. Sampai pun dunia memisahkan raga dan nyawa, kehidupan puisi tetap kan kekal nan abadi. 

Alfatihah.. 

Di 16.00 WIB
Selasa, 04 Mei 2021
Yogyakarta

#Mestinya ditulis langsung tanggal 30 April tapi belum sempat



Share:

Jumat, 23 April 2021

Mampus Kau Dikoyak-koyak Memori..!!


Sesaat setelah ada yang menyinggung soal Amerika sebagai kegagahan fungsionalnya di dunia aku jadi konek dan teringat sebuah pertanyaan yang aku tujukan kepada guruku pak Fuady Abdul Jabbar di sekolah dulu sewaktu masih kelas X. Pertanyaan yang sangat aku kenang, pertanyaan yang pernah aku banggakan meskipun sebenarnya biasa saja, sebab mengapa juga aku kepo terkait pertanyaan itu, sepertinya ada sedikit pemantik dalam pembahasan waktu, maka reflek aku angkat tangan dan melakukan interupsi pertanyaan. Pertanyaannya soal Usamah Bin Laden yang waktu itu mati dibunuh Amerika, yang aku tahu karena sehari sebelumnya aku baca koran pondok. Dan itu juga mengapa aku bisa sambungkan ke masalah Amerika begitu mendengarnya. 

Aku tidak begitu ingat seluruhnya, kesan itu saja yang aku ingat dan kuat di memori. Sebetulnya, jika aku ingat-ingat juga memang dari MTs aku suka baca koran, bahkan sampai koran pembungkus nasi pun aku baca dan aku simpan yang bagus-bagus. Kegembiraan itu semakin menyenangkan setelah memasuki Menengah Atas, hampir tiap hari aku sempatkan lihat-lihat koran baik ketika berangkat-pulang sekolah atau sebelum-setelah makan di luar, ketika hari libur lebih inten dan santai sebab waktu yang luang, rubrik yang paling aku sukai adalah Opini. Aku bisa mempelajari banyak hal mulai dari gaya tulisan hingga pokok bahasan yang orang-orang kemukakan, ketika hari-hari besar seperti Hari Pahlawan, Sumpah Pemuda, 17 Agustus atau Kemerdekaan, Kartini, dll jadi makin asyik, menunggu sesiapa yang menulis tentang hari-hari besar itu. 

Aku pun bangga terhadap banyak keputusan yang aku ambil dulu masa sekolah tidak diintervensi oleh siapa pun, aslinya aku tidak begitu suka istilah bangga, tapi kuanggap itu hanya istilah saja dan terpaksa. Berulang kali aku terpanah dan selalu batinku, memoriku, berkaca-kaca, terdiam, dan bergetar dibuatnya saat mengingat semuanya. Dari masuk klub sastra waktu MTs kelas IX, Bikin cerpen hingga dicurigai pak Sutopo karena judulnya begitu seksi dan meski istilah-istilah di dalamnya aku pinjam dari komik One Piece, tugas kesenian, judul karya tulis sekali setor beres tanpa revisi, dll atas dasar keputusanku sendiri tanpa turut campur teman atau orang lain. Terkadang aku menyesali dan menyalahkan diriku beserta kehidupan luar hingga berujung pertanyaan, "Apa bakatku tersia-siakan?" 

Saat itu kans terbesar dalam hidupku adalah perihal sastra, aku punya kesempatan lebih untuk mengeksplorasi sebenarnya. Aku dapat jawaban itu setelah memahaminya ketika beranjak dewasa, nyatanya "bakat" itu sudah tumbuh sewaktu aku masih kanak-kanak, Sekolah Dasar. Dulu aku suka memberi julukan kepada orang lain, memanjangkan singkatan sekreatif mungkin, dll. Benar-benar sedih jika mengingat semuanya, sampai pernah mengatakan bahwa aku adalah orang jalanan juga menjelang umur 20-an.., waktu yang menggembirakan dalam penelitian-penelitian diri. 

Namun, aku mendapat jawabannya lagi, entah mengapa kesimpulan itu yang masuk di surosoku, "Mungkin bukan aku yang ditakdirkan seperti itu, aku hanya diberi tahu, diberi sedikit pengalaman" menjadi apa yang aku sebut-sebut tadi. Semuanya yang pernah aku bagi adalah bukan soal apa-apa, apalagi sok-sok hebat dan buat gaya atau pamer, bukan pula hal-hal profesional, semuanya hanyalah cerita biasa dari anak biasa, orang pinggiran yang pengen ngomong doang, aku tidak merasa bahwa segala tengtangku dapat manfaat atau tidak bagi orang lain, semuanya hanya pengingat dan tadabbur mengenai diriku sendiri, aku tidak punya apa-apa untuk dibagi-bagi. 

Aku tiada punya pencapaian dan kehebatan untuk dibanggakan, sekarang aku baru merasakan dan merayakan kesepian dengan penyesalan, karena tidak kunjung bisa mengangkat jiwaku menempuh jalan yang dikehendaki-Nya. Meski aku menyatakan jawaban itu, rasa-rasanya masih tersisa harapan untuk aku menyelesaikannya lagi hingga akhir peranku nanti. Baru kala itu, aku dapat menjawab dengan mantap apa dan bagaimana sesungguhnya aku. 

Share:

Penderitaan Is The Main Reason


Begitu banyak hal yang bisa ditulis dan yang aku suka adalah memulainya dengan cerita, karena lebih enak dan gampang. Temanku pernah mengatakan atau lebih tepatnya mempertanyakan setidaknya waktu itu, "mengapa penderitaan yang menguasai banyak hal, misal karya sastra" sangat banyak yang bisa dipetik dan dikaryakan melalui kanvas entah kertas atau media apa pun. 

Berupa-rupa puisi, lagu, lalu teknologi terkini tau ubahnya terbit dari penderitaan dan kegelisahan, kemudian aku memahaminya mengapa demikian, setidaknya dari pengetahuan liarku saja. Bahwa perihal Penderitaan itu nyatanya sudah dimulai sejak Bapak Adam AS diturunkan ke Bumi dari Surga. Saat itu juga hidup dimulai dari penderitaan, maka menjadi terang jika ketika hidup penderitaan lebih dominan ketimbang kegembiraan, minimal kesadaran itu muncul saat di dunia. 

Sudut pandang yang aku ambil sebagai contoh saja misalnya dari kehidupan ini, bahwa sejatinya manusia adalah senantiasa berusaha untuk terus menemukan dirinya yang sejati, maka tiada upaya untuk menemuinya selain menempuh kehidupan ini dengan melalui penderitaan. Aku tidak bisa membayangkan ada manusia yang bahkan tanpa penderitaan bisa melewati hidup ini, siapa yang tidak pernah merasakan penderitaan, semuanya menderita meskipun ada kadar kesesuaian atau menurut porsinya masing-masing, baik dari hal berat hingga remeh temeh. 

Siapa Nabi dan Rasul yang tidak menderita, apa Yesus tidak menderita, Budha bahkan mengatakan jika hidup ini adalah penderitaan dan manusia tidak bisa lepas daripadanya. Semua manusia menderita, Raja-raja legendaris juga menderita, Fir'aun menderita, Abrahah, Namrud, Gengis Khan, Duryudana, sampai Brawijaya dan Hamengkubuwono semuanya menderita, menurut penderitanya masing-masing. Jika pun rakyat tidak aku masukkan ke dalam kategori sebab sampai kiamat pun, memang rakyat selalu menderita jika mempunyai pemimpin yang adigang adigung adiguno. 

Penderitaan begitu dekat dengan manusia, sedekat kematian itu sendiri, penderitaan dapat dimanipulasi dimonopoli dan dimanfaatkan manusia berupa-rupa, namun menderita atau penderitaan itu pun hanya istilah. Manusia sejati mestinya sudah melewati tahap dan taraf hidup dalam fase penderitaan, bila kesadaran itu telah tumbuh sebetulnya penderitaan tak lebih dari prosesi kehidupan semata. Manusia sempurna yang islam menyebutnya insan kamil adalah manusia yang lepas dari sekat-sekat keduniawian tadi, ia telah lulus dan selesai hidupnya sebagai manusia, karena dirinya sudah penuh diri-Nya yang sejati. 

Mereka mengerti bahwa kehidupan ini adalah pancaran dari cahaya cinta sejati, Cahaya Maha Cahaya, kita hanyalah hologram yang sangat diada-adakan. 


Share:

Minggu, 11 April 2021

Gravitasi dan Janji Tuhan


Janji Tuhan seperti gravitasi dan alam semesta, ia bergerak atau jatuh ala kadarnya, sesuai massa, bobot, dan ukurannya, tidak prematur maupun terlalu lamban. 

Jika Alquran mengatakan bahwa janji Allah itu pastilah terjadi dan tidak usah mengharapkan secepatnya atau sebaliknya, maka aku menemukan koneksinya dalam lingkup alam semesta ini. Bermula dari stori temanku di instagram tentang gravitasi bumi yang jatuh tidak terlalu cepat ataupun lambat, aku pun jadi teringat firman Tuhan yang aku katakan itu. 

Jadi jika berpikir mengenai kenyataan dan keberlangsungan alam saja manusia pun sudah diberi jawaban dan dibentangkan penjelasan mengenai kalam-kalam-Nya dalam Alquran, bahwa dari melihat gravitasi saja hati kita dapat mempercayai begitu saja, walaupun dari akal diberdayakan untuk mengilmui dulu menurut ilmu modern, tetapi tetap saja kecepatan berpikir hati berkali-kali lipat dapat menempuh sekaligus menambah iman, ilmu, dan pengalaman roso. 

Sayang sekali ketika sekolah hal yang terlihat sepele itu dapat menjadi peneguhan iman dan pengalaman roso pun lalu lintas ilmu itu sendiri tidak ditemukan pola interaksi kreatif antar guru dan murid sehingga secara simultan dapat membentuk pengalaman dan pemahaman baru tentang tadabbur gravitasi. 

Padahal peristiwa itu berkali-kali kita alami, namun tiada pernah kita tersentuh batin dan tertegun pikiran kita, Sewaktu Eha Kartanegara menerangkan peristiwa yang persis sama soal gravitasi, beliau mengatakan bahwa gravitasi itu luar biasa, itu merupakan peristiwa yang luar biasa, karena kita sudah masuk dalam habit atau kebiasaan jadinya tidak luar biasa. 

Dan mestinya masih banyak yang belum kita ketahui, dalam konteks ini ilmuwan yang pekerjaannya selalu bersinggungan dengan alam mestinya menambah daya iman dan kepercayaan begitu kuat bahwa setiap kali mereka menemukan hal-hal baru, saat itu jua ribuan pintu rohani dan cakrawala dibuka selebar-lebarnya. Mungkin opiniku ini agak berlebihan, setidaknya ketika dihadapkan pada ilmuwan modern. 

Ketika Allah mengatakan tidak usahlah mengaharapkan pembalasan dipercepat atau memperlambatnya, janjiku pasti akan terjadi. Ternyata kita menemukan jawaban itu dalam konsep atau klausul alam semesta, padahal pun dunia belum kiamat, tetapi Alquran memang sudah memberikan segalanya, semesta yang terus berkembang "kun fayakun", grafitasi tidak pernah menyalahi aturan atau sunah Tuhan "soal janji Allah", "sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan" berikut perihal surga neraka sama saja, apakah itu Neraka atau Surga kitalah yang membuatnya demikian. 

Dan jika ada informasi yang mengatakan ketika kiamat matahari ada di sebelah barat, aku juga turut setuju dengan pertanyaan "Apakah Tuhan mau menyalahi sunah-Nya sendiri?" 

Apa itu semacam simbolisme atau itulah penunjukan bukti Kekuasaan-Nya, wallahu a'lam.. 
Share:

Sabtu, 03 April 2021

Pengetahuan, Ilmu, Piweling

 

Suatu bangsa akan mengalami silang-sengkarut zaman yang akan memaksanya untuk tetap survive dan bahkan maju, entah akan ada gejolak, bencana, kontroversi, perang, dan banyak variabel yang lain. Beragam wacana, pengetahuan, dan ilmu semakin diperlukan untuk menopang semua itu, setidaknya dalam konteks dunia, maka ketika bangsa sudah sedemikian majunya sebagai peradaban dan matang akan kehidupan mereka mestinya sudah dalam taraf wacana “piweling” sebab proses-proses tadi telah dijalankan.

Secara logika Manusia tidak bisa spontanitas melakukan suatu pekerjaan atau hal-hal yang belum pernah dikuasainya, apalagi belum pernah melihatnya secara nyata, atau katakanlah mengalami kenyataan (konkrit) dan empiris. Maka, dengan krusialitas persoalan kehidupan mau tidak mau manusia belajar untuk mengenali gejala-gejala yang memungkinkan dan akan terjadi pada hidup, yang akan aku awali dengan konsep Pengetahuan. Pengetahuan sebenarnya juga hal yang tidak bisa kita tempuh sepenuhnya, jika kita meminjam wacana agama, bahwa manusia tidak diberi pengetahuan/ilmu melainkan hanya sedikit, jadi kalau manusia merasa hebat dengan kemajuan yang telah dicapai saat ini, hal demikian hanyalah narsis dan GR kecil-kecilan yang dibesar-besarkan mereka sendiri.

Perkenalan manusia dengan pengetahuan dapat ditempuh dan melalui media apa saja, kita bisa saja bisa mengetahui sesuatu dari obrolan manusia, melalui kontak sosial, dari bebatuan, pohon, air, cahaya, dan segala partikel yang ada di dalam semesta yang kadang bisa disebut inspirasi. Karena pengetahuan sifatnya baru pengenalan, dus ia hanya baru urusan tahu, bahkan belum kenal dan mengenali, pengetahuan sudah ada di alam, manusia hanya sedikit bisa membahasakannya saja, sebab disebut bahasa mestinya memungkinkan untuk terjadi permasalahan yang aku katakan silang-sengkarut tadi. Untuk memecahkan soal itu diperlukanlah ilmu sebagai pengukur tekanan pengetahuan, banyaknya pengetahuan harus singkron dengan ilmu yang kita miliki, banyak pengetahuan hanyalah “omong kosong”, banyak ilmu mestinya seimbang dengan pengetahuannya, hal ini menyebabkan pengalaman.

Keilmuan manusia hari ini sudah dikatakan mutakhir, kalau mereka berpikir istilah itu baru nyata setelah mendekati kiamat meski kita juga tidak tahu kepastiannya, karena kita masih bodoh dengan gampangnya mengatakan mutakhir meskipun agak selip dalam transliterasi arab-indonesia yang artinya terlambat, namun maksud mereka itu yang namanya mutakhir ya pamungkas. Di saat waktu semakin berputar dan mereka lebih menemukan penemuan lagi masih akan disebut mutakhir atau akan ada nomenklatur lagi perihal penamaan kemajuan peradaban bangsa modern?. Maka dengan bekal pengetahuan dan ilmu yang sudah terukur tersebut suatu bangsa dikatakan mampu dalam mengelola minimal persoalan penghidupan ekonomi, pendidikan, kebudayaan, industri, peradaban menurut pandangan mereka sendiri.  

Setelah perihal pengetahuan dan ilmu/keilmuan, aku meminjam contoh peradaban bangsa Jawa, bangsa Jawa sudah menemukan hubungan vertikal horizontal mengenai hidup dan penghidupan, dengan sejarah bangsa yang sudah sedemikian tuanya, akan terlihat seperti apa bangsa ini ke depan mestinya dapat kita simulasi bersama. Bayangkan, jika Piramida Giza Mesir kuno yang katanya paling tua di dunia itu ternyata masih kalah jauh ketimbang “Piramida” yang ada di ditus Gunung Padang di Jawa Barat itu, yang diperpirakan umurnya 10.000 tahun SM, selisih sekitar 7,5 ribu tahun. Perjalanan jauh seperti bangsa Jawa sudah bisa dikatakan ialah bangsa besar yang mampu merangkum dunia dalam genggamannya, untuk itu gelar Rajanya adalah Hamengku Bawono. 

Nah, bangsa yang sedemikian besarnya itu mestinya telah menguasai pengetahuan dan keilmuan yang sangat mumpuni, dikatakan nenek moyang orang Jawa sudah pernah pergi ke planet-planet di tata surya, ini menandakan keilmuan di bidang asronomi sangat hebat, di zaman bangsa-bangsa di dunia tidak terdengar kabarnya. Kemudian, karena peradabannya yang begitu tingginya, bangsa Jawa menemukan teknologi Piweling/Pepiling atau Unen-unen, peringatan, peng-iling-iling.Sebagai peringatan dan kewaspadaan, hati-hati dalam menempuh hidup, sebab filosofi hidupnya bangsa Jawa sangat luhur, maka teknologi mutakhir, atau pemungkas, atau paripurna itu dijadikan kitab suci di dalam hati masing-masing. Jika di transfer ke islam, Piweling/Pepiling ini bisa berarti taqwa, bangsa yang sudah di taraf taqwa, mestinya ialah bangsa yang besar dan Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur.

 


Share:

Kamis, 01 April 2021

Embun #17


Ngopi adalah mengheningkan cipta, kreatif dan karya, tapi " Ngopi" adalah cara mencederai waktu dengan omong kosong...
Share:

Selasa, 30 Maret 2021

Gie dan Kesepian


Seorang teman dari Amerika menulis kepadanya: “Gie seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian; penderitaan”. Surat ini dia tunjukkan kepada saya (kakaknya Arif Budiman alias Soe Hok Djin). Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata: “Ya, saya siap”. 

Untuk karangan ini aku meminjam sosok Gie, sebab dia salah seorang yang mengatakan kesepian bukan cuma omong kosong seperti mahasiswa yang sok-sokan, tapi tiarap ketika menghadapi kekuasaan yang membelenggu. Perihal suatu surat yang pernah ia dapatkan dari seorang teman dari Amerika seperti yang aku kutib di atas, waktu itu dia merasakan kesepian yang luar biasa dalam hidupnya, dari kekecewaan politik berlangsungnya suatu negara yang dikendarai pemerintahan yang amburadul, teman-teman seperjuangan yang tidak punya dedikasi dan komitmen terhadap apa yang diperjuangkan, penolakan berkali-kali dari orang tua cewek yang dia pacari, kalau tidak salah sampai tiga kali ia pacaran dan selama itu pula ia selalu ditolak. Menurutnya, dia dikagumi karena keberaniannya, namun mereka menolak ketika anaknya diminta in group.

Betapa menderitanya dia, teman-teman yang dipercaya menusuknya dari belakang, semuanya lengkap menghantamnya sekaligus, ditambah mamanya juga tidak mengerti apa yang tengah ia perjuangkan dan malah menyuruhnya menghentikan aktivitas yang membahayakan dirinya. Mungkin dalam situasi seperti itulah ia tinggalkan Jakarta dan menerapi dirinya di Semeru, akhir dari perjalanan hidupnya. Dan mungkin aku sedikit bisa merasakan apa yang dia rasakan saat itu, bukan karena pengalaman yang serupa, tetapi lebih mengendarai rasa surosonya melalui bahasa yang ia sampaikan. Boleh juga dikatakan kalau aku mencoba memahaminya secara empati, selain dulu memang pernah mengaguminya sebagai anak muda yang pemberani.

Akan selalu ada anak alam yang dilahirkan kehidupan mampu memahami dan merasakan kepedihan dunia lalu ia acungkan tinju untuk melakukan perubahan, akan terus menerus ada nurani di dalam tirani di mana pada saatnya nanti akan ada suksesi atau pun revolusi.

Surat yang diterima Gie juga merupakan sebuah respon dari temannya dalam kesejarahan hidup menurut pandangannya, dan memang kesepian dan keterasingan selalu membayang kepada mereka yang tetap menjaga nurani dan kebenaran. Tetapi, jawaban itu dengan jelas tertulis di “Catatan Harian Seorang Demonstran” ..

...”Lebih baik diasingkan, dari pada menyerah terhadap kemunafikan..”   

Dalam ingatanku dulu, aku pernah membayangkan bisa mengunjunginya di lembah Mandalawangi, meskipun juga terdapat nisan di Museum Taman Prasasti, Jakarta.

Share:

Minggu, 28 Maret 2021

Perihal "Butuh Inspirasi"


Dari kebanyakan pemahaman yang kita pakai adalah mengasumsikan bahwa kita butuh ini itu, dalam arti kata, istilah yang kita simplifikasikan sedemikian rupa yang membuat kita cukup alasan untuk mengejarnya. Dalam konteks inspirasi seringnya kita terjebak dalam nomenklatur yang sepele dan sulit beranjak jika pemahaman itu sudah sebegitu mengakar, katakan saja terdoktrin, sehingga akan kita simpulkan kita butuh inspirasi maka kita harus ngopi atau pergi ke gunung, laut atau fenomena alam lainnya.

Keterjebakan terhadap suatu kata, istilah ini sayangnya dibawa oleh orang yang mengaku seniman atau sastrawan, akhirnya semua orang percaya jika ingin mendapatkan perihal inspirasi harus melalui prasyarat tadi. Entah apa pun istilahnya asalkan bisa mencapai karya atau sesuatu yang dahsyat, maka ritus-ritus sebagai syarat kuno menjadi kewajiban bagi para pencari inspirasi, ilham atau entah apalah namanya.

Sebenarnya ada yang lebih mudah dan efisien jika mau merasakannya lagi, kalau pemahaman yang kita pakai materi, mestinya akan kita turuti semua ritual tersebut dan pastinya merepotkan dan menghabiskan waktu dan tenaga saja. Tapi, kan aku juga meminjam istilah “panggilan”? apa sama juga, agaknya aku belum final dalam meniti, mengalami dan menempuh kehidupan ini, itu istilah yang bisa saja disimplifikasikan, namun tidak sebagai ritual dalam berkarya, hanya menuruti jiwa dan perasaan hati saja. Menurut kata surosoku, aku menyapa dan menjemput jiwaku yang sudah melambai di tempat yang terpanggil tadi.

Menurutku jika mengalami dan penempuhan hidup didayagunakan dengan baik dan optimal, maka yang berkarya entah menulis atau menggambar bukan lagi dari keinginan, melainkan dari keharusan regulasi diri, jadi yang keluar hanyalah output wajar dan alami dari diri. Bukan sesuatu yang dibuat-buat, karena memang demikianlah seharusnya. Prosedur yang ditempuh manusia pastinya berbeda-beda, yang bisa aku sampaikan hanya melatih diri mengalami dan memahami setiap pengalaman sehingga nantinya apa pun yang diekstrak merupakan kontinuasi dari regulasi diri yang bersifat otomatis.

Tiada yang instan untuk sesuatu yang hebat dan dahsyat, tetapi namanya manusia mestinya melalui pembelajaran-pembelajaran dan berbagai simulasi pengalaman mengajarinya mengerti sesuatu untuk dipraktikkan kembali.

Share:

Jumat, 26 Maret 2021

Mengalami Hidup


Pengalaman demi pengalaman kita tempuh dengan berbagai cara dan kadang mengagumkan untuk kita bagi ke teman-teman maupun orang lain, dengan menyeluruhnya pengalaman yang kita buat itu tentunya sikap keilmuan dan pengetahuan dapat meningkat dan lebih baik. Seseorang akan semakin berkembang baik dan bermanfaat jika ia punya kesadaran untuk merasakan dan mengalami hidup, di tengah konstelasi yang menganjurkan manusia untuk melampiaskan nafsu dan gengsi gede-gedean term meng-alam-i merupakan suatu tahapan kehidupan yang amat berpengaruh pada perkembangan seseorang. 

Ketika manusia sudah mengalami hidup, maka segala probabilitas yang sudah, sedang, maupun akan terjadi telah ia kuasai dengan baik, minimal tidak kaget dengan macam-macam peristiwa atau kejadian yang mensyaratkan demikian. Entah bagaimana seseorang merespon mulanya, namun jika ia terus berjalan dan terus belajar, mestinya ia bisa mengakumulasi ragam wacana kehidupan tadi yang berakibat pada pengetahuannya kemudian berdampak pada keilmuannya, hasilnya ia mengetahui kebijaksanaan hidup yang sejati.

Pastinya aku tidak benar-benar tahu praktek masing-masing orang, meski penjelasanku juga masih abstrak dan awang-awang, tetap saja jika memakai ilmu pasti bisa terlaksana. Mengalami hidup bukanlah berat atau mudah, tetapi bisa mengambil makna dan hikmah yang ada dan terus menghadapi apa yang ada di depan, artinya berjuang. Mengalami hidup bukan fokus untuk bahagia atau menderita, sedih atau senang, melainkan siap untuk segala sesuatu, bahkan untuk kemungkinan terburuk, ketika kita sedang menempuh pengalaman sebenarnya kita sedang dihadapkan ilmu dan masalah, tetapi itu bukan dikotomis dan terbagi, itu satu, bebarengan. 

Dan manakala pengalaman seseorang sudah sedemikan banyak dan jauh, ia bisa tahu macam cara dan ragam sikap dalam menentukan keputusan, sebab ia mengerti ilmunya dan mestinya ia juga punya kematangan hidup, untuk itu aku menyebutnya tadi dengan kebijaksanaan. Bijaksana merupakan puncak tertinggi dari ilmu. Meski dibantah Sabrang dengan mengatakan "Pasti akan ada satu konsep yang merangkul dikotomi-dikotomi di dunia, ini bukan urusan kebijaksanaan, tapi peningkatan kaliber fundamental manusia". Biar aku menempuh pemahaman dan pengalamanku dulu, walau juga aku sedikit sudah mengerti dan setuju soal yang dikatakannya. 

Betapa penting dan mahalnya bila manusia sudah mengalami hidup, bisa berarti memasuki hidup, meng-alam = memasuki alam. Apa pun bisa dijelaskan, dihubungkan, perihal jelek atau masih memaksa itu hanya proses, mengalami hidup membuatku lebih banyak dan waspada terhadap segala hal setiap saat. Aku harus siap menderita, bahagia atau tidak keduanya, meski masih kadang sambat itu wajar dan mesti ditingkatkan lagi. Kehidupan memberi banyak sekali hal, walau aku tidak dalam kategori manusia modern yang berarti punya posisi dan materi yang berarti, tetapi mengalami hidup aku mengalami kekayaan batin yang luar biasa, aku harus selalu belajar neriman dan tansah lelaku.

 


Share:

Kamis, 25 Maret 2021

Hentakan Partikel Memecah Fokus


Terkait tema ini aku sedikit memberi contah langsung saja biar tidak bertele-tele, jika kita mengalami suatu interupsi misalnya rata-rata dari kita terdiam dan memikirkannya yang mungkin berakibat untuk ucapan selanjutnya. Sadar entah tidak, aku menemukan sambungannya dari apa yang pernah diceritakan oleh guruku dulu, ada kisah jika melewati terowongan Casablanca harus memberi klakson terlebih dahulu supaya mengabarkan kepada mereka kita izin mau lewat terowongan tersebut. Dari cerita itu, guruku mencoba menerangkannya dengan cara ilmiah atau beliau menjelaskannya menurut sudut pandang ilmu fisika, jadi ketika berada di suatu tempat/ruang yang banyak elektronnya (energi negatif), maka untuk mentralkannya (baca; neutron) kita harus mengisi ruang itu dengan proton (energi positif)lalu netrallah tempat/ruang itu. Nah, menilik cerita tadi bisa disimpulkan guruku memahami jika tempat di terowongan atau minimal di sekitarnya beraura negatif (elektron), maka untuk membuatnya netral kita membunyikan klakson (proton) lalu jadilah neutron (netral). Aku memang belum mencari kevalid-an penelitian itu, namun secara pembelajaran logika okelah masuk.

Oke,secara direct aku pikir masuk akal juga walau aku belum menemukan data validnya penjelasan tersebut, tetapi yang bisa dijelaskan adalah ini menggambarkan sebagai partikel alam mempunyai komponen-komponen,  kandungan-kandungan yang memberi fenomena seperti itu. Sederhananya partikel-partikel tadi mempunyai fungsi khusus dan guna membangun fenomena-fenomena alam yang memang diciptakan demikian, berdampingan dan bebarengan, masing-masing energi saling bersentuhan dan melengkapi, pun aliran listrik untuk mempunyai syarat “nyala” juga memakai partikel positif-negatif. Dus, gelombang, energi, atau getaran masing-masing dapat bertemu, menyatu, atau malah bertabrakan yang akan menjadi partikel baru setelahnya.

Ketika motorku kehabisan bensin, saat itu panik sehingga tidak kepikiran jika bensinnya habis. Yang aku lakukan adalah ngomong kepada temanku dengan nada menekan bahwa motornya mati bila di gas, anehnya temanku pun ikut panik dan kami menunggu motor itu rehat sejenak, harap-harap bisa hidup setelah mesinnya dingin, dan bamm.. ternyata kami menunggui motor yang tidak ada bensinnya, ini ketahuan manakala temanku menilik tangki motor. Cerita itu sebenarnya klise, menurutku ada juga selain aku mestinya, tapi pertanyaan menariknya mengapa temanku bisa langsung percaya saja oleh ucapanku, seolah-olah seperti menghipnotisnya?.  Aku rasa seperti cerita awal tadi, awalnya biasa-biasa saja netral “neutron”, namun tatkala ada suatu masalah konsentrasi terpecah dan habis itu ditambahi energi negatif “elektron”, jadinya buyar semua dan energi negatif mengepung, tetapi tidak ada proton yang meng-interupsi, hasilnya elektron semua. Jika ditransfer ke dialektikanya Hegel, jadinya tesis-anti tesis-sintesis .

Kekuatan gelombang, energi, getaran, maupun partikel-pertikel itu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, mereka butuh bebarengan untuk mengalami perubahan baru dan untuk keberlangsungan alam. Jika sendiri-sendiri tentunya akan Chaos ibarat cerita tadi.


Share:

Selasa, 23 Maret 2021

Akibat Term "Hidup Itu Pilihan"


Bila kita pernah terdidik dengan asusmsi “Hidup itu pilihan” maka kita seumuran. Maksud dari tulisan ini adalah mengajak berpikir dan memahami ulang bagaimana sebenarnya bersikap dari anggapan yang sudah mapan di telinga orang-orang. Misalnya ketika aku masih duduk kuliah dulu, sekali waktu dosenku pernah mengatakan demikian, waktu itu aku tidak terlalu memikirkannya, jadi hanya lewat, sebab aku tidak tertarik antara membantah atau mendukung. Boleh juga jika dikatakan aku stuck dan masa bodoh di zaman-zaman itu, tetapi dengan menyiapkan ruang untuk apa pun, jadinya bisa menerima atau menolak ini itu, bergantung perasaan dan keinginan.

Bahkan sering kita alami bentuk “todongan” seperti itu kepada kita, seolah-olah kita selalu dihadapkan dengan dua atau lebih soal pilihan-pilihan dari hal sepele sampai peri hal kehidupan. Ini sangat tidak mengherankan karena pikiran kita sudah disetel untuk pragmatis dan instan, jadi tidak pernah kita pikirkan lagi konsep-konsep atau pandangan kita terhadap sendi-sendi kehidupan. Baru saja kemarin aku ngobrol dengan teman, pilihan itu ibarat anak kecil, makanya tahunya hanya milih ini atau itu, di dalam kehidupan kita tidak bisa bersikap kekakak-kanakan begitu, di sekolah pilihan-pilihan itu ditentukan dengan resep penyedap yang marketebel dari soal-soal pelajaran hingga jurusan semuanya ditempa atas dasar “pilihan” tadi. Sehingga dengan sangat terpaksa ketika aku pernah menjadi wartawan menulis judul “Ini jurusan yang siap menjawab zaman dan industri 4.0”.

Sejatinya, sejak kapan kita punya asumsi mengenai hak pilih? Seakan-akan kita ini punya modal dan berhak kapan saja menentukan pilihan atas apa yang kita miliki, kapan kita merasa memiliki sesuatu atau apa pun? Paham pilihan atau memilih karena kesadaran kita akan memiliki hidup, tapi siapa sebenarnya yang memiliki hidup?. Dosenku tadi ceritanya sangat percaya bahwa hidup itu pilihan, dari bangun tidur dan melakukan aktifitas sehari-hari, menurutnya harus berdasar pilihan yang kita ambil, bahwa kita dihadapkan oleh macam-macam pilihan dan kita harus memilih. Menurutku monoton dan klise yang diomongkannya, tapi ya kembali tadi pandangan-pandangan itu hanya stuck dan tidak dikembangkan atau minimal dipertanyakan lagi. Pilihan hanya fenomena kecil dari kehidupan, aku sendiri lebih suka menyebutnya keputusan, rasa kedewasaan dan tanggung jawabnya lebih bernilai.

 

 


Share:

Sabtu, 20 Maret 2021

Komposisi Berpikir Akurat : Seger Kuwarasan dan Sehat wal Afiat


Dalam sejarah peradaban dunia, jarang sekali ada pola ungkapan syukur yang begitu dalam dan presisi hingga akurat cara berpikirnya seperti orang Jawa. Anak-anak moderen mungkin sudah tidak menggunakan ungkapan syukur atau balasan kabar tersebut, tentu ada hal lain yang mempengaruhi mereka, tapi bolehlah aku mencoba membahasnya meski tidak tahu-tahu amat, walau sementara belum ada data konkret dan baru menggunakan "Suroso" saja. 

Ungkapan "Seger Kuwarasan" sering aku mendengar dari orang-orang tua kala masih kecil, simbahku tepatnya. Dan bayangkan aku baru memahaminya sekarang, betapa hancur sudah akal dan rasaku karena sangat terlambat dalam memahami indahnya ungkapan itu. Dari dua kata itu saja sudah mengantarkanku ke cakrawala. Dan saat ini aku baru menemukan setidaknya level atau tingkatan pemahamannya mungkin "sama" aku juga tidak bisa memastikan itu tentunya, tetapi jika dari khazanah bahasa arab, ungkapan tersebut berbunyi "Sehat wal Afiat". 

Dua-duanya terdapat komponen yang sama "dua kata" wawu itu sebagai penghubung, di dalam bahasa arab bisa berarti maktuf maktuf alaih, na'at man'ut atau sifat mausuf, dan taukid atau penguat, dan mohon jangan menerapkan gramatikalnya secara persis! Jelas ada yang keliru dengan memakai term itu, sekali lagi aku menulis ini dengan mengendarai "roso". Untuk sehat wal afiat sendiri aku belum bisa menemukan makna afiat-nya selain sebagai penguat sehat, sebuah susunan taukid muakkad yang menandakan pentingnya informasi yang diungkapkan, dalam pada itu bunyinya " Sehat wal Afiat" Ke-kongruen-nan yang dibangun dalam satu sambungan. 

Sedang Jawa berbunyi "Seger Kuwarasan", dua kata yang mempunyai makna kesinambungan dan dua variabel yang saling menguatkan, dari wadak dan rohani. Sederhananya gabungan kesehatan badan dan mental, jiwa jadi satu. Ini menunjukkan cara berpikir orang Jawa sangat presisi dan akurat, hanya untuk urusan ungkapan syukur saja mereka bisa meleburkan dua kata, makna jadi begitu indah dan komprehensif. 

"Seger" adalah upaya menjawab sehat badan dalam kondisi yang fit dan prima sebagai syarat menjalani pekerjaan sehari-hari. Lalu "Kuwarasan" merupakan respon untuk menunjukkan keadaan jiwa, mental, batin, dan rohani manusia itu sendiri. Waras menurut orang Jawa namanya sehat akal pikiran dan keempat yang aku sebut tadi. Dengan ungkapan itu sangat jelas bagaimana orang Jawa membuktikan komposisi cara berpikir yang presisi bahkan akurat. Tidak heran peradaban orang Jawa sangat tinggi di berbagai faset kehidupan. 
Share:

Blog Archive